tirto.id - Dinihari 26 November, ribuan penduduk Little Havana, Miami, turun ke jalanan dalam pakaian berwarna cerah. Mereka berjoget dan berpelukan, tertawa, menangis, mengibarkan bendera-bendera, tertawa dan tidak menangis, menyanyi, dan menciptakan bunyi-bunyian dengan peralatan memasak.
Tidak, rombongan itu tak sedang melakukan “sahur on the road”. Mereka juga bukan pengidap sawan jenis baru. Mereka berhimpun untuk merayakan kematian Fidel Castro, Bos Besar di negeri asal mereka, Kuba.
Revolusi Kuba yang mengantarkan Castro ke haribaan kekuasaan pada 1959 adalah salah satu peristiwa politik terpenting di abad kedua puluh. Sekali waktu, Castro dan kelompok komunis pimpinannya yang menjungkalkan rezim korup Fulgencio Batista pernah memperoleh dukungan luas, mulai dari di kalangan rakyat Kuba hingga dunia internasional.
Namun, 40an tahun kemudian, tulis Silvia Pedraza dalam Political Disaffection in Cuba's Revolution and Exodus, banyak rakyat Kuba yang kecewa, termasuk yang pernah mendukung revolusi. Dalam rentang 1959 hingga 2004, sekitar 1,35 juta orang atau 12 hingga 15 persen populasi Kuba telah minggat ke negara-negara lain, terutama Amerika Serikat.
Menurut sensus Amerika Serikat, hingga tahun 2000, telah ada 828 ribu pendatang asal Kuba, dan itu tak termasuk keturunan mereka yang lahir di “Negeri Para Pemberani dan Orang-orang Bebas” tersebut.
Perpindahan rakyat Kuba ke Amerika Serikat terbagi ke dalam empat kloter. Mula-mula, pada 1959-1962, yang melarikan diri ialah kaum elit: para saudagar, pemilik penggilingan tebu, juragan ternak, pejabat-pejabat perusahaan asing, dan golongan profesional. Tatanan sosial yang menguntungkan mereka telah remuk berkat nasionalisasi bisnis-bisnis asing dan reforma agraria.
Sejak 1961, rezim Castro menetapkan: setiap orang yang hendak meninggalkan Kuba hanya boleh membawa lima dolar, dan menyerahkan seluruh hartanya yang lain kepada pemerintah.
Namun, orang-orang tetap pergi. Kloter berikutnya berangkat pada 1965-1974, terdiri dari campuran kelas pekerja dan borjuis-borjuis kecil. Berbeda dari para pendahulunya yang sejak awal memusuhi dan dimusuhi revolusi, banyak di antara imigran gelombang kedua yang pernah mendukung Castro. Mereka merupakan karyawan, tukang, buruh, dan pedagang-pedagang kaki lima yang memutuskan untuk meninggalkan Kuba setelah pemerintah menyita lebih dari 55 ribu unit bisnis kecil-kecilan.
Pada awal 1980an, ribuan orang yang dilepaskan dari penjara-penjara, mulai dari tahanan politik hingga kriminal biasa, dipersilakan pemerintah Kuba pergi ke Amerika Serikat. Hampir seluruhnya merupakan anggota kelas pekerja dan banyak di antara mereka berkulit hitam. Castro menyebut mereka escoria alias sampah. Merekalah para pengungsi gelombang ketiga.
Kloter terakhir, yang meninggalkan Kuba dalam rentang 1985 hingga 1994, adalah orang-orang putus asa. Ketika Uni Soviet rontok, Kuba yang bergantung padanya mengalami krisis ekonomi berat. Ditambah embargo Amerika Serikat, hidup di Kuba jadi tak tertanggungkan.
Pada Musim Panas 1994, ribuan orang Kuba mencebur ke laut bersama benda-benda yang mereka anggap dapat membuat mereka mengapung sampai Amerika Serikat, mulai dari rakit hingga ban mobil bekas. Sebagian sampai di tujuan dan sebagian lagi tenggelam atau mati kelaparan atau dimakan hiu.
Dinihari 26 November, di tengah-tengah dentang panci, nyanyian, dan teriakan-teriakan penanda sukaria, Ulises Flores, 54 tahun, bicara kepada wartawan USA Today. “Ini adalah kematian yang bagus,” katanya. Di bahu kanan pria itu ada tato bergambar coat of arms Kuba dan di dada kirinya ada tato bendera negara tersebut.
Sepasang suami-istri menjunjung sebuah plakat bertuliskan “Begembiralah, Dunia! Fidel Castro si Utusan Iblis Sudah Koit!”
Seseorang berteriak, “Merdeka!” dan seseorang yang lain, yang napasnya lebih panjang, menjerit: “Fidel! Tiran! Ajak adikmu juga, dong!”
Seorang perempuan tua memamerkan kaus dan topi putih yang dikenakannya. “Saya sudah menunggu 20 tahun untuk memakai ini,” ujarnya dalam bahasa Spanyol kepada wartawan MSNBC, dalam video yang dipacak ulang oleh Independent. Di kaus dan topi perempuan itu terdapat tulisan “Tu Dia Llego” atau “Waktumu sudah habis.”
Dalam video lain yang diungga The Telegraph, ada seorang pria paruh baya memejamkan mata sambil mengisap cerutu sebesar pipa di tengah-tengah perayaan. Ia mungkin kepayahan, tetapi wajahnya terlihat woles.
Bagi mereka, kematian Castro adalah pal yang menandakan akhir sebuah era. Mereka berharap setelah ini Kuba akan berubah, menjadi lebih terbuka, lebih kaya, lebih selow, dan seterusnya.
Sikap serupa pernah ditunjukkan orang-orang Uni Soviet setelah kematian Joseph Stalin. Tak hanya oleh golongan yang membencinya, tetapi juga orang-orang yang berpuluh-puluh tahun setia terhadapnya.
Di bawah kekuasaan Nikita Khrushchev, Partai Komunis Soviet “meresmikan” pandangan bahwa Stalin ialah perusak ajaran-ajaran Lenin, bahwa ia telah mengorupsi cita-cita Bolshevik yang mulia dan mencampakkan perjuangan kaum revolusioner ke lubang tahi.
Imajinasi politik para pelarian Kuba di Amerika Serikat dan petinggi Partai Komunis Soviet jelas berbeda. Namun, suara mereka sama saja, mono-tone. Pada setiap cerita selalu ada yang berpegang hanya pada satu sisi, dan beginilah kira-kira bunyinya: “Si keple pengacau sudah mati, Saudara. Maka, bersiaplah menyambut masa depan yang lebih baik!”
Pada 1992, Castro pernah berbicara tentang Stalin—dan ucapan Castro itu hari ini boleh jadi tepat untuk dipakai untuk melihat Castro sendiri.
Dalam wawancaranya dengan Tomas Borge dari El Nuevo Diario, saat itu Castro berkata: “Menyalahkan Stalin atas kehancuran Uni Soviet adalah simplisme, sebab tak ada manusia yang dapat menciptakan keadaan-keadaan sepelik itu seorang diri. Itu sama saja dengan menganggap seluruh pencapaian Uni Soviet dihasilkan oleh Stalin seorang. Tidak masuk akal!”
“Saya percaya, kerja keras jutaan rakyat lah yang membesarkan Uni Soviet,” ujarnya. “Itulah yang menjadikan negara itu mendapat peran penting di dunia dan sanggup menebar kebaikan kepada ratusan juta manusia.”
Fidel Castro benar. Yang keliru adalah orang-orang yang memandang politik, baik atau buruk, sebagai pekerjaan satu orang, terlepas dari di mana pun mereka berada dan bagaimana pendapat mereka tentang kehidupan dan kematian sang Bos Besar.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS