tirto.id - Suatu hari pada 1993, Abdul Kahar Muzakir datang ke Vietnam. Pria yang bekerja sebagai konsultan perusahaan tembakau asal Swiss, Burger Soehne Ag Burg, ini diundang untuk melihat kelayakan pendirian anak perusahaan. Di kota Ho Chi Minh ada lahan tembakau yang jadi bagian dari riset tembakau Kuba.
Sebagai ahli tembakau, Kahar amat paham bahwa tembakau Kuba adalah emas hijau. Dari sana, cerutu-cerutu terbaik dunia dibuat. Pensiunan PT Perkebunan Nusantara XXVII ini ingin sekali menanam tembakau Kuba di tempat tinggalnya di Jember. Ingin minta, jelas tak akan diberi. Maka Kahar memilih untuk sedikit nekat.
"Saya izin pergi kencing," kata Kahar, kini 81 tahun, mengisahkan ulang kepada saya, akhir Juni lalu. Kami berbincang di Taman Botani milik Kahar di Sukorambi, sekitar 20 menit dari pusat Kota Jember. Suasananya adem. Ada pohon-pohon besar, beragam wahana untuk rekreasi, dan kolam renang.
Kahar masih mengingat peristiwa penting dalam hidupnya itu. Seorang petugas di lahan tembakau kemudian membolehkan Kahar kencing di sembarang tempat. Pria kelahiran Banyuwangi ini memilih tempat agak tersembunyi. Dengan gesit, ia memasukkan lima butir bibit tembakau ke dalam kapsul.
"Waktu itu saya sebenarnya takut banget. Kalau ketahuan enggak bakal bisa pulang. Tapi ya gimana. Keinginan punya bibit tembakau Kuba mengalahkan rasa takut itu," ujar Kahar sembari menikmati Cigar Master, cerutu racikannya sendiri dari daun tembakau Kuba yang disebutnya sebagai 'Sepanyol' alias separuh nyolong.
Kahar membawa bibit tembakau Kuba itu ke Indonesia dan mencoba menanamnya di Jember dengan dibantu oleh seorang peneliti bernama Soeripno. Percobaan ini rada sulit sebab iklim Jember berbeda dari Kuba. Mereka harus menunggu 19 tahun agar tembakau Kuba bisa tumbuh dengan baik di Jember.
Tembakau hasil ratusan kali percobaan tanam ini adalah generasi yang sudah beradaptasi dengan iklim dan cuaca dan tanah di Jember. Dengan hati mantap, Kahar mencoba tanam tembakau Kuba di lahan seluas dua hektare. Ia pernah menyilangkan tembakau Kuba dengan tembakau cerutu Besuki dan jenis lain. Tapi ternyata hasilnya kurang sedap. Jadilah yang ditanam adalah murni daun tembakau Kuba.
"Produk daun bawah kami sebut Half Corona. Kalau daun kaki kami sebut Corona. Yang atas disebut Robusto," ujarnya.
Kehadiran tembakau Kuba di Jember kemudian membawa banyak perubahan di dunia cerutu Indonesia.
Mengenal Tembakau Jenis Cerutu
Di Indonesia, ada dua jenis tembakau berdasarkan masa tanam yang umum dikenal. Pertama adalah Voor-ogst yang dikenal sebagai tembakau musim kemarau. Kedua adalah Na-oogst alias tembakau musim penghujan. Tembakau pertama dipakai untuk bahan baku rokok, tembakau kedua sebagai bahan baku cerutu.
Dalam liputan yang ditulis oleh Puthut EA dan Nezar Patria, tembakau Na-oogst Indonesia adalah yang terbesar di pasar dunia—sekitar 34 persen. Dari 34 persen itu, sekitar 25 persen disumbang oleh tembakau Na-oogst Jember. Pada 2014, Jember menghasilkan 8.560 ton tembakau Na-oogst. Selain di Jember, tembakau Na-oogst juga bisa ditemui dalam jumlah kecil di Klaten (Jawa Tengah) dan Deli Serdang (Sumatera Utara).
Namun, sejak 2012, Kahar melalui perusahaan tembakau Tarutama Nusantara menanam tembakau Kuba di lahan seluas 2 hektare. Karena berhasil, luasan lahan pun diperbesar. Tahun ini mereka menanam tembakau Kuba di lahan seluas 2,5 ha. Di luasan itu, jumlah panen biasanya sekitar 4 ton tembakau kering.
Daun tembakau untuk cerutu pada umumnya memiliki tiga bagian: daun bawah, daun tengah, dan daun atas. Ketiga bagian itu memiliki karakteristik berbeda dengan cita rasa yang berbeda pula.
Dunia internasional mengenal bagian daun bawah dengan sebutan volado. Karakteristik rasanya ringan. Karena itu biasanya dipakai untuk pengikat dan pemberi daya bakar. Daun tembakau bagian tengah dikenal dengan sebutan seco. Fungsinya memberi rasa dan aroma. Sedangkan daun bagian atas adalah daun tertua, terpapar matahari dan angin paling lama sehingga jadi bagian daun paling matang. Penggemar cerutu menyebutnya ligero. Fungsinya adalah rasa alias lauk. Ia bagian paling berat yang biasanya dipakai untuk pembungkus cerutu.
Cerutu punya tiga bagian. Pertama adalah filler alias isi. Lalu ada binder alias pengikat. Ketiga adalah wrapper alias pembungkus. Setiap bagian cerutu berasal dari posisi daun yang berbeda. Bagian wrapper didapuk sebagai bagian terpenting dari sebuah cerutu.
"Sama seperti wine, cerutu akan semakin enak bila semakin lama disimpan," ujar Kahar.
Ini pula yang membedakan antara rokok dan cerutu. Rokok, jika sudah berusia lama, rasanya semakin ambyar. Cerutu kebalikannya. Carlos Fuente Jr, salah satu pembuat cerutu legendaris, mengatakan bahwa semakin tua sebatang cerutu, rasanya akan semakin lembut dan kaya.
"Kalau kamu mengisap cerutu langsung dari meja pembuatan, rasa yang lembut dan kaya itu jelas tak akan bisa kau dapatkan," ujarnya.
Berkunjung ke Pabrik Cerutu
Pada 2012, Kahar Muzakir berkeinginan membuat pabrik cerutu. Setelah mendapat nama, Boss Image Nusantara (BIN), dimulailah produksi cerutu. Pabrik ini terletak di Jubung, sekitar 10 kilometer ke arah utara dari pusat Kota Jember. Saya mendatangi pabrik ini selama dua kali, empat hari selepas mengobrol dengan Kahar, pada akhir Juni lalu. Ada sekitar 15 pegawai di meja masing-masing yang tengah mengemas cerutu di pabrik tersebut.
Pembagian kerja dibuat nyaris sama seperti pembagian cerutu. Pertama di departemen Filling. Di sini para pekerja memilih daun tembakau berdasarkan warna serta membuang tulang daun. Dari sana, tembakau isian dibawa ke departemen Binder. Daun yang sudah tanpa tulang ini akan digulung dan dimasukkan ke kotak pressing, yang memiliki rongga berbentuk pipa. Gulungan tembakau ini kemudian dilem dengan lem tapioka.
"Jadi alami, tak ada bahan pengawet apa pun," ujar kepala produksi Slamet Wijaya.
Setelah digulung dan diletakkan di kotak pressing, kotak-kotak itu ditumpuk dan ditekan dengan menggunakan mesin hidraulik, atau dongkrak botol, berkapasitas 10 dan 15 ton. Setelah cerutu padat, para pekerja membawanya ke bagian akhir pembuatan, yakni Wrapping. Di sana, isian yang sudah diikat dan ditekan kemudian dibungkus oleh daun tembakau berwarna cokelat.
Setelah mulai berbentuk, cerutu dijejer dan dimasukkan ke kotak pengering. Kotak ini dari luar tak jauh beda dari lemari biasa. Ada rak-rak. Di sana, cerutu yang masih basah dan mengandung sedikit sisa air dikeringkan. Proses pengeringan memakan waktu antara 3 hingga 7 hari.
Pabrik Boss Image Nusantara tak hanya memakai tembakau Havana. Ada pula dari Sumatera, Connecticut, dan tentu Na-oogst Besuki. Dari tembakau-tembakau itu, BIN memiliki 29 produk. Ada yang produk standar, ada pula yang berkualitas premium. Harganya beragam. Untuk yang premium seperti Robusto, harganya Rp450 ribu. Jika sudah dijual oleh pihak kedua, harganya bisa meningkat jadi Rp1 juta per kotak isi 10 batang.
BIN menggarap cerutu berdasarkan permintaan. Kalau permintaan tinggi, produksi dipercepat dengan cara menambah tenaga kerja harian. Pernah satu ketika mereka memproduksi 10.000 batang cerutu dalam sehari. Para pelanggannya di kota besar macam dari Surabaya hingga Jakarta. Mereka juga banyak mengekspor. Tujuan utama adalah Malaysia. Selain juga ke Jepang, Jerman, dan Turki. Saat ini mereka tengah menjajaki ekspor ke Slovakia dan Siprus.
"Tahun 2016, nilai penjualan kami di atas 1 miliar rupiah," ujar Imam Wahyudi, manajer umum BIN.
Cerutu Havana bikinan BIN ini disebut memiliki 90 persen rasa cerutu Kuba. Ada faktor-faktor yang belum bisa disamai, misalkan soal tanah dan kandungan unsur hara. Tanah Kuba pasti berbeda dari tanah di Jember.
"Saat ini konsumen kami bilang bahwa cerutu kami rasanya gurih. Belum mantap seperti cerutu Kuba," kata Imam.
Untuk itu mereka sedang mengulik bagaimana rasa cerutu Kuba-Jember bisa punya rasa yang sama kuat dengan cerutu Kuba. Menurut Imam, yang mengakui cerutu Cohiba dari Kuba adalah yang terbaik di dunia, salah satu cara memperkuat rasa adalah mencoba-coba racikan berdasarkan posisi daun. Sekarang produk contoh terbaru mereka sedang dikirim ke beberapa negara untuk uji coba rasa.
Imam berkata pasar cerutu lokal masih belum besar. "Bayangkan kalau harga sebatang cerutu Rp60 ribu, yang mau beli, kan, terbatas. Padahal cerutu Kuba harga per batangnya bisa ratusan ribu," kata pria kelahiran Biting, Jember, ini.
Tapi perlahan-lahan produk cerutu lokal sudah mulai punya pasar sendiri, terutama di kota besar. Selagi BIN melayani ekspor cerutu, mereka sedang memperbesar jangkauan pasar lokal.
Pasar lokal dianggap lebih bisa memberi kenyamanan. Pesanan pasar sudah pasti. Semisal, mereka menjalin rekanan dengan, katakanlah, hotel, permintaannya pasti. Persentase pasar BIN berubah-ubah. Tahun lalu, sekitar 60 persen produk mereka diekspor. Tahun ini, sekitar 90 persen permintaan datang dari pasar lokal.
"Jadi sekarang dikebut di pasar lokal. Karena masyarakat susah berpindah ke cerutu, digempur segmennya saja, yaitu menengah atas," tambah Imam.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam