tirto.id - Duduk di bangku di sisi gang rumah telah menjadi keseharian Carsih di masa senjanya. Perempuan usia 76 tahun itu tinggal sendirian setelah anak-anaknya pergi menetap di luar kota bersama keluarganya sendiri.
Sesekali perempuan 76 tahun menegur orang yang lalu lalang di permukiman padat penduduk itu dan kadang mengobrol dengan kawan seusianya. Salah satu yang kerap ia obrolkan adalah rencana penggusuran rumahnya.
"Wah saya masih enggak bisa tenang kalau pikirin itu. Saya pernah sakit sampai masuk rumah sakit," kata Carsih, pekan lalu.
Dia tak tahu ke mana akan tinggal jika rumahnya digusur dan ganti untung tak sesuai. Tubuhnya yang renta sudah tak bisa lagi diajak untuk bekerja, anak-anaknya pun sudah lama tak mengabarinya.
Rumah Carsih terletak di RT 07 RW 14 Kelurahan Bidara Cina, Jakarta Timur. Ia telah menempati rumah itu sejak tahun 1960-an setelah membeli dari seseorang dengan modal akta jual beli tanah tanpa tahu di mana sertifikat tanah. Saat itu sertifikat kepemilikan tanah memang belum dianggap sesuatu yang penting bagi Carsih.
Di tengah ketidakpastian ganti untung, muncul rencana Pemprov DKI Jakarta, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC), dan Kementerian PUPR melanjutkan program sodetan kali Ciliwung ke Banjir Kanal Timur. Idenya ialah, debit air yang berlebih di Ciliwung akan dibuang ke Banjir Kanal Timur agar tidak memicu banjir.
Program yang disebut Sodetan Ciliwung muncul kali pertama saat Joko Widodo jadi Gubernur DKI Jakarta. Para gubernur melanjutkan proyek tersebut, membuat warga di ambang ketidakpastian.
Ketua RT 7/RW 14, M Yusuf, mengaku telah berkali-kali mendatangi rapat membahas sodetan dan rencana penggusuran mulai dari tingkat kelurahan, kota, hingga provinsi. Menurutnya, warga koperatif dengan segala rencana pemerintah sepanjang itu untuk kepentingan publik.
"Saya diminta menerima petugas BPN untuk ngukur, kita terima. Saya jamu, saya kasih makan," kata Yusuf di rumahnya.
Alasan penerimaan warga ialah dalam seluruh rapat, pihak pemprov senantiasa menjanjikan ganti untung. Bahkan ketika tanah warga diukur oleh pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun mereka mengaku pohon hingga ubin pun akan turut diganti. Hal itu menimbulkan asa bagi warga.
Bermula Sejak Era Jokowi
Saat Jokowi tak lagi jadi gubernur, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melanjutkan proyek, hingga rapat 4 kali setiap bulan. Kesepakatannya pun masih sama dengan era Jokowi yakni warga memperoleh ganti untung.
Namun, rapat dengan seluruh warga di kantor kecamatan diikuti 100 warga termasuk Carsih yang datang dengan dibopong Yusuf, justru berakhir kecewa.
Mereka terkejut, ketika pihak pemerintah tiba-tiba ingkar dari kesepakatan dan menyatakan warga tidak akan mendapatkan ganti rugi. Pengumuman itu yang membuat Carsih ambruk.
Kemarahan warga makin memuncak kala mereka dituduh sebagai penduduk liar padahal tanah itu telah ditempati sejak nenek moyang mereka.
Pemprov pun seolah hadir menawarkan warga untuk dipindah ke rusun. Padahal, menurut Yusuf, warga memang telah mendaftar untuk menyewa rusun jauh sebelum wacana tentang penggusuran. Penyebabnya rumah-rumah warga telah padat. Gambarannya, satu rumah minimal ditempati dua keluarga.
Yusuf tak bisa membayangkan keresahan warga kala itu. Di sisi lain, warga tak mau salah langkah dalam melawan, mereka terbayang penggusuran Kampung Pulo yang berdarah-darah dan tak mau itu terjadi.
Warga Menggugat
Warga akhirnya beramai-ramai melancarkan gugatan class action melawan Pemprov DKI Jakarta. Warga mengajukan gugatan dengan Nomor 59/G/2016/PTUN-JKT terkait dengan penetapan lokasi sodetan Kali Ciliwung, khususnya di Kelurahan Bidara Cina seluas 10.357 meter persegi.
Menurut warga penetapan lokasi di Bidara Cina telah berubah dari luas sebelumnya, tanpa melalui mekanisme pemberitahuan.
Dalam pembacaan putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, 25 April 2016, majelis hakim memenangkan gugatan warga karena menganggap SK Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, terkait penetapan lokasi untuk pembangunan sodetan Kali Ciliwung ke Kanal Banjir Timur, telah melanggar asas-asas pemerintahan.
Pengadilan memerintahkan Pemprov DKI menghitung ulang luas lahan yang dibutuhkan untuk sodetan dan membayar ganti rugi lahan tersebut kepada penggugat.
Di era Gubernur Anies Baswedan, pemprov urung melanjutkan banding di MA atas putusan tersebut. Anies lalu bikin tim pengukuran tanah untuk ganti untung di Bidara Cina merujuk Keputusan Gubernur DKI Nomor 1744 Tahun 2019.
Hingga kini, Anies belum mengeluarkan penetapan lokasi untuk sodetan di Bidara Cina, meski BBWSCC sudah melobi warga dan menyiapkan ganti rugi untuk tanah mencapai Rp60 miliar.
"Pindah Rumah Tak Hanya Soal Administrasi"
Kini nasib warga belum jelas. Mereka di ambang ketidakpastian soal kelanjutan hunian mereka.
Yusuf menyatakan pertemuan terakhir digelar pada November 2019 lalu yang dihadiri perwakilan Pemprov DKI, Kementerian PUPR, dan BBWSC. Dalam pertemuan itu Yusuf diberitahu bahwa proyek sodetan akan dilanjutkan tapi sejak pertemuan itu tak ada lagi tindak lanjut.
Endang Sundari, Ketua RW 14 belum merenovasi rumahnya yang telah bocor di sana sini lantaran dihantui bayangan penggurusan.
Kekhawatiran itu pula ia yakini menghantui warga lainnya. Karenanya ia enggan terlalu meributkan hal ini dengan warga meskipun ia selalu mengingatkan warga untuk merapihkan seluruh dokumen-dokumen tanah dan rumah mereka untuk mengantisipasi pengurusan kerugian.
"Sudah sejak ancaman gusuran pertama kita bikin tim per RT. Misalnya untuk rumah yang sertifikatnya masih atas nama orang tua dan orang tuanya udah meninggal, nanti kan pasti ribet," kata Endang.
Warga kini terus berharap agar ada kepastian dan ganti untung.
"Digusur itu kan bukan sekadar pindah saja, ada urusan administrasi ada juga soal pekerjaan. Itu harus dipikirin," katanya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali