Menuju konten utama

Cerita Suharno, Sang Badut 30 Tahun, Hancur Lebur Dihantam Pandemi

Suharno, bekerja sebagai badut sejak hampir 30 tahun lalu, hancur dihantam pandemi. Tapi toh ia berusaha tetap hidup dengan mencari uang dari tempat lain.

Cerita Suharno, Sang Badut 30 Tahun, Hancur Lebur Dihantam Pandemi
Suharno (58) atau Harno Badut mengalami penurunan omset semenjak pandemi COVID19 melanda Indonesia. Peralatan badut sulapnya tersimpan rapi. tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Kompleks Kostrad di Kebayoran Lama Jakarta Selatan pagi itu masih lengang. Beberapa prajurit TNI AD berkaos dan celana pendek serba putih menunggu giliran cek kesehatan di depan klinik. Beberapa yang lain mengantre membeli bubur ayam di bawah pohon yang rindang. Ada juga yang duduk-duduk di warung kopi.

Tapi Suharno malah mencak-mencak kepada seseorang di ujung telepon. Rumah yang tenang menjadi ramai dengan suara Harno yang menggelegar, terlebih lagi panggilan dilakukan dengan pengeras suara. Untung saja saudara dan para keponakannya tak ambil peduli.

“Saya tidak pernah minjam apa-apa. Apa yang harus saya bayar?”

“Tapi, ini, data bapak ada di kami.”

“Saya tidak tahu. Saya tidak pernah minjam.” Ia menutup sambungan telepon.

Sampai pantatnya menempel di kursi halaman rumah, Harno, berusia 58 tahun, masih terheran-heran dengan telepon tersebut. Itu panggilan dari pinjaman online. “Saya tidak merasa meminjam uang, beli barang apa-apa. Masak saya yang bayar? Enggak benar itu,” keluh Harno kepada saya di rumahnya di Kompleks Kostrad Rabu 4 November 2020. Ia menduga ada pihak tak bertanggung jawab menggunakan data diri Harno untuk berutang.

Harno nampak bugar meski belakangan ini harus mengojek dengan keras. Kemarin ia baru pulang pukul satu malam sejak keluar rumah pagi hari. Hari itu ada 13 pesanan antar makanan. Ia berkeliling dari titik kumpulnya di Pondok Indah ke Rempoa, Radio Dalam, sampai Ciputat. Selama musim pandemi COVID-19, menjadi mitra ojek daring lebih bisa Harno andalkan untuk menyambung hidup.

“Saya ngojek dari 2013. Gojek untuk mendukung kalau panggilan badut sepi,” ujarnya.

Harno mengeluhkan penghasilannya sebagai badut sulap porak-poranda saat COVID-19. Awal Maret seharusnya ia mengisi tiga acara ulang tahun, namun klien membatalkan karena tidak mendapat izin keramaian dari ketua RT setempat.

Untuk satu kali pertunjukan dengan durasi satu jam 30 menit Harno mematok harga variatif. Pertunjukan sulap sederhana dengan bola dan kipas dibanderol Rp 500 ribu; untuk pertunjukan dengan sulap menghilangkan burung Rp 800 ribu; sulap dengan meja terbang Rp 900; kalau mau semuanya Rp 1 juta. “Harusnya kalau untuk menutupi kebutuhan hidup harian, 2-3 kali pentas dalam sehari atau seminggu tiga kali juga sudah cukup.”

Sebelum menjadi badut, Harno melamar menjadi polisi pada tahun yang ia tidak ingat. Namun setelah dites fisik, ia tidak lolos. Harno juga urung mengikuti jejak sang ayah sebagai prajurit TNI AD karena struktur giginya tidak lengkap.

Sekitar 1980-an Harno mendaftar pada sebuah yayasan penyedia jasa keamanan sebagai satpam. Harno bisa dibilang generasi awal, karena satpam baru disahkan ketika Kapolri Jenderal Polisi Awaloedin Djamin menerbitkan SKEP/126/XII/1980 tentang Pola Pembinaan Satuan Pengamanan.

Ketika menjadi Satpam, Harno merasa serba kekurangan: gajinya kecil dan uang makannya sedikit. Menurutnya karena banyak dipotong oleh yayasan yang menyalurkan jasanya. Padahal, di sisi lain, tanggung jawab dan risikonya besar. Harno pernah ditunjuk lembur 24 jam menjaga pertokoan, begitu ia pulang malah jatuh dari sepeda motor. “Mau tidur di musala enggak boleh. motor jalan sendiri, saya pingsan. Pelipis berdarah tapi helm enggak lepas.”

Pernah satu kali Harno ditugaskan menjaga kantor di Subang, Jawa Barat. Awalnya ia menolak tapi setelah dipikir ulang ada kesempatan untuk berbuat curang. Harno melebihkan uang transportasi. “Ongkos Rp 150 ribu kita bikin Rp 200,” katanya.

Harno memutuskan berhenti sebagai satpam pada 1991 dan berkeinginan menjadi badut. Ia sudah tidak kuat. Banyak yang ia korbankan sebagai satpam, termasuk merelakan sang istri pulang ke rumah orang tuanya. “Jauh memang dari sekuriti ke badut. Mau kerja di lain tempat juga susah, karena usianya sudah lewat.”

Mula-mula ia mengikuti seorang teman yang lebih dulu menjadi badut untuk produk minuman alkohol lokal. Harno tidak cocok karena bentuk badutnya seram menyerupai perawakan orang tua. Kemudian ia mengikuti teman yang lain, dengan karakter badut yang lebih jenaka: berambut kribo, hidup bulat merah, dan tubuh bergelambir. Bermodal uang pesangon Rp 4 juta, Harno membuat kostum badut pertama dan alat-alat tata rias lainnya.

Ia mulai berlatih memandu acara di depan kaca. Tak sekalipun ia merasa malu menatap wajah penuh riasan norak begitu. Harno juga mulai membekali diri dengan trik-trik sulap sederhana.

Ketika awal merintis menjadi badut hingga memasuki awal 2000-an, Harno sering kebanjiran panggilan. Dalam satu hari ia bisa melayani 3 panggilan sekaligus. Itu pun dengan ketentuan lokasi ada di arah yang sama. Ia tidak mau banyak buat waktu di jalan.

Memasuki pertengahan 2000-an hingga sekarang, panggilan badutnya perlahan berkurang. Harno mulai memanfaatkan media sosial untuk mendongkrak pemasaran. Hasilnya tidak banyak membantu meski popularitasnya meningkat.

Harno dengan akun @Suharno41747558 pernah viral di Twitter pada 2018 lalu saat mempromosikan jasa badutnya. Dua tahun berikutnya melalui akun yang sama, Harno viral lagi ketika berencana menjual akun Twitter-nya untuk membuka usaha warung. Momentum viral membuatnya diliput media elektronik hingga diundang ke acara temuwicara di sebuah televisi swasta.

COVID-19 semakin membuat finansial Harno tidak keruan. Perlengkapan badutnya tersimpan rapi di dalam tas hijau besar. Pentas terakhir sekaligus pertama dalam pandemi terjadi saat Harno diminta menghibur anak-anak pesantren di Bogor Oktober kemarin.

Belum lama ini seorang mahasiswa menghubungi Harno. Mereka saling kenal untuk kebutuhan tugas kuliah beberapa waktu lalu. Mahasiswa itu meminta Harno mengisi acara ulang tahun keponakannya pada 8 November. Harno senang karena bisa segera melihat senyum anak-anak lagi, sebuah aktivitas yang menurutnya bisa menghilangkan beban pikiran.

“Saya tidak pernah nyesel jadi badut, yang penting cari duit halal,” katanya mantap.

Baca juga artikel terkait DAMPAK PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino