tirto.id - Retno Aryanti, 27 tahun, tidak nyaman dengan cara penagihan utang perusahaan teknologi finansial bernama Go Cash. Menurutnya apa yang dilakukan fintech itu berlebihan.
Retno awalnya meminjam uang ke Go Cash sebesar Rp1 juta. Dengan potongan administrasi dan bunga sebesar Rp275 ribu, ia cuma menerima Rp725 ribu. Namun, Retno diwajibkan tetap membayar Rp1 juta.
Saat jatuh tempo pada 18 Oktober lalu, Retno dihubungi seorang penagih bernama Joni. Oleh karena hari itu Retno masuk kerja sif siang, dari jam 14.00 hingga 21.00, ia berjanji membayar selepas jam kerja.
"Tapi jam setengah delapan dia sudah menelpon dan WhatsApp saya. Itu saya masih kerja. Joni [menagih utang] dengan nada marah-marah dan etika yang buruk," kata Retno kepada reporter Tirto, Senin (5/11/2018) siang.
Retno baru bisa membayar utang pukul 23.00, seperti yang ia janjikan. Namun masalah ternyata tidak selesai. Mesin ATM yang ia pakai untuk transfer uang tak bisa mencetak resi atau bukti transfer. Keduanya lagi-lagi berdebat. Joni merasa dikibuli dan Retno sebisa mungkin meyakinkan sudah mentransfer uang.
Akhirnya, Retno mendiamkan Joni karena tak ingin meladeninya lagi di malam hari. Debat antara keduanya terjadi hingga 01.00 dini hari. Retno kemudian berjanji mengirimkan bukti transfer pada 19 Oktober pagi, pukul 09.00.
Namun sebelum mengirim bukti transfer, Retno sempat mendapat kabar dari Wulan, temannya. Wulan mengaku diteror Joni pada pukul 07.00 pagi.
"Joni menelepon ke teman saya pagi-pagi. Menuduh teman saya sebagai penanggung jawab pembayaran. Mengancam akan ke rumah dan kantor teman saya, padahal [kasus saya] tidak ada sangkut-pautnya dengan teman saya. Saya sudah bayar, hanya bukti cetak pembayaran yang tidak ada," katanya.
Nomor telepon Wulan memang dicantumkan Retno sebagai nomor telepon darurat saat mendaftarkan diri sebagai debitur Go Cash. Ia tak menyangka penagih sampai menghubungi Wulan.
"Cuma yang saya permasalahkan, kenapa dia bilangnya teman saya itu sebagai penanggung jawab utang saya. Malah menuduh teman saya bekerja sama menggelapkan uang sama saya. Kan, tidak beres ini penagih," kata Retno.
Pukul 11.00, Retno akhirnya bisa mencetak bukti pembayaran dan memberikannya kepada Joni. Masalah dianggap selesai. Karena kasus ini, Retno mengaku tak bakal meminjam uang lagi ke Go Cash, apalagi jika penagihnya masih si Joni.
Bukan Kasus Tunggal
Retno tak sendirian. Setidaknya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat ada 283 kasus serupa, atau bahkan lebih parah, selama tiga tahun terakhir.
"Meski mulai mengadu ke LBH Jakarta itu Mei lalu, tapi mereka sudah membangun kelompok pengaduan khusus sejak 2016, meski kelompok itu lebih ke curhat, sih," kata Kepala Divisi Advokasi Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait kepada reporter Tirto.
Benang merah antara ratusan kasus itu adalah penagihan utang kerap dibarengi dengan intimidasi, termasuk diminta menari telanjang dan diancam dibunuh. Perusahaan pun kerap menagih utang ke atasan korban atau ke kantor. Ini membuat peminjam malu sehingga berakibat ada peminjam yang dipecat dan berupaya bunuh diri.
"Ada tujuh bentuk modus, satu orang pun bisa bermacam-macam kenanya. Bahkan ada yang satu orang yang mengalami tujuh-tujuhnya," kata Jeanny.
Tujuh modus pelanggaran yang ditemui LBH Jakarta adalah: seluruh data pribadi diambil dari gawai milik peminjam, penagihan tak hanya dilakukan kepada peminjam saja namun kepada seluruh kontak yang di dalam gawai milik peminjam, penagihan dilakukan dengan cara memaki dan mengancam, bunga pinjaman tidak terbatas, penagihan dilakukan tanpa kenal waktu, nomor kontak pihak peminjam tidak selalu tersedia, dan alamat perusahaan peminjam tidak jelas.
Upaya Advokasi
Ada tiga masalah besar yang LBH Jakarta lihat dalam kasus yang dialami Retno dan ratusan korban lain.
Yang pertama adalah pelanggaran terhadap hak atas privasi seseorang.
"Orang bisa diakses handphone-nya, data-datanya diambil, dan disebar. Hak atas privasi itu melampaui dari rahasia seseorang. Itu menunjukkan hak atas privasi bukan hanya mengenai rahasia, tapi juga dikendalikan seseorang tersebut."
Kedua, peraturan OJK yang ada tak cukup mumpuni untuk melindungi korban peminjaman daring. Perusahaan fintech juga hanya dikenakan sanksi administratif jika melakukan tindak pidana.
"Di OJK pun hanya 64 perusahaan yang terdaftar, padahal sejak Agustus 2018 sudah ada 300 perusahaan peminjaman dana online."
Pelanggaran ketiga adalah tindak pidana yang dilakukan perusahaan kepada pelanggannya lewat para penagih.
"Difitnah, dilecehkan secara seksual, tindak kekerasan verbal, dan intimidatif. Ini harus diperhatikan secara serius," katanya.
Oleh karena itu, LBH Jakarta mendorong OJK untuk segera merevisi aturan sehingga dapat melindungi masyarakat yang menjadi korban. Mereka juga meminta OJK menindak tegas perusahaan peminjaman daring yang melakukan tindak pidana.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino