tirto.id - Seorang wartawan bernama Muhammad Yusuf (42) meninggal saat menjalani masa penahanan di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, Kalimantan Selatan Minggu, 10 Juni 2018. Yusuf meregang nyawa dengan status tahanan titipan Pengadilan Negeri Kotabaru karena kasus pemberitaan konflik tanah antara masyarakat dengan PT Multi Agro Sarana Mandiri (MSAM) di Pulau Laut, Kalimantan Selatan.
Saat dihubungi Tirto, istri Yusuf yang bernama Arvaidah menceritakan suaminya dicokok anggota Satuan Reskrim Polres Kotabaru di Bandara Internasional Syamsuddin Noor Banjarmasin, Kamis, 5 April 2018. Saat ditangkap, Yusuf hendak terbang ke Jakarta bersama 15 warga buat melaporkan konflik tanah ke Komnas HAM. Teman-teman lainnya kemudian berhasil mengadu ke Komnas HAM.
“Bapak membantu advokasi warga,” kata Arvaidah, Senin (11/6/2018) malam.
Menurut Arvaidah, polisi sempat mempersoalkan status suaminya yang bekerja menjadi wartawan untuk media Kemajuan Rakyat. Media tersebut disebut tidak terdaftar di Dewan Pers. Arvaidah menyebut Yusuf tak hanya bekerja untuk Kemajuan Rakyat, tapi juga untuk Sinar Pagi Baru sejak 2013. Selain itu, ia bekerja di media Berantasnews.com.
"Dia punya kartu identitas wartawan, surat tugas, dan memiliki kartu uji kompetensi wartawan," imbuh Arvaidah.
Toh, polisi tak ambil pusing. Yusuf tetap ditahan di Polres Kota Baru. Saat itu, kata Arvaidah, kondisi kesehatan Yusuf mulai memburuk. Bapak dua anak ini memang punya riwayat komplikasi penyakit lambung, jantung, dan stroke sejak 2012. Dalam rekam medisnya, Yusuf diwajibkan kontrol berobat ke RSUD Banjarbaru sebulan sekali seumur hidup.
Melihat kondisi suaminya yang memburuk, Arvaidah mengajukan penangguhan penahanan kepada kepolisian, tetapi tak direspons. Polisi hanya mendatangkan mantri untuk mengecek kesehatan Yusuf kemudian menyerahkannya ke Kejaksaan setelah berkas dinyatakan P21.
Di kejaksaan, kata Arvaidah, kondisi suaminya tak juga membaik. Ia pun kembali meminta penangguhan penahanan ke Kejaksaan Negeri Kotabaru untuk berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Kotabaru. Upaya ini juga tak dikabulkan Kejari Kotabaru. Setelah enam hari mendekam di rutan Kejari Kotabaru, Yusuf diserahkan ke Pengadilan Negeri Kotabaru untuk menjalani persidangan. Saat menjalani sidang, Majelis Hakim PN Kotabaru menitipkan Yusuf ke Lapas Kelas II B Kotabaru.
Arvaidah kemudian mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya suaminya bisa dirawan di RSUD Kotabaru. Permohonan itu dikabulkan hakim. Yusuf bisa menjalani rawat inap di RSUD Kotabaru selama tiga hari. Arvaidah mendapat surat dari Pengadilan yang merekomendasikan Kejari Kotabaru supaya Yusuf menjalani rawat inap.
Setelah kondisi fit, Yusuf kembali menjalani persidangan. Setelah disidang, kondisi kesehatan Yusuf kembali memburuk. Arvaidah pun kembali memohon kepada Jaksa supaya suaminya menjalani rawat inap. “Tapi tak diizinkan Kejaksaan dengan alasan pengadilan hanya memberikan izin satu hari rawat jalan,” kata Asvidah.
Arvaidah hanya bisa pasrah. Ia khawatir dengan kesehatan suaminya, tapi tak bisa berbuat banyak. Terhitung dua bulan enam hari, Yusuf mendekam di tahanan. Hingga Sabtu malam (9/6/2018), Arvaidah menerima pesan singkat dan telepon dari sang suami yang mengaku susah tidur dan menanyakan anak mereka yang baru berusia enam tahun dan tiga tahun.
Hampir dua jam berbincang, telepon terputus. Yusuf kemudian mengirim pesan singkat minta dibawakan baju untuk lebaran. Arvaidah pun membalas pesan itu, tapi ia tak kunjung mendapat balasan. Tak lama berselang, telepon genggam miliknya berdering dan seorang petugas lapas mengatakan, Yusuf dibawa ke UGD RSUD Kotabaru. “Setelah saya sampai di rumah sakit, Pak Yusuf sudah meninggal,” ucap Arvaidah.
Polisi dan Jaksa Membantah
Keterangan Arvaidah dibantah polisi. Kasat Reskrim Polres Kotabaru AKP Surya Mifta menyatakan dirinya tahu Yusuf punya riwayat penyakit kronis. Penyidik tak mengabulkan permohonan dari istri tersangka (status Yusuf saat itu) karena Yusuf tak kooperatif saat menjalani penyidikan.
“Dia tidak kooperatif sehingga kami tidak memberikan penangguhan,” kata Surya kepada Tirto.
Surya juga membantah keterangan Arvaidah yang menyebut Yusuf harus kontrol berobat sebulan sekali. Surya menyebutkan dokter tidak menyarankan Yusuf untuk kontrol berobat, tetapi menyarankan mengambil obat seminggu sekali. Ia pun mengatakan kondisi kesehatan Yusuf sehat selama mengkonsumsi obat yang dibawa sang istri. Malah, klaimnya, penyidik selalu mengingatkan Yusuf untuk minum obat.
“Dia itu sebenarnya sehat bahkan aktivitas sebelumnya sehat terus,” ucap Surya yang mengaku kenal dekat dengan Yusuf.
Bantahan juga disampaikan Kasi Pidana Umum Kejari Kotabaru Wahyu Oktaviani. Ia mengatakan kejaksaan tak mengabulkan penangguhan karena Yusuf tidak memenuhi persyaratan lengkap untuk ditangguhkan sesuai KUHAP.
Dalam Pasal 31 Ayat 1 UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP, ada tiga syarat penangguhan: Pertama permintaan dari tersangka/terdakwa, kedua permintaan harus disetujui penyidik/penuntut umum/hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan, terakhir ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi jaminan yang ditetapkan.
“Penangguhan yang diajukan keluarganya secara tertulis tidak dikomunikasikan lagi. Sedangkan untuk ditangguhkan ada syaratnya. Harus ada uang jaminan dan siapa penjaminnya. Kalau surat seperti itu saja, bagaimana kami tahu berapa jaminannya,” kata Wahyu kepada Tirto.
Selain itu, Wahyu menyebut, tak menangguhkan penahanan karena Yusuf dikhawatirkan menghilangkan barang bukti dan melarikan diri. Meski begitu, ia membantah anggapan yang menyebut dirinya tidak mempedulikan kesehatan Yusuf.
Ia mengklaim Kejari pernah merawatinapkan Yusuf di RSUD Kotabaru selama tiga hari atas surat yang diterbitkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotabaru. Ia menjelaskan bahwa perawatan Yusuf dilakukan pada tanggal 14-17 Mei 2018. Ia lagi-lagi membantah bahwa rekam medis penyakit Yusuf tidak diberikan, tapi hanya selembar kertas surat keterangan dokter.
Ia menolak kejaksaan disalahkan atas meninggalnya Yusuf. Wahyu bilang, status Yusuf sudah terpidana dan pengawasannya merupakan tanggung jawab pengadilan. “Kuasa penahanan itu berada di pengadlian. Ketika sudah dilimpahkan, kami tidak punya kewenangan lagi terhadap terdakwa.”
Komnas HAM Bentuk Tim Investigasi
Kematian Yusuf disesalkan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia Hairansyah. Hairansyah adalah komisioner yang menerima pengaduan dari masyarakat Pulau Baru saat melapor ke Komnas HAM. Dalam pengaduan itu, Yusuf menjadi salah satu pihak yang disebut mengadvokasi warga.
Hairansyah menilai Kejaksaan Negeri Kotabaru dan pihak Lapas Kelas II B Kotabaru harus menjelaskan secara terperinci musabab meninggalnya Yusuf. Ancah, sapaan akrab Hairansyah menyebut kejaksaan dan lapas tak bisa lepas tanggung jawab karena perkara yang menyeret Yusuf masih dalam proses, terlebih Yusuf meninggal karena ditahan dengan mengidap penyakit kronis.
“Ada hal-hal yang cukup janggal dalam kasus ini; informasi yang bersangkutan (keluarga) beliau mau ke Komnas HAM Jakarta. Kita akan memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini,” kata Ancah kepada Tirto.
Oleh karena itu, Komnas HAM akan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki pihak yang patut bertanggungjawab atas kematian yang menimpa Yusuf. “Usai lebaran tim investigasi sebanyak 5-6 orang akan turun ke lapangan,” ucap Ancah.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Mufti Sholih