tirto.id - Penyidik Subdit II/Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumatera Utara menangkap JRTP, pemilik media daring sorotdaerah.com di kediamannya pada 6 Maret 2018, pukul 03.30. Selain JRTP, polisi juga menangkap LS pada tanggal yang sama pukul 20.00.
Polisi memeriksa keduanya karena diduga terlibat dalam kasus pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3) UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). JRTP dan LS diduga melakukan pencemaran nama baik terhadap Kapolda Sumut, Paulus Waterpauw melalui salah satu berita di sorotdaerah.com.
Judul berita "Desakan Copot Irjen Paulus Waterpauw Menguat, Pengamat: PPATK Harus Periksa Rekening Kapolda". Paulus Waterpauw dianggap punya "kemesraan" dengan tersangka kasus penipuan dan penggelapan pada prosesi penyerahan kunci rumah di Mako Brimob berinisial M. (Kini situs sorotdaerah.com tidak bisa diakses. Berita tidak bisa diakses secara sempurna, tapi masih bisa dibaca sebagian di sini).
Narasumber dalam berita itu adalah Muslim Muis, Direktur Pusat Studi Hukum dan Pembaharuan Peradilan (Puspha) Sumut. Muslim Muis mendesak transaksi keuangan terkait Paulus Waterpauw menjadi perhatian PPATK—tugas dan kewenangan untuk menerima laporan transaksi keuangan, melakukan analisis atas laporan transaksi keuangan, dan meneruskan hasil analisis kepada lembaga penegak hukum.
Polisi menangkap JRTP karena ia adalah pemilik media sorotdaerah.com, sedangkan LS adalah penulis berita dan yang mengunggah berita yang dipersoalkan dalam kasus tuduhan pencemaran nama baik.
Agoez Perdana, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, mengatakan bahwa sorotdaerah.com bukan media abal-abal. Perusahaan sorotdaerah.com, PT Sorot Daerah Indonesia, terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM dengan SK Nomor AHU-004620.AH.01.01.TAHUN 2017.
Agoez Perdana melampirkan laman utama Redaksi sebelum sorotdaerah.com tak bisa diakses. Nampak jelas susunan redaksi, tertulis LS adalah Pemimpin Redaksi sorotdaerah.com. JRTP merupakan anggota AJI Medan.
"Ia juga anggota kami [AJI Medan]," kata Agoez kepada Tirto.
Tim Advokasi Pers Sumut dan AJI Medan sempat merespons dengan mendatangi Polda Sumut. Dalam rilis resmi AJI Medan, tim advokasi berdebat beberapa kali dengan polisi. Ketika tim memotret, salah seorang polisi meminta agar foto dihapus. "Penyidik mengusir kami," kata anggota Tim Advokasi Pers Sumut, Armada Sihite.
Menurut pihak AJI Medan, polisi menabrak beberapa aturan ketika menangkap dua jurnalis sorotdaerah.com. Pertama, polisi melanggar Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi: "dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum."
Kedua, selain itu ada nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II/2017 tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan—yang juga dilanggar.
Menurut AJI Medan, polisi seharusnya menyelesaikan sengketa hasil jurnalistik di Dewan Pers. Polisi tidak bisa menjerat wartawan dengan UU ITE. Hal ini sudah tertera jelas dalam Pasal 15 UU Pers dan ditegaskan kembali lewat putusan Mahkamah Agung tahun lalu ketika mengadili sengketa Bupati Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng), Amiruddin Rauf terhadap surat kabar Nuansa Pos.
MoU Kapolri-Dewan Pers yang diteken pada Februari tahun lalu yang disebutkan tadi juga menegaskan ini, yaitu jika ada sengketa, maka antar pihak harus menyelesaikannya di Dewan Pers.
Kritik Terhadap Langkah Polisi
Pihak Polda Sumut mengklaim sudah "berkoordinasi" dengan Dewan Pers mengenai masalah ini. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Kasubbid Penmas Bid Humas Polda Sumut, AKBP M.P. Nainggolan, mereka sudah minta keterangan dari "Dewan Pers Sumut".
Menurut keterangan dari polisi bahwa LS selaku penulis "tidak terdaftar dalam keanggotaan pers dan profesi jurnalis." Ia tidak dianggap sebagai wartawan, sehingga dijerat UU ITE dan bukan UU Pers.
Kabid Humas Polda Sumut Rina Sari Ginting mengungkapkan Dewan Pers secara institusi, bukan individu, sudah dimintai keterangan sebagai saksi ahli. Namun ketika ditanya siapa yang dimaksud, Rina Sari Ginting tidak bisa menjawab.
"Detailnya saya tidak tahu," katanya kepada Tirto.
Persoalannya adalah tak ada yang namanya "Dewan Pers Sumut" yang ada hanya Dewan Pers di Indonesia, yang beralamat di Jl. Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat.
Hendry C.H. Bangun, Anggota Dewan Pers dari unsur wartawan, kembali menegaskan soal keberadaan Dewan Pers yang sifatnya nasional. Ia mengatakan tidak ada yang namanya Dewan Pers Sumut. Hendry juga mengatakan tidak pernah ada koordinasi antara Polda Sumut atau Polres Pematang Siantar ke Dewan Pers.
"Enggak ada. Kalau misalnya ada, tidak mungkin ditangkap," katanya kepada Tirto.
Hendry mengatakan semua terkait produk jurnalistik, maka penilaian akhir ada di tangan Dewan Pers. Penilaian itu mencakup pelanggaran etik, wartawan yang tidak kompeten, dan aspek lainnya.
"Beda kalau nulis di sosial media," kata Hendry.
Tirto kembali mengklarifikasi kepada Kasubbid Penmas Bid Humas Polda Sumut, AKBP M.P. Nainggolan soal koordinasi dengan "Dewan Pers Sumut". Namun, Nainggolan tak meralat soal pernyataan ihwal koordinasi dengan "Dewan Pers Sumut". Ia malah mengatakan sudah ada koordinasi dengan "ahli pers" di Sumut. Kedua istilah Dewan Pers dan Ahli Pers jelas-jelas berbeda.
"Sudah meminta keterangan ahli pers Sumut," kata Nainggolan saat ditanya ihwal penilaian soal jurnalis dan media massa adalah ranah Dewan Pers.
Dari perkembangan terkini kasus penangkapan terhadap dua jurnalis, JRTP sudah dibebaskan sejak kemarin (7/3) pagi. Sementara itu, LS masih diperiksa.
"Yang wartawan [JRTP] sudah dikeluarkan. Dia itu saksi," kata Kabid Humas Polda Sumut Rina Sari Ginting kepada Tirto.
Penulis: Rio Apinino