Menuju konten utama

Centro Plaza Semanggi Tutup, Toko Online Benar-Benar Mengganggu?

Gerai Centro akhirnya tutup setelah beroperasi 15 tahun di Plaza Semanggi.

Centro Plaza Semanggi Tutup, Toko Online Benar-Benar Mengganggu?
Ilustrasi Department Store. ANTARA/Muhammad Adimaja

tirto.id - Linda, 31 tahun, terkejut ketika mendengar Centro Department Store sudah tidak ada lagi di Plaza Semanggi, Jakarta. Warga yang tinggal di Jakarta Selatan ini salah satu pelanggan Centro.

“Sepatu yang dijual Centro itu bagus-bagus. Harganya juga terjangkau. Saya bahkan sampai punya kartu member-nya,” kata perempuan asal Surabaya ini kepada Tirto.

Ia tambah kaget ketika mengetahui gerai Centro di Plaza Semanggi adalah satu-satunya gerai Centro yang ada di Jakarta. Bila Linda ingin berkunjung, lokasi gerai terdekat berada di Depok, Tangerang, Bekasi, dan Tangerang Selatan.

Centro tidak memperpanjang kontrak sewa gerai di Plaza Semanggi sejak 31 Desember 2018. “Kami sebenarnya sedih untuk tutup. Sudah 15 tahun kami di sana. Namun ini memang sudah dipikirkan sejak lama, dan masak-masak [untuk tutup],” kata Senior Manager Advertising & Promotions PT Tozy Sentosa Pelly Sianova kepada Tirto.

Mereka beralasan, keputusan menutup gerai karena akses menuju Plaza Semanggi kini menjadi terbatas, meski lokasi mal berada di pusat kota. “Ada faktor-faktor di luar kemampuan kami untuk kami bisa handle, di antaranya kebijakan ganjil genap, arus traffic yang berubah hingga akses masuk menjadi terbatas,” katanya.

Kondisi ini juga semakin parah mengingat lokasi Plaza Semanggi juga dekat dengan mal-mal kompetitor seperti FX Sudirman, Pacific Place, dan Senayan City, di mana akses masuk mereka lebih mudah. Manajemen menilai gerai Centro di Plaza Semanggi pun tidak lagi profitable. Namun, Pelly belum bisa memastikan soal maraknya bisnis online yang menjamur berdampak terhadap menurunnya pengunjung Centro.

“Kami masih cukup pede masih ada orang yang belanja langsung ke toko, karena umumnya kalau belum coba itu enggak enak. Jadi agak susah bilang apakah gerai ditutup karena bisnis online atau tidak,” katanya.

Berguguran department store memang bukan hal baru. Selain Centro, ada Central Department Store di Neo Soho, Grogol, Jakarta Barat juga tutup sejak Januari 2019. Gerai department store asal Thailand itu sebelumnya hanya beroperasi sekitar 2,5 tahun.

Sebelum mereka, aksi tutup toko juga sudah dilakukan oleh merek-merek ternama. Matahari Department Store milik Lippo Group menutup gerainya di Pasaraya Grande Blok M dan Manggarai Jakarta pada tahun lalu.

Gerai milik PT Mitra Adiperkasa, salah satu pemain utama bisnis retail department store menutup dua gerai Lotus di Djakarta Theater dan Debenhams di Senayan City. Metro Department Store juga ikut juga sudah menutup gerainya di Pacific Place, Jakarta. Juga ada Lotus Department Store yang tutup pada 2017.

Apakah fenomena tutup gerai department store akan berlanjut?

Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan tidak menutup kemungkinan penutupan gerai-gerai besar masih terjadi lantaran peritel terutama segmen departement store sedang menyesuaikan diri dengan kondisi pasar.

“Secara umum, industri ritel memang sedang menghadapi tantangan yang cukup besar seiring dengan perkembangan zaman. Kondisi bisnis saat ini tidak seperti dulu lagi. Ada peralihan,” katanya kepada Tirto.

Peralihan yang dimaksud Budihardjo antara lain tingginya permintaan di luar Jawa ketimbang di Jawa. Menurutnya, ritel-ritel besar kini fokus ke luar daerah atau luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan.

Program pemerintah yang fokus ke daerah membuat pengeluaran atau daya beli masyarakat di daerah atau luar Pulau Jawa juga ikut meningkat. Kondisi ini membuat pertumbuhan gerai-gerai ritel baru di luar Pulau Jawa cukup kencang.

Selain itu, tekanan terhadap peritel juga datang dari pelaku perdagangan daring. Saat ini, makin banyak konsumen yang berbelanja online lantaran harga yang ditawarkan lebih murah, dan praktis ketimbang toko offline. Toko online dianggap lebih berdaya saing.

Persoalan ini sering dikaitkan dengan masalah perpajakan. Pebisnis toko offline mendesak pemerintah untuk segera menjalankan aturan pajak e-commerce. Mereka berharap dari pajak e-commerce itu dapat menciptakan kesetaraan berusaha antara peritel offline dan online.

Beleid yang mengatur pajak e-commerce tersebut ada di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 210/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Aturan ini akan berlaku 1 April 2019.

Kehadiran teknologi yang mendisrupsi bisnis ritel sudah jadi konsen pemain retail Chairul Tanjung sejak lama. Menurut Pendiri CT Corp, kondisinya sudah cukup mengganggu peritel offline. CT merupakan pemilik ritel Carrefour dan Metro Department Store. Namun, ia masih optimis masih ada tempat untuk retail offline.

It’s my prediction, pribadi, bisnis O2O [online to offline] adalah keniscayaan. Pemain non phisically hanya akan mengambil 30 persen pasar saja, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Tapi ini sudah cukup mengganggu,” katanya dikutip dari CNBC pada Kamis (22/3/2018).

infografik era kegelapan pusat perbelanjaan

infografik era kegelapan pusat perbelanjaan

Porsi platform digital terutama e-commerce Indonesia dari total penjualan ritel Indonesia memang masih sangat kecil. Berdasarkan data Statista, porsi e-commerce pada 2014 tercatat 0,8 persen, dan naik menjadi 1,4 persen pada 2015. Pada 2019 diperkirakan sebesar 4,4 persen. Meski masih kecil, adanya tren pergerakan pertumbuhan setiap tahun, tentu sangat wajar bila pelaku ritel konvensional merasa toko online telah cukup "mengganggu".

Apa yang menjadi konsen CT berkelindan dengan respons para manajemen para peritel. Ada benang merah soal sikap manajemen ritel Central dan Centro terkait penutupan gerai-gerainya. Mereka sama-sama menyinggung soal omni channel sebagai solusi untuk berdaya saing di tengah perkembangan teknologi digital saat ini.

“Kami melihat omni channel adalah salah satu jalan keluar kami untuk lebih memberikan layanan terbaik kepada pelanggan dan menjangkau pelanggan secara lebih luas di seluruh Indonesia,” kata Public Relation Department Manager PT Central Retail Indonesia Dimas Wisnu Wardana.

Omni channel adalah saat pelanggan bisa menggunakan lebih dari satu jalur penjualan seperti toko fisik, e-commerce, dan lain sebagainya untuk melakukan riset, membeli, mendapatkan dan mengembalikan hingga menukar barang dari peritel.

Sebagai gambaran, misalkan Anda pada pagi hari berselancar barang di HP. Lalu siang harinya melihat detail barang di laptop, dan sorenya membeli barang via smartphone. Setelah itu, Anda mengambil barang langsung di toko offline sesuai dengan pesanan.

Omni channel atau bisnis O2O yang diutarakan Chairul Tanjung kurang lebih sama. Intinya adalah mengintegrasikan online dan offline untuk dapat memberikan pengalaman berbelanja yang terbaik bagi konsumen. Di Cina ada istilah "new retail" yang dikembangkan oleh Alibaba dan Tencent.

Model bisnis omni channel ini juga mulai dijalankan oleh pelaku ritel. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengklaim sebanyak 95 persen dari total anggotanya berjumlah 600 anggota sudah masuk ke online. “Ritel di Indonesia saat ini sudah mentransformasikan bisnisnya tidak hanya ke toko fisik tapi juga ke toko online. Sudah 95 persen dari total anggota kami sebanyak 600 anggota yang masuk ke online,” klaim Ketua Aprindo Roy Mandey dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI RITEL atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra