Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Catatan CORE soal Defisit Anggaran yang Makin Lebar Akibat Corona

Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah merinci dampak buruk dari potensi defisit anggaran yang semakin lebar imbas pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia.

Catatan CORE soal Defisit Anggaran yang Makin Lebar Akibat Corona
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kemenkeu Luky Alfirman dan Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani saat akan menggelar konferensi pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (21/6/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.

tirto.id - Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah merinci dampak buruk dari potensi defisit anggaran yang semakin lebar imbas pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) yang melanda Indonesia.

Dalam konteks ini, pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Salah satu poin krusialnya adalah ketentuan yang membolehkan pemerintah melampaui batas defisit APBN 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Piter berkata kebijakan stimulus fiskal, pelebaran deficit, dan pembiayaan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Stimulus dibutuhkan untuk mempercepat penanggulangan COVID-19, memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak, meningkatkan ketahanan dunia usaha, sekaligus mempersiapkan pemulihan ekonomi ketika wabah telah usai.

“Besarnya stimulus menyiratkan pelebaran defisit sekaligus juga besarnya kebutuhan pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah,” kata Piter dalam paparan yang diterima Tirto, Kamis (9/4/2020).

Ada empat potensi resiko yang perlu diperhatikan pemerintah akibat rencana pelebaran defisit dan pembiayaanya hingga 2022, kata Piter. Pertama, adanya risiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah.

Menutur dia, dengan melebarnya defisit anggaran tentunya akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar.

Sayangnya, kata dia, penerbitan SUN masih sangat bergantung pada investor asing. Sekitar 35 sampai 40 persen SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing.

“Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun Tiongkok. Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow)" jelas dia.

Ia memberi contoh terbaru, kasus yang bisa dilihat yaitu pada Februari dan Maret lalu ketika dana asing keluar sebanyak Rp145 triliun dari surat utang pemerintah. Dampaknya imbal hasil SUN meningkat dan beban biaya penerbitan SUN di masa mendatang menjadi lebih besar.

Kedua, risiko pelemahan nilai tukar. Tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah juga meningkatkan risiko sudden capital outflow yang akan mendorong pelemahan nilai tukar, kata Piter.

Selama Januari sampai dengan akhir Maret, kata dia, rupiah melemah sebesar 17,4 persen. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan.

“Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia," terang dia.

Ketiga, risiko crowding out, yaitu fenomena yang terjadi ketika Kebijakan fiskal menyebabkan suku bunga meningkat, sehingga mengurangi investasi. Piter berkata, hal ini bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuditas dari perbankan.

Dampaknya, kata Piter, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.

“Kalaupun mereka [swasta] mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang, mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah,: kata dia.

Keempat, risiko peningkatan utang luar negeri swasta. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri, maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung menurun.

Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian, kata Piter, karena 89 persen utang luar negeri swasta berdenominasi dolar AS dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas.

“Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar. Faktanya pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufkatur ataupun keuangan," kata Piter.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz