tirto.id - Gerak pemerintah pusat untuk mengendalikan efek lanjutan pandemi COVID-19 sepanjang pekan ini bak dilecut cemeti: langsung 'berlari kencang'.
Usai menetapkan status darurat kesehatan masyarakat dan mengumumkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Salah satu poin krusialnya adalah ketentuan yang membolehkan pemerintah melampaui batas defisit APBN 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ruang defisit yang lebih longgar, kata Jokowi, dibutuhkan untuk penanganan COVID-19 serta menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan nasional. Namun, relaksasi tersebut hanya diberikan selama tiga tahun, mulai tahun anggaran 2020 hingga 2022.
"Setelah itu, kembali ke disiplin fiskal maksimal defisit 3 persen mulai tahun 2023," ujar Jokowi di Istana Kepresidenan, Bogor, Selasa lalu (31/3/2020).
Pemerintah telah memutuskan menambah anggaran Rp405,1 triliun di APBN 2020 untuk penanganan COVID-19. Rinciannya, Rp75 triliun untuk belanja bidang Kesehatan; Rp110 triliun untuk perluasan social safety net; Rp70,1 triliun sebagai insentif pajak dan bea masuk untuk dukungan industri, serta Rp150 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional.
Di sisi lain, melemahnya aktivitas perekonomian selama masa darurat kesehatan serta insentif yang digelontorkan pemerintah akan menekan penerimaan negara. Sepanjang tahun ini, kata Sri Mulyani, penerimaan diprediksi turun hingga 10 persen.
Konsekuensinya, pembengkakan defisit APBN bakal mencapai 5,07 persen dari PDB.
"Perppu untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya defisit yang diperkirakan akan mencapai 5,07 persen. Karena itu perlu relaksasi kebijakan defisit APBN di atas 3 persen," kata Jokowi.
Bumerang di Masa Depan
Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal menyatakan meski perluasan defisit jadi satu-satunya opsi yang bisa ditempuh pemerintah untuk menambah kemampuan fiskal di tengah pandemi COVID-19, namun ia tetap khawatir kebijakan ini akan menjadi bumerang di masa depan jika batasan maksimal defisit tak diatur. Apalagi, ongkos dari defisit itu berasal dari utang yang perlu dicicil dalam kurun waktu beberapa tahun.
Pembatasan penting dilakukan mengingat kemampuan pemerintah memenuhi target penerimaan masih rendah dengan rapor shortfall pajak selama satu dekade terakhir.
Pemerintah punya tanggung jawab mengimbangi belanjanya dengan penerimaan yang sesuai dan mengelola utang dengan hati-hati
"Defisit yang terlalu tinggi dan persistent, artinya ongkos defisit jadi semakin besar dan jadi beban ekonomi jangka panjang," kata Faisal saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (1/4/2020).
Ia juga berharap pemulihan perekonomian dapat terealisasi sesuai target pemerintah, yakni dalam kurun waktu tiga tahun. Sebab, penerimaan negara sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi dan denyut dunia usaha. Jika kondisi ekonomi tak pulih dan kembali tumbuh ke kisaran lima persen, artinya insentif dan stimulus yang digelontorkan saat ini tak memberikan efek apa pun bagi dunia usaha.
Sebaliknya, jika penyebaran COVID-19 dapat ditekan drastis dan aktivitas bisnis kembali seperti semula, ia yakin pertumbuhan ekonomi di tahun depan justru akan melampaui 2019--yang besarannya 5,02 persen.
Sementara itu, peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai penetapan jangka waktu 3 tahun sudah cukup tepat. Berkaca dari krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008 lalu, proses pemulihan ekonomi memang berlangsung 2-4 tahun.
Namun Yusuf mengingatkan pemerintah tetap perlu menyiapkan skenario pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Menurutnya, berbagai insentif dan pelonggaran belanja bisa dihentikan saat memang tak diperlukan lagi tanpa harus menghabiskan masa tiga tahun. Sebab, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen di tahun ini saja, ia memprediksi tax expenditure pemerintah akan menyentuh Rp139 triliun.
Pelebaran defisit yang disebabkan besarnya insentif juga mengandung risiko jika dibiarkan berkepanjangan. Pertama, standar belanja dikhawatirkan akan naik mengikuti ruang defisit yang diperlebar sehingga pemerintah akan kelimpungan sendiri membiayainya. Kedua, pondasi ekonomi Indonesia menjadi sangat rapuh karena pemerintah akan ketergantungan terhadap aliran modal asing yang masuk lewat instrumen surat berharga negara.
"Ini sudah dirasakan Februari-Maret 2020, dana investor asing Rp118 triliun keluar dan nilai tukar melemah ke Rp16 ribu," ucap Yusuf kepada reporter Tirto.
Berharap Defisit Tak 5%
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan defisit tahun ini belum tentu akan lebih dari 5 persen. Kemenkeu, ujar dia, juga sudah menghitung skenario defisit APBN antara 4-5 persen di tahun 2020.
Terlebih, anggaran Rp405,1 triliun untuk penangganan COVID-19 tak seluruhnya berasal dari utang, melainkan memanfaatkan anggaran yang sudah ada. Misalnya, realokasi anggaran yang kemarin bernilai Rp62,3 triliun dan Rp190 triliun dari penghematan belanja dari transfer ke daerah dan cadangan anggaran.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut bahkan optimistis defisit akan menurun pada tahun-tahun selanjutnya jika tidak ada krisis ekonomi atau dampak COVID-19 yang berkepanjangan.
Ia menyatakan pemerintah berusaha mati-matian mencegahnya.
"Tiga persen tidak dicap. Tapi kita percaya tidak mungkin lebih dari 5 persen tahun ini dan seterusnya menurun. Jadi 2023 itu bisa kembali ke defisit normal, yaitu 3 persen,” ucap Sri Mulyani dalam telekonferensi bersama wartawan, Rabu (1/4/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana