tirto.id - Beberapa bulan yang lalu, tepatnya di bulan Juli-Agustus, media sosial dihebohkan oleh isu kenaikan harga rokok di Tanah Air. Tidak ada yang tahu dari mana isu itu muncul, namun mengingat rokok merupakan barang yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, isu itu menyebar tak terkendali di media sosial.
Apa yang terjadi sesungguhnya adalah Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia merilis hasil penelitian mengenai batas bawah harga rokok yang mampu membuat para pengisapnya berpikir 10 kali untuk membelinya. Angka Rp50.000 per bungkus kemudian muncul dan diperkirakan mampu mengurangi jumlah perokok hingga sekitar 70 persen.
Hasil penelitian itu dipaparkan di sebuah forum ekonomi kesehatan nasional menggunakan bahasa Inggris, yakni Indonesian Health Economics Association (InaHEA) Congress di Yogyakarta pada tanggal 28 Juli lalu.
Masalah mulai muncul ketika portal-portal berita yang tidak dapat diverifikasi kredibilitasnya menurunkan berita mengenai hal tersebut dengan judul yang provokatif dan mengunggahnya di media sosial, seperti Facebook. Banyak orang kemudian membagikan konten tersebut diimbuhi dengan macam-macam komentar yang cukup canggih, dengan meme-meme, dengan gambar palsu daftar harga rokok di minimarket. Foto-foto itu bahkan kemudian tersebar di berbagai grup aplikasi pesan seperti LINE, Telegram, dan Whatsapp.
Seiring dengan mengalirnya kenyataan bahwa semua orang bicara mengenai harga rokok, media-media yang dikenal dan cukup kredibel merasa rugi kalau tidak ikut dalam percakapan publik yang sedang menjadi trending topic. Berita-berita serupa mulai diproduksi dengan komentar-komentar dari berbagai kalangan. Mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), politisi, hingga pengamat turut memberikan komentar.
Carut marut itu terjadi karena satu hal. Tidak ada yang melakukan verifikasi terhadap fakta yang terkandung dalam berita-berita tersebut. Sebuah langkah kecil yang terlihat sepele, tetapi ternyata fatal.
Kejadian serupa ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, negara seperti Amerika Serikat pun ternyata mengalaminya. Situasi tersebut pun kemudian membuat sejumlah pihak khawatir. Berangkat dari fakta banyaknya berita hoax yang tersebar di internet, sejumlah pihak kemudian membentuk lembaga-lembaga yang secara independen melalukan pemeriksaan atas fakta yang ada di dalam pemberitaan dan cerita yang beredar di internet.
Tren pengecekan fakta tersebut makin marak selama beberapa tahun terakhir. Dipimpin oleh organisasi seperti International Fact-Checking Network, pengecekan fakta secara ketat kini dilakukan oleh lebih dari 100 situs aktif, menurut laporan Lab Duke University Reporter. Mereka secara kolektif menghasilkan ribuan pengecekan fakta dalam setahun, memeriksa klaim mengenai legenda urban, politik, kesehatan, dan media itu sendiri.
Terakhir, raksasa teknologi asal Amerika Serikat, Google Inc. turut bergabung dalam aksi itu. Dalam pernyataan yang ditulis dalam blog resminya pada Kamis minggu lalu (13/10/2016), mereka mengumumkan akan menambahkan tanda atau "tagging" baru dalam layanan Google News milik mereka yakni, fact check.
Google mengatakan, tanda baru tersebut adalah upaya mereka "untuk membantu para pembaca [berita] menemukan pemeriksaan fakta dalam berita-berita besar."
"Anda akan melihat artikel yang ditandai [fact check] tersebut dalam kotak cerita yang lebih besar pada news.google.com dan di [aplikasi] Google News & Weather di iOS dan Android, dimulai dengan AS dan Inggris," demikian tulis pernyataan tersebut.
Sebagai informasi, Google News melakukan agregat berita populer dari berbagai sumber dan secara tradisional mengkelompokkannya dengan tag seperti "opini", "sumber lokal" dan "blog."
Seperti dilaporkan oleh Techcrunch, pencipta konten dapat menambahkan sendir tag pengecekan fakta baru tersebut dengan menggunakan sejumlah perangkat terbatas sumber label yang sebelumnya telah ditentukan. ClaimReview dari Schema.org akan digunakan untuk menyusun dan mengatur cerita yang menawarkan latar belakang faktual.
Komunitas Schema itu sendiri membangun markup data terstruktur di internet. Kelompok ini disponsori oleh Google tetapi juga mendapat dukungan dari Microsoft, Yahoo dan Yandex.
Kapan Facebook Menyusul?
Google telah menyatakan sikapnya, lantas bagaimana dengan Facebook?
Mengapa Facebook? Berdasarkan hitung-hitungan Parsey.ly yang dipublikasi di Statista — sebuah laman penyaji data statistik, Facebook ternyata berkontribusi sangat besar pada angka kunjungan ke situs media massa atau situs-situs informasi lainnya.
Ia bahkan melampaui Google, sang raksasa mesin pencari. Sebesar 41,4 persen pengakses situs-situs media tersebut berasal dari Facebook, sementara Google hanya menyumbangkan 39,5 persen.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Facebook saat ini telah menjadi agen media massa terbesar di dunia.
Saat ini terdapat kurang lebih 1,65 miliar orang di seluruh dunia yang secara rutin mengunjungi akun Facebook mereka, dan setiap mereka masuk ke akunnya masing-masing, berbagai hal muncul di linimasa halaman Facebook mereka. Selain unggahan foto dan cerita dari berbagai teman dalam akun Facebook para pengguna, mereka yang memutuskan untuk memberi jempol ataupun mengikuti sebuah akun situs berita akan mendapat pula update berita-berita yang diunggah oleh situs berita tersebut.
Fakta tersebut, ditambah dengan kombinasi bahwa orang banyak mengakses berita dan cerita, jelas kemudian membuat Facebook sering menjadi pusat dari kesalahan informasi yang terjadi.
Sebagai catatan, segala hal yang muncul dalam linimasa setiap pengguna akun Facebook merupakan hasil dari pengolahan algoritma tanpa campur tangan manusia. Hal itu kemudian menyebabkan setiap berita hoax yang semakin banyak tersebar akan mendapat tempat dalam kolom trending topic Facebook, yang kemudian dapat memicu berita hoax yang sama tersebar lebih luas.
Hal tersebut masih ditambah dengan kenyataan bahwa banyak orang memperlakukan Facebook seperti Google, dan menjadikan segala isinya sebagai kebenaran. Dr. Pamela Rutledge, Director of the Media Psychology Research Center, menyebut bahwa gejala ini terjadi karena orang rentan terhadap paparan informasi. Berita yang banyak bertubi membuat orang malas melakukan verifikasi dan mencari kebenaran.
Di sisi lain, menurut laporan Techcrunch, Facebook mengklaim pada bulan September lalu bahwa mereka akan menjalankan sebuah teknologi yang dapat memerangi berita atau informasi palsu pada kolom trending topic mereka. Namun jelas bahwa hal itu belum terjadi hingga saat ini.
Satu hal yang pasti, Facebook hingga saat ini tidak pernah memiliki pikiran untuk sebuah perusahaan media terlepas dari status tidak resimnya sebagai agen media terbesar di dunia. "Kami adalah sebuah perusahaan teknologi, bukan perusahaan media," tegas Mark Zuckerberg, sang Chief Executive Officer (CEO) Facebook pada Agustus lalu, seperti dikutip dari CNN Money.
Pernyataan tersebut jelas memperlihatkan bahwa prioritas Facebook adalah interaksi sosial antara penggunanya dan mencari pendapatan dari iklan sebanyak-banyaknya, bukan menanggulangi informasi yang disediakan oleh media massa. Boleh dikata, kita masih akan menemukan banyak berita hoax berlalu-lalang dalam laman Facebook kita.
Dengan masih belum bergemingnya Facebook dan besarnya kecintaan orang terhadap berita maupun cerita hoax, jalan panjang menuju menghilangnya berita hoax jelas masih panjang. Namun, keputusan berani Google untuk menambahkan fitur pengecekan fakta adalah langkah besar dalam perjalanan panjang menjelang menghilangnya berita hoax.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti