tirto.id - Berapa sendok gula yang Anda konsumsi tiap harinya? Ada baiknya kita mulai menakar berapa porsinya agar tidak berbahaya bagi kesehatan.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam RS Siloam Jakarta, dr Mulyani Anny Suryani Gultom, dalam sehari, tubuh hanya membutuhkan asupan gula hanya 50 gram atau setara empat sendok makan saja. Jumlah ini setara konsumsi dua gelas teh manis. Jika melebihi standar ini dan Anda merasa terus ingin mengonsumsinya tiap hari, kemungkinan besar Anda sudah dalam tahap kecanduan gula.
Pendapat ahli saraf tentang candu gula sebenarnya sudah cukup populer. Gula memiliki efek yang serupa saat kokain dikonsumsi oleh manusia. Pandangan ini mendapat sejumlah riset penguat, terutama oleh tim ahli saraf dari Queensland University of Technology (QUT) yang mempublikasikan temuannya di Jurnal PLOS, 30 Maret 2016 silam.
Salah satu peneliti yang terlibat yakni Professor Selena Bartlett, ahli saraf di departemen Institute of Health and Biomedical Innovation. Ia mengemukakan bahwa temuan utama dari hasil kerjanya bersama rekan-rekan lain adalah konsumsi jangka panjang gula akan berpengaruh terhadap level hormon dopamin di otak.
Dopamin adalah hormon yang bertanggung jawab untuk rasa nikmat dan levelnya bisa naik saat manusia mengonsumsi gula. Level dopamin juga bisa naik saat manusia mengonsumsi narkotika. Kesamaan ini menuntun para peneliti kepada kesimpulan bahwa saat level dopamin turun, orang yang sudah kecanduan gula akan merasa depresi, gelisah, dan cemas. Persis seperti orang yang kecanduan kokain, morfin, heroin, maupun nikotin.
Orang ini otomatis akan tergila-gila untuk mengkonsumsi gula. Dalam jangka panjang, ia tak akan sadar bahwa porsi gula yang dikonsumsi terus bertambah. Mengapa? Sebab untuk mendapat rasa nikmat yang sama, porsi gula sebagai “tumbal” yang harus dikonsumsi rupanya makin banyak. Ini sudah teruji dalam penelitian Bartlett.
Sebagai ilustrasi, jika dulu seseorang bisa puas dengan 4 sendok gula per hari, di masa depan, untuk kenikmatan yang sama, orang yang kecanduan ternyata memerlukan 8 sendok gula per hari. Begitu seterusnya hingga tak terkendali. Candu gula bersifat akumulatif.
Candu gula, menurut Bartlett, tampak pada anak-anak yang akan merasa tenang saat sudah menggenggam coklat, permen, atau jajanan manis lain. Candu ini terlihat jelas saat si anak rewel level dopamin di otaknya berkurang drastis. Mau tak mau, satu-satunya cara untuk membuat mereka diam adalah dengan memberinya jajanan manis. Jika tak diwaspadai, kebiasaan ini akan menjadi gaya hidup yang buruk bagi kesehatannya di masa depan.
Fakta ini serupa dengan hasil temuan James DiNicolantonio, ahli kardiovaskular di St. Luke's Mid-America Heart Institute, Kansas, Amerika Serikat, yang dipublikasikan pada 2015. Ia mengulas sejumlah penelitian hingga menjadi satu laporan yang komprehensif tentang bahaya candu gula yang lebih berbahaya dibanding garam, terkait penyakit jantung. Gula, katanya, memiliki candu yang setara kokain atau obat narkotika lain, bahkan lebih kuat.
“Ada studi yang membandingkan gula dengan kokain dengan menggunakan tikus sebagai objek penelitian. Pertama tikus-tikus itu diberi kokain hingga kecanduan. Lalu, sekali tikus-tikus itu dikenalkan dengan gula, mereka segera kecanduan dan hampir semuanya beralih menjadi kecanduan gula,” katanya kepada Here & Now.
Rekan Bartlett lain, Masroor Sharrif, memaparkan fakta lain yang tak terlalu mengejutkan, bahwa bukan hanya gula pasir (sukrosa) yang mengandung candu, tapi juga pemanis buatan dalam bentuk sakarin yang terdapat dalam banyak minuman maupun makanan kemasan. Untuk itu, musuh dari kondisi yang tak disadari banyak orang ini tak hanya pada bidang gula kemasan, tetapi juga industri makanan dan minuman manis yang produknya sangat mudah diakses dengan harga murah.
Dalam wawancara bersama The Telegraph, Paul van der Velpen, kepala pelayanan kesehatan Amsterdam, Belanda, membayangkan upaya melawan konsumsi gula yang berlebihan di masyarakat dunia adalah dengan menuntut pemerintah di berbagai negara untuk lebih tegas. Ia bahkan menyarankan setiap produk mengandung gula diberi label peringatan bahaya sebagaimana sekarang ada di bungkus rokok.
“Barangkali pendapat ini terasa dilebih-lebihkan, tapi gula sebenarnya adalah obat paling berbahaya sepanjang zaman dan sayangnya bisa didapat di hampir semua tempat dengan mudah,” kata Van der Velpen.
“Gula mengacaukan mekanisme tubuh. Siapapun yang mengkonsumsinya akan berhasrat untuk menambah asupannya lagi dan lagi, bahkan dalam kondisi perut sudah kenyang, konsumsi gula dan makanan manis masih bisa terus jalan. Beri seseorang telur, dia akan berhenti saat perut sudah terisi penuh. Beri dia biskuit, dia akan terus memakannya meski perut sudah melilit,” tambahnya.
Pendeknya, candu gula bagi Van der Velpen serupa dengan candu rokok. Tentu mereka yang kecanduan akan memiliki berat badan berlebih. Di Belanda, mengutip laporan The Telegraph, angka pengidap obesitas telah mencapai dua kali lipat dibanding dua dekade sebelumnya. Ini berarti lebih dari setengah populasi orang dewasa di Belanda dan satu dari setiap tujuh anak-anaknya menderita kelebihan berat badan.
Data di tingkat global juga tak menggembirakan. Bartlett mengutip data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun lalu yang memperkirakan ada 1,9 miliar manusia di dunia yang menderita kelebihan berat badan dan 600 juta di antaranya menderita obesitas. Pada perayaan Hari Obesitas Dunia 2016, WHO menyerukan agar minuman bergula dikenakan pajak guna menurunkan konsumsi dan mengurangi kegemukan, diabetes tipe 2, dan kerusakan gigi.
"Konsumsi makanan bebas gula, termasuk produk seperti minuman yang mengandung gula, adalah faktor utama dalam peningkatan rakyat global yang menderita kegemukan serta diabetes," kata Douglas Bettcher, Direktur Departemen WHO Urusan Pencegahan Penyakit yang Tidak Menular.
Merujuk data Statista, total konsumsi gula dunia terus naik dalam satu dekade terakhir. Pada 2009-2010, konsumsinya hanya berkisar 154,1 juta metrik ton. Lalu di tahun-tahun setelahnya merangkak naik menjadi 155,8 juta ton metrik ton, 159,6 juta metrik ton, 165,8 metrik ton, dan di tahun 2013-2014 mencapai 167 juta metrik ton. Setelahnya, hingga 2017, angkanya menginjak 173,6 juta ton metrik.
Sementara itu, untuk memenuhi hasrat yang luar biasa besar ini, produksi gula global cenderung dinamis. Dari 2009-2010 hingga era 2012-2013, angkanya menanjak naik dari 153,4 juta metrik ton menjadi 177,6 juta metrik ton. Hingga 2015-2016, angkanya sedikit menurun hingga di angka 165,8 juta metrik ton. Namun, memasuki tahun 2016-2017 produksinya mulai naik kembali yakni mencapai 170,9 juta ton.
Di Indonesia, pada 2012, produksi gula nasional hanya mencapai sekitar 2,56 juta atau meningkat dibanding 2011 yang hanya 2,2 juta ton. Jumlah produksi itu belum mampu menutupi kebutuhan nasional terhadap gula konsumsi (gula kristal putih) yang mencapai sekitar tiga juta ton. Angka tiga juta ton ini menjadi angka rata-rata kebutuhan akan konsumsi gula nasional dalam beberapa tahun terakhir.
Konsumsi yang besar melahirkan konsekuensi yang tak kecil. Data WHO tahun 2000 menempatkan Indonesia pada urutan ke-4 penyandang diabetes terbesar di dunia, yakni sebanyak 8,4 juta. India 31,7 juta, Cina 20,8 juta dan Amerika Serikat 17,7 juta.
Menurut data Statista dan International Diabetes Federation (IDF) 2015, angka penderita diabetes di Indonesia bertambah. Jumlahnya menjadi 10 juta, meski di atasnya kini ada Brasil, Rusia, dan Meksiko, selain ketiga negara tadi. 15 tahun kemudian, angkanya naik. IDF menempatkan Indonesia di posisi ketujuh dengan jumlah penderita diabetes mencapai 10 juta orang pada 2015. Jumlah itu diproyeksikan menjadi 16,2 juta orang pada 2040 dan naik ke peringkat keenam dunia.
Agar angka ini tak berakhir sebagai statistik saja, lebih baik Anda mulai memperhatikan lagi porsi gula yang dikonsumsi tiap hari. Sudah mencapai tahap kecanduan atau belum, hanya Anda yang tahu. Meski demikian, kesimpulan mayoritas ahli kesehatan sedunia serupa: candu itu berbahaya dan bisa berakhir dengan hilangnya nyawa. Ada ancaman laten di balik manisnya gula.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani