tirto.id - Di tengah sibuknya kompetisi Liga 1, pertengahan 2019 lalu, kabar itu muncul. Soekeno, Komisaris Utama PT Putra Sleman Sembada, perusahaan tempat bernaung klub PS Sleman (PSS) mencari pembeli 68 persen saham klub yang dia pegang.
Soekeno menyebut keputusan ini dia pilih lantaran sudah tidak kuat dengan tekanan suporter. Selain itu, masukan dari berbagai orang di sekitarnya menambah tebal tekadnya meninggalkan PSS.
Salah satu yang membujuk Soekeno adalah Viola Kurniawati, sosok yang sempat menjabat sebagai CEO PSS pada Mei-Agustus 2019. Menurut Viola, lini bisnis Soekeno barangkali memang berkali-kali menyelamatkan finansial PSS, tapi minimnya pengetahuan Soekeno soal industri sepakbola bikin berkah tersebut seolah jadi pisau bermata dua.
“Pak Keno itu sebenarnya orang baik, tapi karena background-nya retail dan sangat ketat, jadi kurang cocok dengan manajemen bola,” ujar Viola kepada Tirto, Jumat (27/12/2019). “Maunya dia semua kalau bisa reimburse dan dimundurin, padahal dinamika bola itu tinggi. Bonus kemenangan untuk tim saja bisa tentatif.”
Soekeno membenarkannya. Dia menyebut mulanya tak berhasrat menjual saham, tapi akhirnya tertarik karena masukan dari berbagai pihak, termasuk di antaranya Viola.
“Sekitar tiga-empat calon pembeli sempat datang ngobrol dengan saya,” imbuhnya ketika kami temui, Kamis (2/1/2020).
Namun, dari sekian banyak calon pembeli itu, tak satupun berhasil mengambil alih 68 persen saham PSS.
Kontak Soekeno dengan Konsorsium Ibu Kota
Satu dari calon pembeli yang dimaksud Soekeno adalah konsorsium berisi pengusaha-pengusaha ibu kota.
Kontak antara Soekeno dengan konsorsium ini bermula tatkala Viola Kurniawati datang menawarkan 68 persen saham PSS kepada dua mantan bosnya saat masih bekerja di Persija, Gede Widiade dan Muhammad Rafil. Gede adalah mantan Direktur Utama Persija Jakarta yang kini memegang klub Persiba Balikpapan. Sedangkan Rafil pernah jadi mantan COO Persija era Gede; kini dia mengontrol klub asal Bangka Belitung, Babel United FC.
“Saya merasa satu visi dengan mereka [Gede dan Rafil] soal manajemen klub. Saya pikir, karakter suporter PSS cocok dengan pak Gede dan Rafil,” ujar Viola menjelaskan.
Saat kami konfirmasi secara terpisah, Rafil membenarkan cerita Viola.
“Benar. Kami memang sempat sharing bertiga soal PSS, karena kami dekat waktu masih sama-sama di Persija,” ujarnya.
Hanya saja, Rafil dan Gede dalam posisi belum siap untuk mengampu PSS. Keduanya merasa tanggung jawab masing-masing di klub lain belum tuntas.
Rafil lantas mencarikan jalan keluar lain dengan menawarkan saham Soekeno kepada beberapa temannya. Ketertarikan akhirnya muncul dari konsorsium asal Jakarta, yang salah satunya diisi kawan Rafil, Fady Kemal.
“Alhamdulillah ada yang tertarik. Setelah itu saya sambungkan Fady kepada Viola, dan Viola memperkenalkannya kepada pak Soekeno,” tukas Rafil.
Fady adalah co-founder Hyperreal, Chief Marketing OKANE dan CEO PT Pancaran Cahaya Investama (PCI) Digital. PCI Digital merupakan perusahaan penyedia layanan digital dan kreatif. Salah satu portofolio PCI Digital yakni Persija Official App, aplikasi seluler untuk suporter Persija Jakarta, yang dicetuskan era Gede Widiade dan Rafil. Selain itu PCI juga membantu klub Rafil saat ini, Babel United mengurus aplikasi Babel United FC.
Negosiasi antara Fady dan Soekeno bermula Juli 2019. Tiga kali mereka saling ketemu, tiga kali pula tak ada kesepakatan. Menurut keterangan Fady, Soekeno terkesan tak ingin benar-benar menjual sahamnya, sebab di setiap pertemuan bos PT Garuda Mitra Sejati itu selalu meminta harga berbeda.
“Awalnya minta di Rp12,5 miliar kami setuju, terus beliau minta naik lagi jadi Rp15 miliar. Tidak lama di pertemuan ketiga naik lagi jadi 19 miliar,” terang Fady.
Sampai akhir Agustus, ketika Viola mengundurkan diri dari posisi CEO PSS, negosiasi itu kolaps.
Namun, September 2019 kontak antara Soekeno dan Fady kembali terjalin. Kali ini tanpa Viola sebagai perantara. Soekeno sendirilah yang dengan inisiatif pribadi menghubungi Fady dan menawarkan harga baru, Rp18 milyar.
Setelah berkonsultasi dengan seluruh anggota konsorsium, Fady menyanggupi harga terakhir yang diminta Soekeno. Kedua pihak akhirnya mengagendakan penandatanganan sertifikat penjualan di kantor PT Muncul, Sleman pada 18 Oktober 2019.
Namun, ketika hari penandatanganan transaksi sesuai agenda, Soekeno tiba-tiba tidak tampak. Keduanya berjanji transaksi dilangsungkan siang sekitar pukul 12 siang, tapi sampai menjelang sore Soekeno tak terlihat batang hidungnya.
“Kami sudah jauh-jauh sampai Sleman tapi cuma diserahkan ke sekretarisnya. Rasanya kok kayak tidak dihargai,” papar Fady.
Transaksi itu akhirnya batal. Selain karena kepergian mendadak Soekeno yang bikin Fady merasa tak dihargai, kejanggalan yang bikin konsorsium ini mengurungkan niat adalah wujud sertifikat penjualan yang dibawa sekretaris Soekeno. Sertifikat penjualan dipecah jadi dua, masing-masing dengan nominal Rp15 miliar dan Rp3 miliar. Muncul ketakutan dari pihak konsorsium jika pemecahan sertifikat ini adalah upaya untuk mengakali pajak.
“Ya sudah, setelah itu kami tidak ada kontak lagi.”
Saat kami konfrontir terkait keterangan Fady, Soekeno meradang.
Soekeno menyebut kepergiannya saat hari penandatanganan karena urusan bisnis di luar PSS. Dia mengklaim sudah meminta sekretaris serta beberapa direksi untuk mewakilinya, sehingga menurutnya, tak seharusnya transaksi dibatalkan. Soekeno menambahkan, di lokasi penandatanganan dia sudah repot-repot menyiapkan notaris. Musabab itu, dia menuding balik Fady sebagai pihak yang “aslinya tidak niat membeli.”
“Transaksi enggak harus ada saya, saya juga sudah pasrahkan ke sekretaris saya. Ada wakil saya, ada direktur di situ, semua ada. Orang penting PSS semua. Kenapa harus ada saya. Kenapa harus ada Soekeno,” ujarnya.
Soal sikap menaik-naikkan harga dan sertifikat ganda, Soekeno pun membantahnya.
“Enggak ada jalan ceritanya naik-naikin harga begitu. Negosiasi memang ada, namanya juga jual beli. Tetapi satu rupiah pun saya enggak menaikkan dari kesepakatan,” aku dia.
Jadi Rebutan Orang Politik
Soekeno hingga kini mengaku tidak tahu-menahu tentang siapa saja orang-orang di balik konsorsium yang diwakili Fady. Kendati demikian, besar kemungkinan konsorsium ini punya afiliasi dengan PDIP.
Saat agenda transaksi di Sleman, selain Fady, sosok lain yang juga datang mewakili pihak konsorsium adalah Detri Warmanto. Nama Detri banyak dikenal sebagai aktor, tapi di samping itu dia merupakan menantu dari MenpanRB sekaligus politikus PDIP, Tjahjo Kumolo.
Saat datang ke Sleman, Fady dan Detri juga didampingi oleh sejumlah kader PDIP. Hal ini diamini Soekeno.
“Dari cerita Dina, sekretaris saya, waktu mau ketemu itu Fady ditemani orang-orang dari PDIP. Saya juga tidak hafal siapa-siapa saja,” tutur Soekeno.
Fady, di sisi lain mengakui jika dirinya datang bersama Detri. Namun, dia enggan membocorkan sosok pemodal terbesar di balik konsorsium tersebut. Termasuk soal orang PDIP yang mendampinginya.
“Tapi memang benar kalau dibilang konsorsium kami belum pernah memegang klub bola. Memang isinya banyak orang baru.”
Ketertarikan konsorsium bernuansa PDIP ini sebenarnya bukan kejutan. Sebab pada waktu hampir bersamaan dengan negosiasi itu, sempat masuk pula ketertarikan membeli saham dari sosok yang juga politikus, Mumtaz Rais.
Mumtaz adalah politikus PAN, putra Amien Rais, sekaligus bakal calon gubernur Sleman 2020. Saat PSS melakoni laga kandang musim 2019, beberapa kali dia menampakkan diri menyaksikan langsung pertandingan di stadion. Salah satunya ketika Super Elja menghadapi Bali United di Stadion Maguwoharjo, 6 November 2019.
Soekeno, membenarkan adanya ketertarikan dari Mumtaz, tapi dia menegaskan belum ada negosiasi sama sekali dengan politikus tersebut.
“Saya enggak mau dibeli politikus. Soalnya gini, saya enggak mau PSS nanti jadi ajang politik. 2020 itu Pilkada,” ujarnya.
Ferry Paulus: Sudah Sepakat Lalu Pergi
Ketertarikan-ketertarikan di atas bukan yang terakhir. Pertengahan November 2019 lalu, nama terakhir yang sempat masuk dalam negosiasi saham PSS adalah CEO Persija Ferry Paulus.
Saat kami konfirmasi, Ferry menolak berkomentar. Panggilan telepon Tirto berkali-kali diputus dan pesan singkat kami hanya dibaca.
Kendati demikian, Soekeno membenarkan jika negosiasi dengan Ferry sempat terjadi. Kata sepakat bahkan telah ditemui kedua pihak.
“Pak Ferry itu malah sudah salaman sama saya, deal. Dia sudah sumpah-sumpah di depan saya,” ujar Soekeno.
Untuk menegaskan bahwa negosiasi itu bukan fiktif, Soekeno lantas menunjukkan foto dia bersalaman dengan Ferry di Kantor PT Muncul. Berdasarkan keterangan berkas, foto itu diambil pada Rabu, 13 November 2019.
Soekeno menyebut pembatalan negosiasi itu terjadi secara sepihak dari kubu Ferry.
“Dia janjinya Jumat mau datang bayar DP [uang muka]. Eh, enggak jadi karena dia bilang ke luar kota. Minta minggu depannya. Habis itu ditagih lagi, bilang masih ada rapat. Terus, gitu terus. Lama-lama saya jadi capek menagih.”
Hingga artikel ini rilis, Soekeno menyebut Ferry sama sekali tak menghubunginya lagi. Dia juga tak mendapat penjelasan kenapa pembelian saham itu batal terjadi.
“Ya sudah, saya ikhlas, biarin. Mungkin ya, belum waktunya transaksi itu terjadi.”
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mawa Kresna