Menuju konten utama
Soekeno

Soekeno: Saya Enggak Mau PSS Sleman Dibeli Politikus

Soekeno menolak jika PSS Sleman dibeli politikus dan dijadikan ajang politik.

Soekeno: Saya Enggak Mau PSS Sleman Dibeli Politikus
Ilustrasi Soekeno. tirto.id/Lugas

tirto.id - Soekeno punya satu hal yang membuatnya berbeda dari kebanyakan penguasa klub lain: dia kerap minder ketika dimintai komentar soal sepakbola.

Karena alasan itu pula, pendiri Muncul Group tersebut berkali-kali menolak ketika saya meminta waktu wawancara empat mata soal PSS, klub yang 68 persen sahamnya dia kuasai.

"Terus terang, saya itu enggak ngerti bola. Kalau soal PSS lebih baik kangmas tanyakan kepada manajemen saja," ujar dia suatu siang, 30 Desember 2019 lewat sambungan telepon.

Pemiliki deretan hotel megah dan dua pusat berbelanjaan di kawasan Sleman itu baru luluh tatkala saya menyebut spesifik nama Fady Kemal dan Ferry Paulus, dua calon investor yang sempat getol mendekatinya untuk mengakuisisi 68 persen saham PSS, tapi batal.

“Dari mana sampeyan tahu?” tanyanya balik penasaran.

Kamis (2/1/2020) Soekeno lantas mengundang saya datang ke kantornya di Rich Hotel, Sleman. Dalam obrolan kami selama kurang lebih 60 menit, pengusaha kelahiran Malang tersebut menyinggung banyak hal; mulai dari pandangannya terhadap pencapaian PSS di Liga 1 2019, keuangan klub, situasi internal direksi PSS, sampai rencananya melepas saham klub.

Berikut wawancara saya dengan Soekeno.

Sebelumnya saya ucapkan selamat, PSS telah menyelesaikan Liga 1 2019 sampai akhir dan bertahan dari ancaman degradasi. Bagaimana perasaan Anda?

Senang tentu. Target saya, seperti saya ngomong di awal musim, pertama agar tidak terdegradasi, lalu kedua bisa bersaing dengan klub Liga 1 yang sudah mapan. Alhamdulillah, semua tercapai. Dan buat saya PSS ini sekarang sudah jadi klub yang lebih baik.

Lebih baik dalam artian bagaimana?

PSS ini awalnya dari klub papan bawah Liga 2. Kemudian juara, lalu masuk Liga 1 dan sekarang di delapan besar. Klub ini punya tujuan yang jelas.

Ya Insya Allah, kalau bisa [tahun depan] kejar tiga besar. Arahnya ke situ.

Dari sudut pandang Anda sebagai seorang komisaris, apa langkah yang paling memengaruhi konsistensi PSS?

Anda harus tahu dulu, bahwa yang bikin PSS bisa bertahan itu bukan Soekeno. Bukan siapa-siapa. Tidak ada satu pun orang yang bisa menjamin PSS bisa sampai seperti ini.

Yang bisa bikin PSS seperti sekarang, jawabannya cuma satu: sing kuoso. Gusti Allah.

Tapi sebagai seorang pemegang saham mayoritas, Anda tentu punya pengaruh besar bukan. Masa enggak ada peran Anda pribadi?

Sebenarnya urusan teknis itu sudah lebih banyak saya serahkan kepada teman-teman di manajemen, mas Fatih [Fatih Chabanto, CEO PSS] dan kawan-kawan. Masukan saya lebih ke soal bisnis.

Peran, ada tentu. Sewaktu habis juara Liga 2 di Pakansari musim lalu misal, saya langsung refleks bilang agar Seto [Seto Nurdiantoro, pelatih PSS sejak di Liga 2] harus tetap melatih lagi di Liga 1. Padahal, saat itu khalayak banyak meminta dan memberi masukan agar PSS ganti ke pelatih asing. Saya tegas merespons: mboten, pelatihnya harus tetap Seto.

Jadi, yang paling punya dampak terhadap PSS adalah Seto. Dan Anda yang pertama mendorong perpanjangan kontraknya?

Buat saya momen paling mahal selama di PSS adalah pemilihan Seto sebagai pelatih. Saya percaya dengan kemampuan coach Seto.

Saya buka saja, dulu awalnya saya bahkan sempat menawari dia agar jadi coach-manager. Pelatih sekaligus manajer, seperti di klub-klub profesional Eropa. Itu cita-cita saya pertama kali.

Hanya saja, saat itu beliau [Seto] kasih jawaban dia belum berani. “Kulo melatih mawon pak,” begitu beliau bilang ke saya.

Anda bilang percaya dengan Seto, tapi bukankah belakangan Seto terlihat sering mengeluhkan keputusan direksi, termasuk Anda, terkait kontrak pemain asing?

Soal Alfonso [perpanjangan kontrak Alfonso de La Cruz, pemain PSS] ya, yang Anda maksud?

Iya. Alfonso tidak masuk dalam rekomendasi Seto, tapi Anda kekeuh mempertahankannya sebagai salah satu pemain asing musim depan.

Begini, untuk menyikapi itu ada baiknya kita sama-sama mundur ke belakang.

Dulu, sebelum Liga 1 mulai, dari empat pemain asing yang masuk, memangnya berapa orang yang ada di rekomendasi. Yevhen [Yevhen Bokhashvili, pemain PSS] misal, direkomendasikan tim pelatih atau tidak?

Tidak.

Sampai saat itu saya panggil coach Seto, kami diskusi. Saya putuskan, bilang ke beliau Yevhen harus tetap dipakai.

Waktu itu semua ragu. Banyak yang bilang pemain ini, nuwun sewu, cacat karena sudah ditolak banyak klub, tapi hasil akhirnya gimana?

Semua tahu, kan, akhirnya kualitas Yevhen bagaimana. Sebesar apa peran dia di atas lapangan buat tim.

Sama dengan kasus Alfonso. Sejujurnya sampai saat ini saya masih punya keyakinan Alfonso itu pemain bagus. Pada waktunya, saya yakin dia akan jadi pahlawan buat PSS. Saya bukannya sok tahu, tapi saya yakin waktu pasti bisa membuktikan itu.

Saya ini sudah biasa ditertawakan orang di awal. Dulu waktu pertama saya datang ke PSS, belum jadi pemilik saham mayoritas dan zaman pakai APBD, saya pernah ditanya: Soekeno pengen PSS gimana?

Saya jawab saya pengen PSS juara [divisi utama]. Diketawain loh saya sama orang-orang seisi kantor. Tapi akhirnya sekarang lihat sendiri kan, PSS bisa juara dan promosi ke Liga 1. Tapi ya tadi, kuncinya, lagi-lagi saya ulangi: sing kuoso. Gusti Allah.

Kembali ke pertanyaan Anda. Saya rasanya harus tanya balik [soal Alfonso], kenapa dipermasalahkan?

Kenapa hanya Alfonso. Kenapa soal keputusan perekrutan Yevhen yang sukses tidak disinggung. Tidak ada loh yang menggembar-gemborkan bahwa saya ngotot agar Yevhen tetap di PSS. Enggak ada satu pun media yang nulis dan menyinggung peran saya. Peran tangan dingin Soekeno.

Sak estu, saya bukannya minta dipuji. Cuma berharap, yang adil saja.

Anda merasa publik tidak adil?

Saya tidak mau bilang begitu. Semua berhak punya pandangan. Yang jelas, saya rasa Anda sendiri tahu, banyak orang berpendapat Soekeno itu isinya salah terus. Cuma salah dan salah. Protes di mana-mana, Soekeno out, Suck-eno, dan lain-lain.

Mboten pareng loh, seperti itu.

Saya rasa itu bentuk kekecewaan suporter. Anda tentu paham betapa PSS sudah jadi magnet dan dicintai masyarakat Sleman.

Iya. Saya bukan bermaksud tidak mau dikritik. Cuma ya alangkah baiknya dengan etika.

Seperti mereka, saya itu sebenarnya cinta betul sama PSS. Siapa saja yang mau ganggu PSS, enggak boleh.

Saya sudah berusaha ngopeni PSS dengan hati. PSS ini saya timang-timang seperti bayi kecil yang baru lahir. Sampai sekarang sudah besar, masih saya rawat.

Orang luar mau datang naboki PSS, enggak boleh. Pokoknya selama masih di PSS saya punya komitmen enggak boleh ada orang ganggu PSS. Enggak boleh orang ada niatan buruk ke klub ini.

Kalau ada orang berani punya niat buruk ke PSS, saya akan maju. Tak tandangi. Dan PSS ini, dengan teman-teman klub lain hubungannya dekat. PSS ini disegani.

Pertengahan 2019 mulai berembus isu Anda berniat melepas saham mayoritas PSS. Apakah ada hubungannya dengan protes suporter?

Ada, tapi bukan cuma itu. Ada beberapa alasan lain.

Saya tambahkan mungkin, karena saya mulai merasa bukan orang yang ahli soal bola. Biar orang yang ahli di bidangnya saja yang meneruskan.

Saya mau jadi orang biasa saja, capek. Pengen ngidak bumi, kembali mengurusi bisnis-bisnis saya. Enggak lagi deh punya keinginan muluk-muluk.

Amanah di PSS itu sudah saya jalankan. Dari klub papan bawah Liga 2 sampai juara Liga 2, sampai masuk Liga 1 dan posisi di delapan besar. Untuk target selanjutnya saya serahkan ke CEO yang baru. Tugas saya sudah selesai.

Sudah waktunya lengser jugalah, sudah umur. Usia saya sudah 60, saya ingin menikmati masa pensiun.

Anda mau mundur dari PSS, tapi beberapa bulan lalu membeli 75 persen saham Persiba Bantul. Yakin bukan mundur dari PSS karena mau menyeberang ke klub tetangga?

Soal Persiba itu lain cerita. Demi Allah saya enggak pengen punya saham di Bantul.

Dilogika saja, kalau saya punya niat pindah ke Persiba, pasti klub itu wis tak ragati. Saya ongkosi mau berapapun, seperti di PSS. Tetapi nyatanya tidak, kan. Saya menarik diri.

Saya kira akta di Persiba pasti juga sudah Anda lihat, di situ tercantum saya sama sekali tidak jadi komisaris ataupun direktur.

Nama saya ada di Persiba itu murni karena nomboki. Mereka mau berangkat kompetisi dan tidak punya uang, datang ke saya minta tolong.

Saya tidak tega, bagaimana pun Persiba itu masih milik orang Jogja, dan harapan saya buat sepakbola Jogja itu tinggi. Makanya saya bantu.

Bagaimana ceritanya Anda bisa dimintai bantuan buat mengongkosi Persiba?

Jadi waktu itu mereka kekurangan biaya buat berangkat ke kompetisi. Datanglah beberapa masyarakat ke saya. Mereka minta tolong, “Pak Keno bisa enggak bantu membiayai buat kompetisi?” Karena kalau tidak punya biaya dan tidak berangkat kompetisi, kan, otomatis mereka degradasi.

Kok bisa dari menalangi ke punya saham?

Nah itu, waktu itu buat jaminan mereka bilang saya sementara dapat saham. Itu sak estu saya enggak minta.

Saya bahkan justru tanya, sudah minta persetujuan pak Idham [Idham Samawi, pemilik saham mayoritas Persiba sebelumnya] atau belum? Mereka bilang sudah, maka jadilah akhirnya saya punya saham.

Itu sampai detik ini saya lepas pun siap kok. Silakan ini saham [Persiba] dibeli saja kalau ada yang punya uang, karena jujur saya tidak ada maksud masuk. Kembali lagi, saya itu mulai kepikiran bahwa nasib saya tidak digariskan di bola.

Ada kabar saham Anda di Persiba dalam proses dibeli Bambang Pramukantoro?

Sudah ramai juga beritanya. Kalian pasti lebih tahulah.

Sudah dibayar?

Jangankan dibayar. Satu rupiah DP [uang muka] pun belum dia [Bambang] kasih ke saya.

Kembali ke Soal PSS. Saham Anda yang 68 persen apakah sudah ada pembeli?

Saat ini posisinya masih sama. Belum ada yang bisa beli.

Ada kabar beberapa negosiasi terjadi selama 2019?

Iya. Sekitar tiga-empat orang lah sempat datang ngobrol dengan saya. Entah kenapa kok batal semua akhirnya.

Ferry Paulus salah satunya bukan?

Iya, hebat loh kamu bisa tahu.

Pak Ferry itu malah sudah salaman sama saya, deal. Dia sudah sumpah-sumpah di depan saya. Ada fotonya kami lagi salaman.

Ini kalau enggak percaya. [Selama beberapa detik Soekeno lantas mengaktifkan gawainya dan menunjukkan foto dia bersalaman dengan Ferry Paulus. Foto itu didokumentasikan pada 13 November 2019 di Sleman.]

Aneh juga sih sampai sekarang kok beliau membatalkan sepihak. Tapi ya sudah, saya ikhlas, biarin. Mungkin ya belum waktunya transaksi itu terjadi.

Kalau sudah salaman dan deal seharusnya saham itu pindah tangan. Kok bisa gagal?

Entahlah, saya bingung. Saya sendiri juga masih bertanya-tanya.

Ceritanya, setelah ketemu salaman Rabu [13 November 2019] itu, pertama dia janjinya Jumat mau datang bayar DP. Eh, enggak jadi karena dia bilang ke luar kota. Minta minggu depannya.

Habis itu ditagih lagi, bilang masih ada rapat. Terus, gitu terus. Lama-lama saya jadi capek menagih. Enggak ada dia kabarin ke saya sampai sekarang. Blas. Ya sudah, mungkin berubah pikiran.

Bukan karena Ferry keberatan dengan harga yang Anda patok?

Loh, kalau keberatan harga enggak mungkin dong salaman dan sumpah-sumpah ke saya gitu. Wong sudah deal.

Saya sendiri juga masih bertanya-tanya, kenapa kok enggak bisa selesai negosiasi itu. Padahal harga juga enggak tinggi. Kalau dia alasannya harga itu aneh, wong sudah salaman.

Memangnya Anda tawarkan berapa saat itu?

Saya enggak bisa sebut angka aslinya. Antara takut keliru dan lupa.

20 milyar?

Enggak sampai segitu.

Kembali ke soal calon pembeli, selain Ferry siapa yang juga sempat nego dengan Anda?

Enggak bisa saya buka satu-satu ya, enggak etis.

Ada konsorsium asal Jakarta ya?

Loh, kok kamu bisa tahu?

Saya sudah konfirmasi langsung ke Fady Kemal, salah satu anggota konsorsium tersebut. Dia yang negosiasi langsung dengan Anda, bukan?

Oh, iya. Saya pertama kenal dia dari mbak Viola [eks CEO PSS].

Tahu belum kalau konsorsium tersebut dekat dengan Muhammad Rafil dan Gede Widiade?

Tahu.

Fady cerita ke saya batal karena mereka kecewa. Dia bilang Anda enggak ada di Sleman saat hari penandatanganan kesepakatan, padahal awalnya sudah janjian.

Begini ya, kalau memang [Fady] saya tinggal sebentar, ya karena saya ada acara penting di Jakarta. Mohon maaf karena ini urusan bisnis di luar PSS, saya tidak bisa cerita on the record apa urusan tersebut.

Saya pun sudah berpesan ke mas Fatih [CEO PSS] dan sekretaris saya, tolong tamunya [Fady] ditungguin sebentar, saya bilang sore jam lima pasti sudah kembali ke Sleman. Dan memang benar, sore itu saya sudah sampai Sleman lagi.

Waktu saya sampai orangnya sudah enggak ada. Sekretaris saya laporan, setelah ditemani makan siang orang-orang itu izin mau ke lapangan. Tapi sampai sore enggak balik ke kantor, ternyata kabur sorenya sudah di Jakarta.

Saya sendiri, ke Jakarta bukan bermaksud membatalkan negosiasi itu, wong nyatanya notarisnya sudah saya siapkan di lokasi [Sleman]. Semua sudah siap.

Dan gini ya, transaksi jual beli itu sebenarnya enggak ada saya, kan, enggak apa-apa. Aneh juga kalau batal mereka alasan karena saya enggak ada di lokasi. Transaksi enggak harus ada saya, saya juga sudah pasrahkan ke sekretaris saya. Ada wakil saya, ada direktur di situ, semua ada. Orang penting PSS semua. Kenapa harus ada saya. Kenapa harus ada Soekeno.

Selain soal ditinggal ke Jakarta, konsorsium tersebut juga kecewa karena Anda katanya sempat berkali-kali menaikkan harga saham yang mau dijual.

Enggak. Enggak ada jalan ceritanya naik-naikin harga begitu. Negosiasi memang ada, namanya juga jual beli. Tetapi satu rupiah pun saya enggak menaikkan dari kesepakatan.

18 milyar?

Kurang lebihnya. Saya tidak bisa sebut harga, sekali lagi mohon maaf.

Tahu enggak siapa orang di balik konsorsium itu?

Saya sendiri enggak tahu konsorsium itu atasannya siapa. Tapi yang jelas dari cerita Dina, sekretaris saya, waktu mau ketemu itu Fady ditemani orang-orang dari PDIP. Saya juga tidak hafal siapa-siapa saja. Tapi ada beberapa.

Benar di situ ada orang bernama Detri Warmanto juga?

Iya, benar. Dia bersama Fady.

Detri itu, kan, menantunya Menpan-RB Tjahjo Kumolo. Anda kenal dengan Tjahjo, saya tahu persis.

Wah sak estu, saya malah baru tahu kalau dia menantunya pak Tjahjo. Tapi Demi Allah, saya juga enggak tahu siapa yang ada di belakang konsorsium itu.

Infonya ada politikus juga sempat tertarik dengan PSS?

Iya.

Salah satunya Mumtaz Rais, politikus PAN anaknya Amien Rais. Bakal calon bupati Sleman 2020.

Tidak sampai nego. Enggak ada negosiasi saya dengan dia.

Begini ya, saya harus tekankan ulang bahwa saya juga pilih-pilih. Saya kepengennya yang beli PSS ini ya harus orang yang lebih baik dari seorang Soekeno. Suporter pasti maunya juga gitu.

Saya enggak mau dibeli politikus. Soalnya gini, saya enggak mau PSS nanti jadi ajang politik. 2020 itu Pilkada. Saya harap PSS ini suasananya agar tetap kondusif. Saat ini di bawah mas Fatih, sudah demikian, dan saya harap PSS lebih baik.

Anda merasa apa yang kurang, kok bisa enggak laku-laku saham Anda. Padahal Anda sendiri sudah terbuka bilang ke publik mau menjual?

Nah itu saya juga heran. Padahal untuk pasaran klub Liga 1 segitu [20 milyar] sebenarnya murah banget, kan. Kalau Anda tahu, pasarannya saham seperti yang saya punya di klub Liga 1 lain itu rata-rata 40-50. Itu pun kalau sudah dipressure lho, dipressure sampai mepet banget harus dijual.

Kalau normal, pasti lebih dari segitu.

Sedangkan kita sama-sama tahu PSS ini sebenarnya klub yang matang. Pondasinya sudah kuat. Sudah punya akademi, U-16, juga klub putri.

Menurut Anda, ada enggak kaitannya dengan lisensi AFC yang belum dapat?

Kalau soal lisensi AFC, nuwun sewu.

Misal yang dipermasalahkan [untuk lisensi] lapangan, itu situasinya tidak mungkin diperbaiki. Karena lapangan [Stadion Maguwoharjo] bukan milik PSS. Stadion statusnya itu sewa, temporer.

Kami tidak bisa memaksa memperbaikinya, karena bukan milik kami. Ya itulah, keterbatasanya. Mungkin memang benar, garisan hidup saya bukan di bola.

Lisensi AFC yang mempengaruhi bukan cuma stadion. Bisa jadi karena pendanaan dan laporan keuagan PSS belum memenuhi standar.

Sebenarnya pembukuan kami itu sudah bagus loh. Sing ngomong elek sinten to?

Tapi faktanya sempat ada kisruh internal tahun ini. Saya dengar di zaman CEO-nya Viola, dia sampai-sampai sempat buka rekening baru.

Kalau soal itu tanya ke mbak Viola saja. Atau kalau menurut Anda, kira-kira kenapa kok bisa Viola membuka rekening itu?

Viola sempat cerita dia membuka rekening sendiri agar PSS lebih mandiri. Bukankah sudah jadi rahasia umum jika selama ini rekening PSS terlalu terpusat ke Muncul Group?

Perusahaan itu harus punya manajemen bagus. Satu klub bisa maju ketika keuangannya bagus. Nah, masalahnya, kalau di PSS bagaimanapun sumber keuangan terbesarnya dari Muncul.

Pendapatan satu pertandingan katakanlah, per pertandingan cuma 400 juta, padahal ongkos untuk menyelenggarakannya saja kadang bisa sampai 300 juta. Itu padahal semusim harus menggaji pemain, manajemen.

Memang kadang dari suporter kalau sedang ramai bisa dapat 800 juta. Tapi jangan lupa, kami juga harus bayar denda ke PSSI.

Yang nalangi kalau kas habis dan gaji pemain kurang, itu ya uang Muncul.

Kenapa Muncul mau nalangi, padahal di luar struktur PSS? Ya karena saya masih punya rasa tanggung jawab. Saya merasa bersalah kalau PSS kekurangan.

Saya ya pengennya PSS ini semakin maju. Cita-cita saya PSS jadi klub yang bisa berkibar di kancah nasional.

Tapi kepemilikan saham PSS atas nama pribadi Anda, bukan PT Muncul. Jika arahnya terlalu terpusat ke Muncul, bukankah wajar jika Viola akhirnya menempuh langkah buka rekening baru supaya PSS lebih mandiri?

Ya memang bukan Muncul namanya, tapi, kan faktanya yang membiayai Muncul. Itu duit perusahaan [Muncul]. Dari mulai saya naik ya kontrolnya memang begitu.

Kecuali kalau PSS sudah membuktikan bisa mandiri. Kalau bisa mandiri ya silakan, tapi kenyataannya kita sama-sama tahu sendiri.

Saya itu mendewasakan orang. Yang saya taruh di PSS memang sebagian orang Muncul, sudah pengalaman kerja di Muncul lima enam tahun. Di bagian keuangannya loh ya, bukan di teknis sepakbola.

Tujuannya apa? Biar bisa saling belajar.

Dan yang juga tidak boleh dilupakan, karena uang PSS banyak dari Muncul, ya wajar ada orang Muncul di dalamnya. Kenapa? Karena untuk mengawasi dan menjamin agar uang ini dipakai pada tempatnya, tidak sembarangan.

Berarti benar ya kabar bahwa tahun lalu banyak duit PSS dipakai untuk transaksi yang pelaporannya sembarangan?

Saya enggak mau bilang itu sembarangan juga. Tahun lalu yang ngurus kan Pak Djaka Waluja, beliau orang lama di bola dan mungkin ada pertimbangan tertentu.

Pemakaian uang ini, ada hubungannya dengan dugaan PSS terlibat dugaan suap dan mafia bola di Liga 2?

Saya tidak mau ya kalau bahas ke arah situ, tidak ada buktinya juga. Nanti jadinya asumsi.

Kecuali Anda tutup semua ruangan ini, hotel ini, kita cuma berdua, dan Anda tidak dalam konteks sebagai wartawan, mungkin saya mau berkomentar soal itu.

Intinya begini, saya optimistis saja.

Optimistis gimana ceritanya? Tahun lalu [2018] saja neraca keuangan PSS defisit.

Iya benar, tahun lalu kami defisit sekitar 5-6 milyar. Saya tidak bisa sebut angka pastinya karena manajemen yang lebih tahu soal itu. Tapi, nyatanya kami tetap bisa melalui musim kompetisi sampai selesai.

Dengar-dengar dua musim terakhir di luar modal saham, Anda banyak nalangi duit buat kebutuhan PSS?

Loh kan kalian [Tirto] tahu sendiri PSS juga masih utang ke Muncul Group.

Dan sebagian utang itu Anda konversi jadi saham. Dan akibatnya dominasi saham Anda di PSS sekarang meningkat pesat jadi 68 persen, bukan?

Loh, kalau enggak dikonversi saham, lebih besar lagi utangnya itu.

Anda menalangi untuk banyak kebutuhan, salah satunya hotel. Tapi musim lalu hotel yang dipakai buat mes PSS hotel Anda sendiri. Banyak yang beranggapan ini upaya Anda menguntungkan bisnis sendiri.

Nah ini, saya naruh pemain di hotel disalahkan. Seolah-olah merongorong PSS.

Padahal buka-bukaan saja, PSS itu bayar di luar batas kewajaran. Karena ini hotel milik saya sendiri, saya enggak cari keuntungan.

Jadi Anda mau bilang bahwa tidak ada keuntungan yang masuk ke bisnis Anda karena pemakaian hotel sebagai mes ini?

Saya bebaskan, kasih potongan. Istilah kasarannya misal orang umum nginap bayar 100 rupiah, PSS cuma bayar 25 rupiah saja. Bayaren piro sak karepmu. Itu fasilitasnya masih sama loh padahal, fasilitas hotel. Bukan fasilitas mes seperti klub pada umumnya. Edan, kan, itu? Enggak ada orang lain yang berani begitu.

Tujuan saya sederhana. Pemain itu, kan, manusia. Kalau dia dipangku, dimuliakan, dikasih fasilitas bagus, main di lapangan pasti juga akan bagus. Itu kuncinya.

Tetapi saya itu terbuka saja kok. Jika itu dipermasalahkan suporter atau khalayak siapapun, kami berbenah. Musim depan sudah tidak pakai hotel. Kami cari mes, dan sudah dapat.

Kembali lagi soal konversi saham. Jika konversi tersebut banyak dipandang sebagai upaya mempertebal dominasi dan meminggirkan pemilik saham lain, apa pembelaan Anda?

Nuwun sewu nggih, konversi saham itu adil. Kecuali kalau yang dikonversi cuma piutangnya Soekeno.

Perlu diketahui, semua dikonversi. Semua ditambah sahamnya.

Tapi yang paling banyak dikonversi piutang Anda?

Karena saya yang paling banyak nomoboki.

Dan perlu diketahui, konversi saham ini sudah atas kesepakatan semua direksi. Artinya bukan cuma kepenginan saya.

Dengar-dengar beberapa orang rezim lama mulai jarang ikut RUPS

Orang rezim lama itu siapa?

Yang sudah ada di PSS dan punya saham besar sebelum saham Anda semakin dominan. Retno misal.

Kalau soal itu Anda bisa tanyakan ke yang bersangkutan sendiri.

Saya sudah tanyakan, beliau enggan memberi keterangan. Kata dia, semuanya “silakan ditanyakan ke PT.”

Yang jelas, kalau saya hubungan sama beliau, saya menghormati beliau. Semua pemegang saham itu sama, saya muliakan.

Anda merasa tidak, Retno menjauh sejak saham Anda terus bertambah?

Bagaimana ya. Beliau cuma pernah cerita ke saya, bahwa tidak kuat di PSS. Dan memilih konsentrasi di pekerjaan mengajar sebagai guru. Sekarang yang lebih banyak terlibat anaknya, Radit.

Ya saya positif thinking saja, beliau dulu cerita sudah didesak kepala sekolahnya karena jarang masuk mengajar.

Prinsipnya gini, bola ini kan pressurenya besar sekali. Itu saya rasa memengaruhi beliau.

RUPS terakhir 23 September 2019, banyak yang tidak hadir ya, termasuk Retno?

Iya, tapi itu bukan halangan karena RUPS kan enggak harus semua datang juga. Kami juga sudah sampaikan undangan ke Bu Retno.

Sudah ditunggu juga sampai jam 7-8, umpama memang enggak datang ya sudah. Dia bilang karena sakit.

Jadi menurut Anda benar tidak kalau banyak direksi dari rezim lama tidak datang RUPS karena sudah malas akibat posisinya enggak sedominan dulu?

Lah sekarang gini, nyatanya pak Djaka [Djaka Waluja], pak Rumadi [Antonius Rumadi], semua itu sahamnya kecil-kecil tapi tetap datang. Mas Teguh [Teguh Wahono], mas Hempri [Hempri Suyatna], itu sahamnya kecil-kecil, cuma seujung kuku, nyatanya mereka datang. Pak Handoyo, pak Pustopo, itu, kan, datang semua.

Dari nama yang Anda sebut itu, beberapa ada orang baru. Tidakkah wajar mereka datang karena orang-orang baru itu Anda tarik masuk ke dalam untuk mengurangi pengaruh rezim lama?

Enggak ada, enggak ada hubungannya itu. Soal rezim lama, kalau mereka mau tampil lagi ya monggo. Saya selalu buka kesempatan.

Terus, apa penjelasan Anda kenapa banyak orang baru masuk?

Kan, waktu itu PSS kekurangan dana. Banyak teman-teman Sleman yang akhirnya gabung. Seperti mas Hempri, mas Teguh.

Gimana mereka kok bisa masuk punya saham?

Ya… sebagian dari mereka beli.

Dan itu bagus loh. Karena dari yang banyak orang itu, kalau Anda perhatikan, 80-90 persennya masih orang Sleman.

Tapi kemarin saya ngobrol dengan Hempri, dia cerita masuk ke PSS diajak oleh Anda.

Iya benar, awalnya ajakan, tapi mereka beli. Karena saya kepengin, diimbangi. Agar banyak orang Sleman, karena CEO-nya kan terpaksa bukan orang Sleman. Sekarang mas Fatih, dulu mbak Viola.

Kenapa CEO-nya bukan orang Sleman?

Saya balik saja deh pertanyaannya, sudah ada yang mampu belum?

Saya sudah tawarkan ke beberapa orang Sleman, enggak ada yang berani. Semua orang gilo lihat sepakbola. Karena yang namanya ngurus sepakbola itu pasti tombok.

Kalau sudah ada yang mampu, pasti saya serahkan. Sekarang ini ada banyak orang Sleman, meski bukan CEO. Harapannya tetap agar orang-orang ini belajar.

Mas Fatih yang sekarang latar belakangnya memang sepakbola dan dia profesional. Dari situ saya ingin ada transfer ilmu, membantu mas Teguh, membantu mas Hempri, mas Yoni, mas Eksan. Membantu orang-orang Sleman belajar. Itu saja. Pasti ada ilmu yang bisa didapat dan kelak berguna buat PSS.

Misal, pahit-pahitnya sampai musim depan kompetisi jalan, saham Anda masih enggak ada yang beli. Apa yang akan Anda lakukan?

Tentu saya akan tanggung jawab. Ya memangnya mau gimana lagi.

Status saya masih di PSS. Kalau saya enggak mau nduiti, siapa lagi yang mau meneruskan. Saya akan tetap tanggung jawab karena saya enggak mau sampai PSS degradasi.

Baca juga artikel terkait PSS SLEMAN atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mawa Kresna