tirto.id - Menjelang debat capres-cawapres putaran kedua dengan tema “Ekonomi (ekonomi kerakyatan dan ekonomi digital), Keuangan, Investasi Pajak, Perdagangan, Pengelolaan APBN-APBD, Infrastruktur, dan Perkotaan”, para kandidat mulai menebar janji.
Surya Tjandra, juru bicara pasangan nomor 1 atau Timnas AMIN, meengatakan paslon ini melalui cawapres Muhaimin Iskandar menjanjikan pemberian modal usaha bagi anak muda dengan nominal Rp10 juta tanpa agunan dan bunga.
Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (UI), Yusuf Wibisono, mengapresiasi janji calon wakil presiden (cawapres) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin untuk memberi modal Rp10 juta bagi anak muda tanpa bunga dan agunan. Namun, menurutnya, hal itu tidak mudah.
Yusuf menilai, pemberian modal tanpa bunga dan agunan membutuhkan biaya program yang terlampau mahal, apalagi nantinya akan membutuhkan subsidi bunga yang masif. Perbankan, kata dia, berpotensi tidak melirik program pemodalan tersebut.
“Konsep kredit tanpa agunan dengan sistem tanggung renteng oleh kelompok ala Grameen Bank, tidak akan diminati oleh perbankan, meski pemerintah memberi subsidi bunga. Karena bank adalah lembaga komersial berorientasi profit dengan model bisnis yang sangat konservatif dan menghindari resiko,” kata Yusuf kepada Tirto, Rabu (20/12/2023).
Yusuf menambahkan, bank sangat berkepentingan mengamankan kredit yang mereka salurkan agar terbayar kembali bersama bunganya.
Akses usaha kecil ke kredit perbankan, menurut Yusut, sulit dilakukan dan jika mampu mengakses pun dikenakan bunga yang sangat tinggi. Hal itu adalah masalah struktural yang bersifat sistemik, muncul sebagai konsekuensi dari model bisnis perbankan yang sangat konvensional.
Menurutnya, hanya peminjam dengan agunan yang bernilai tinggi dan mudah dilikuidasi yang akan mendapat kredit dengan bunga kompetitif. Maka itu, banyak penyalur untuk segmen pembelian rumah dan kendaraan bermotor (KPR dan KKB) relatif memiliki suku bunga paling murah.
“Sedangkan kredit untuk segmen UMKM yang cenderung tidak memiliki aset, dan usaha mereka bersifat informal serta subsisten, membuat penyaluran kredit berisiko tinggi karena dipandang tidak memiliki agunan yang memadai,” ucapnya.
Peluang untuk Diwujudkan
Yusuf menyarankan, jika para calon pemangku kepentingan serius ingin menegakkan keadilan akses kredit bagi pelaku usaha kecil dan usahawan pemula, maka sebaiknya program dilakukan lewat kelembagaan ekonomi rakyat yang lebih bersifat sosial alih-alih lembaga komersial murni seperti perbankan konvensional.
“Kita memiliki banyak alternatif pilihan, seperti koperasi keuangan, Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dan lembaga amil zakat,” ujarnya.
Penyaluran yang dilakukan pun harus dibatasi hanya untuk koperasi keuangan dari, oleh, dan untuk anggota saja (close-loop), tidak berlaku untuk koperasi open-loop.
Karakteristik koperasi close-loop yang berbasis keanggotaan tetap dan skala kecil akan efektif memitigasi resiko kredit.
Menurut Yusuf, kanal lain yang menjanjikan adalah lembaga filantropi. Misalnya, banyak lembaga zakat yang memiliki program pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama usaha ultramikro, dengan konsep stages financing, yaitu pembiayaan kepada usaha rakyat sesuai kapasitas mereka. Syarat penerima hanya satu, yaitu memiliki kapasitas produktif.
“Penerima yang sangat miskin bahkan ditahap awal menerima subsidi dalam bentuk bantuan biaya hidup dari dana zakat dan sedekah. Ketika usaha mereka mulai tumbuh, mereka tidak lagi diberi zakat, namun qardhul hasan, yaitu kredit dengan bunga nol persen,” terangnya.
Tantangan Pemodalan
Bagi Yusuf, masalah terbesar ke depan adalah ketersediaan dana sosial yang memadai, yang diiringi pendampingan usaha yang masif. Tanpa keduanya, kredit untuk usaha mikro akan selalu mahal dan sering kali berakhir dengan kegagalan usaha debitur.
Dia menambahkan, yang dibutuhkan usaha mikro untuk lepas dari jebakan kemiskinan adalah akses kredit yang mudah dan murah, bahkan kredit sosial atau kredit dengan suku bunga nol, serta pendampingan usaha.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pendampingan penerima modal Rp10 juta sangat diperlukan sebagai langkah pemantauan proporsional usaha yang akan dibiayai.
“Monitoring dan pendampingan juga penting, diharapkan begitu Rp10 juta pertama dibagikan, ke depan bisa ikut program kredit konvensional sehingga bisa lepas dari ketergantungan kredit program pemerintah,” ucap Bhima kepada Tirto, Rabu (20/12/2023).
Selain itu, pengawasan dan seleksi debitur diperlukan mekanisme yang lebih ketat. Penyalur harus mampu menyeleksi penerima manfaat fasilitas dari pemerintah.
“Meskipun tanpa agunan dan bunga, pihak penyalur dalam hal ini perbankan perlu melihat juga proposal usaha yang akan dibiayai,” pungkasnya.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Irfan Teguh Pribadi