Menuju konten utama
Kaleidoskop Politik 2020

Buruk UU, Demonstran Dibelah: Tuduhan Hoaks untuk Pemrotes Ciptaker

Pemerintah menuding pemrotes UU Ciptaker termakan hoaks tanpa pernah menjawab tuntutan buruh, akademisi, aktivis, dan rakyat Indonesia.

Buruk UU, Demonstran Dibelah: Tuduhan Hoaks untuk Pemrotes Ciptaker
Seorang pengunjuk rasa dari Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) melakukan aksi di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/11/2020). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/pras.

tirto.id - Pada 5 Oktober 2020 DPR dan pemerintah resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja Omnibus Law. Protes dari berbagai kalangan sebelum RUU itu disahkan seperti diabaikan begitu saja. Selepas palu diketuk, protes pun semakin besar dan masif.

Setelah itu pemerintah sibuk mengklarifikasi ke sana ke mari perihal isi dan substansi UU Ciptaker. Bahkan, seperti melaksanakan pepatah lama Melayu "buruk muka cermin dibelah", pemerintah juga menganggap bahwa para demonstran penolak UU ini telah termakan oleh hoaks. Sayangnya, di tengah klarifikasi dan tuduhan itu, pemerintah dan DPR tidak menjawab hal substansial yang benar-benar menjadi masalah dalam UU tersebut.

Masalah hoaks ini, menurut penyelidikan polisi, mulanya tersebar dari akun Twitter @videlyae. Sejak saat itu hingga sekarang, akun tersebut hanya bisa diakses secara terbatas karena dikunci. Pengikutnya di Twitter hanya 453 akun. Ada 12 poin yang diunggah @videlyae dan polisi menganggapnya sebagai hoaks. Sebenarnya banyak orang tidak mengetahui 12 poin yang disebarkan oleh @videlyae tersebut.

Namun klarifikasi dari akun-akun resmi lembaga pemerintah dan pendukung pemerintah justru lebih masif. Pada 5 Oktober 2020, misalnya, penulisSeword Alifurrahman, yang merupakan simpatisan Joko Widodo, mengunggah tulisan yang menyebut “terkait omnibus law, belakangan ini beredar 12 poin yang dianggap menyengsarakan rakyat.”

Tulisan Alif menyebar ke berbagai pendukung Jokowi, pemerintah, DPR, dan anggota DPR lainnya dengan sedikit polesan. Pada 6 Oktober, giliran situs tentangomnibus.id yang menyebarkan klarifikasi yang sangat mirip dengan tulisan Alif.

Sehari kemudian, akun Instagram resmi milik DPR @dpr_ri juga menyebarkan klarifikasi serupa dalam bentuk gambar. Di hari yang sama, akun Instagram @tmcpoldametro mengunggah penjelasan serupa.

Puncak klarifikasi ini terjadi di media sosial pada 8 Oktober. Akun-akun yang baru muncul di Twitter pada tahun 2020 ramai-ramai mencuitkan #StopDemoAyokeMK disertai gambar klarifikasi 12 hoaks. Pada saat yang bertepatan, buruh akan melakukan demonstrasi dan aksi mogok kerja terakhir sebagai upaya melawan pengesahan UU Ciptaker.

Sebelumnya, simpatisan Jokowi lain seperti Permadi Arya dan Denny Siregar juga meramaikan klarifikasi soal hoaks UU Ciptaker. Tidak jelas siapa yang menyebarkan hoaks tersebut, karena berbeda dengan versi 12 poin, informasi keliru ini hanya mencatat 9 poin.

Dalam konferensi pers, sebagian menteri Kabinet Indonesia Maju menganggap masalah hoaks UU Cipta Kerja inilah yang menjadi penyebab ketidakpuasan masyarakat. Dua menteri yang bidang kerjanya sangat berkaitan dengan UU Ciptaker, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, melakukan klarifikasi yang lagi-lagi hanya mengulang narasi di media sosial.

“Pertama, banyak hoaks beredar tentang ketenagakerjaan. Saya tegaskan, upah minimum tidak dihapuskan tetapi tetap, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” kata Airlangga dalam konferensi pers virtual, Rabu (7/10/2020).

“Ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat, ini yang banyak sekali yang terjadi distorsi. Ini tetap diatur sebagaimana UU 13 tahun 2003 dan mengambil ketentuan baru mengenai waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor pekerjaan tertentu,” kata Ida dalam kesempatan yang sama.

Demonstrasi besar-besaran yang berlangsung di berbagai daerah Indonesia tidak juga membuat pemerintah menjawab kegelisahan publik soal UU Ciptaker. Presiden Jokowi dalam keterangan resmi yang hanya berlangsung hampir 12 menit itu justru kembali menyalahkan adanya hoaks dan disinformasi tentang UU Cipta Kerja yang menimbulkan kegaduhan sekarang.

"Namun saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan hoaks di media sosial,” kata Jokowi.

Lalu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengaku akan mengajukan rencana membuat situs untuk menampung soal saran dan kritik terkait UU Ciptaker. Pembuatan situs untuk menjawab substansi masalah ini cenderung lebih lambat dibanding klarifikasi hoaks dan disinformasi yang digembar-gemborkan pemerintah dan DPR.

Menutup Kritik Substansi

Pemerintah dan DPR bukan hanya tak menjawab kritik, tapi juga menyajikan fakta yang tidak utuh dari UU Ciptaker. Selain hoaks atau disinformasi yang diklaim pemerintah, sebenarnya banyak permasalahan UU Ciptaker yang diangkat oleh masyarakat mulai dari klaster lingkungan, kesehatan, pendidikan, hingga tenaga kerja.

Untuk klaster tenaga kerja saja, masalahnya cukup banyak. Ada dua hal yang perlu dijelaskan pemerintah. Pertama soal tuntutan buruh yang sebenarnya. Misal, pewajiban Upah Minimum Provinsi (UMP) tanpa ada pewajiban Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan ada penghilangan UMSK. Dalam hoaks yang disebar, narasinya adalah penghilangan UMP, UMK, dan UMSP.

Masalah lanjutan adalah hilangnya ketentuan upah minimum sebisa mungkin mengejar kebutuhan hidup layak. Dalam draf UU Cipta Kerja tebal 905 halaman yang sempat tersebar sebagai aturan final dan sah, tidak ada lagi ketentuan tersebut.

Ada pula hoaks soal hilangnya status karyawan tetap. Dalam draf yang sama, aturan soal pegawai kontrak masih belum lengkap. Keluhan buruh adalah tidak ada lagi batas perpanjangan kontrak bagi pegawai kontrak dan batasan bidang-bidang pekerjaannya. Pemerintah menjelaskan hal lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Sedangkan soal klaster pendidikan, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengaku tidak tahu mengapa klaster itu masih dibahas dalam UU Cipta Kerja. Politikus PKB yang membidangi masalah pendidikan ini menyatakan klaster pendidikan seharusnya sudah dicabut dalam pembahasan terakhir. Pernyataan ini justru bertolak belakang dari omongan Airlangga Hartarto yang mengklaim sebaliknya.

“Pendidikan didrop dalam pembahasan sehingga perizinan pendidikan tidak diatur didalam UU Cipta Kerja demikian pula dengan pendidikan pesantren, jadi tidak ada pengaturan mengenai pendidikan perizinan pendidikan,” ucap Airlangga.

Nyatanya dalam draf 905 halaman itu klaster pendidikan masih ada. Jika draf itu tak disahkan pemerintah dan DPR 5 Oktober lalu, pertanyaannya, draf mana yang kemudian disahkan dan dimengerti Airlangga?

Pengabaian debat substansi ini juga dilakukan dengan merahasiakan draf asli UU Cipta Kerja yang bakal disahkan Jokowi dalam waktu paling lama 1 bulan setelah pengesahan di DPR.

Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH) Asfinawati memandang pemerintah menutup mata pada kritik-kritik yang muncul dari kalangan akademisi, aktivis, dan kelompok pekerja. Sejak awal, UU Ciptaker memang dibuat secara buru-buru dan oleh sebab itu mereka menutup debat pada substansi masalah.

“Memang kelihatan, mereka (pemerintah dan DPR) tidak mau bertarung di substansi,” kata Asfinawati kepada Tirto, Sabtu (10/10/2020). “Dia menghindar dari substansi dengan pola-pola begitu karena pasti kalah kalau debat substansi.”

Munculnya PP dan Perpres di kemudian hari tidak menjamin bahwa masalah-masalah yang ada di UU Ciptaker sepenuhnya beres. Tidak ada kepastian bahwa masalah tersebut benar-benar diantisipasi oleh PP dan Perpres yang akan muncul paling lama tiga bulan. Jika PP dan Perpres itu tidak berhasil mengakomodasi bolong-bolong aturan dalam UU Ciptaker, semua sudah terlambat. UU ini tetap berlaku.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menyatakan Jokowi memang hanya menghindari kritik-kritik yang ada. Dia justru mencari pihak-pihak yang bisa disalahkan untuk melegitimasi UU Ciptaker yang memang bermasalah.

“Hoaks jangan jadi pembenaran omnibus law benar-benar tidak salah. Ini yang harus dikritik dengan keras,” papar Ujang kepada Tirto. “Saya melihat ini usaha mencari kambing hitam.”

Di bagian akhir pidatonya, Jokowi menyuruh siapapun yang tidak terima dengan UU Ciptaker untuk mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi karena memang demikian alur yang seharusnya ditempuh. Bagi Ujang, pernyataan Jokowi mendelegitimasi bentuk Indonesia sebagai negara demokrasi dengan memandang sebelah mata arti penyampaian pendapat melalui unjuk rasa.

“Pengrusakan harus ditindak, tapi soal demo, itu perjuangan rakyat,” kata Ujang lagi.

Infografik RUU Cipta Kerja Omnibus Law

Infografik Apa itu RUU Cipta Kerja Omnibus Law. tirto.id/Fuadi

Salahkan Komunikasi, Bangun Narasi

Setelah bicara soal hoaks dan disinformasi, pemerintah melontarkan pernyataan yang menyalahkan jajarannya sendiri terkait UU Ciptaker. Bagi Jokowi, komunikasi publik yang dilakukan terkait UU Ciptaker termasuk buruk dan harus diperbaiki.

"Kami diberitahu oleh Presiden bahwa komunikasi publik kita sungguh sangat jelek. Untuk itu, ini masukan dari luar maupun teguran dari presiden kita segera berbenah diri untuk perbaikan ke depan lebih baik," kata Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.

Bagi Asfinawati, dalam kesempatan lain di acara Mata Najwa pada 28 Oktober 2020, menyebut lagi-lagi omongan Jokowi ini menafikan kritik masyarakat dan menganggap UU Ciptaker sudah tepat—kecuali dalam hal komunikasi publik.

"Ada lebih dari itu. Secara substansi dia akan mengambil hak-hak rakyat. Nah substansi itu yang tidak didengar," kata Asfinawati.

Pemerintah kemudian membangun narasi bahwa pengesahan UU Ciptaker, di tengah banyaknya protes, adalah demi kebaikan masyarakat.

"Tepatnya tidak ada ada satu pemerintah di dunia yang mau menyengsarakan rakyatnya dengan membuat undang-undang yang sengaja," kata Mahfud MD di kantornya, Kamis (8/10/2020) malam.

Pernyataan itu segendang sepenarian dengan Luhut Binsar Panjaitan dalam sebuah tayangan di Indonesia Lawyers Club awal Oktober 2020. Luhut menjamin bahwa "tidak akan pernah pemerintah memberikan kebijakan atau aturan yang akan menyengsarakan rakyatnya. Apalagi Pak Jokowi. Tidak. Saya tahu persis. Karena beliau berlatar belakang keluarga susah."

Pertanyaan kepada Pak Luhut: rakyat yang mana?

==========

Redaksi Tirto menayangkan Kaleidoskop Politik sebagai ulasan dan analisis atas peristiwa-peristiwa sosial-politik penting sepanjang 2020. Sajian khusus ini diampu oleh penulis politik Felix Nathaniel.

Baca juga artikel terkait KALEIDOSKOP 2020 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan