tirto.id - Jumlah massa atau pun pelanggan merupakan kunci sukses dari sebuah bisnis hiburan. Sebagai contoh, pasti kalian familiar dengan fenomena stasiun televisi yang mengundang sejumlah mahasiswa dari beberapa kampus untuk meramaikan studio televisi tersebut.
Para mahasiswa ini memiliki tugas esensial. Mereka harus menciptakan interaksi dengan para artis agar terlihat interaksi dua arah yang natural saat acara berlangsung. Di samping itu, para mahasiswa juga ditugaskan menunjukkan kepadatan dalam studio. Kedua hal ini bertujuan untuk menarik perhatian penonton layar kaca agar mau menonton acara tersebut.
Saat tingkat penonton layar kaca meningkat, tentu akan menaikkan rating program. Alhasil, studio televisi dapat lebih mudah mendatangkan sponsor dan iklan dengan nominal fantastis.
Melihat kebutuhan para stasiun televisi yang begitu besar, penonton bayaran menjadi sebuah peluang bisnis yang bisa menghasilkan cuan besar. Kalian bisa coba ketik “penonton bayaran TV” di mesin pencarian, dan muncul salah satu perusahaan yang bergerak di sektor penonton bayaran.
Bahkan, perusahaan tersebut tidak hanya menyediakan penonton untuk acara TV, tetapi juga dapat mengakomodir kebutuhan perusahaan lain yang membutuhkan keramaian.
Semakin banyak yang menonton di studio, tentunya semakin membuat para penonton di rumah penasaran bukan? Inilah yang disebut social proof. Di mana manusia selalu melihat manusia lain sebelum mengambil keputusan.
Belum lagi perbincangan di antara masyarakat juga mendorong pemasaran acara televisi tersebut ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga semakin membuat efek traffic yang berlapis. Itulah bagaimana cara bekerja industri hiburan dan juga media massa. Ini sangat penting dalam mengelola sebuah bisnis.
Esensi Followers di Era Digital
Lain medium, lain pula pendekatan yang dilakukan. Kalau di televisi, para penonton bayaran harus hadir di studio acara, maka hal itu tidak perlu dilakukan di era digital saat ini. Era digital erat kaitannya dengan media sosial.
Data menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjadi salah satu pengguna terbesar beberapa media sosial seperti X, Instagram, Facebook, dan TikTok. Selain media sosial, pengguna kanal video YouTube di Indonesia juga menjadi salah satu yang terbesar di dunia.
Klaim ini sejalan dengan fakta bahwa penduduk Indonesia memang terbukti merupakan pengguna aktif media sosial. Hal ini dapat dilihat dari tingginya proporsi berselancar media sosial negara kita dibandingkan negara lain.
Meskipun tidak membutuhkan penonton untuk hadir langsung ke studio, tetapi prinsipnya tetap sama, semakin banyak massa, maka semakin besar kemungkinan bisnis tersebut untuk berkembang. Social proof masih menjadi faktor penting yang dapat memengaruhi seseorang.
Fakta ini membuat media sosial menjadi pasar baru. Media sosial adalah tentang bagaimana berlomba menggapai pengikut (followers) dalam jumlah yang banyak. Pasalnya, indikator pengikut (followers)inilah yang menyebabkan membuat banyak orang disebut sebagai Key Opinion Leader (KOL), influencer, atau jika di Instagram disebut “selebgram”.
Semakin tinggi pengikutnya, maka akan semakin besar dan luas kemungkinan pengaruhnya terhadap sosial. Jika bukan artis televisi yang menggunakan media sosial untuk mendekatkan diri dengan penggemarnya, biasanya para KOL fokus kepada pengembangan konten sesuai dengan niche dan ciri khasnya dari konten yang dikembangkan.
Output lain yang akan dihasilkan dari banyaknya followers adalah endorsement atau pun iklan dari produk-produk tertentu, utamanya adalah produk yang berdekatan dengan masyarakat. Bagi para selebgram, ini akan menjadi sumber pundi-pundi keuangan mereka.
Mendulang Rupiah
Meskipun pengguna media sosial di Indonesia berjumlah ratusan juta, menggapai audiens bukanlah perkara mudah jika mulai dari awal. Para pemilik akun media sosial harus mencari tahu selera pasar dari target audiensnya. Perjalanan menjadi influencer tentunya itu membutuhkan proses yang panjang.
Maka dari itu, para calon KOL mencoba peruntungannya dengan menumbuhkan followers atau pengikut buatan di akun media sosialnya.
Bagaimana caranya? Cara menumbuhkan followers atau pengikut yang baik tentunya secara organik, dari konten yang dihasilkan. Di luar dari pada itu ada juga yang memilih jalur cepat dengan cara anorganik. Tren anorganik ini sudah berkembang selama beberapa tahun ke belakang, bahkan sampai saat ini masih relevan untuk dilakukan.
Hasil studi dari The Social Chain Group menyebutkan bahwa dari 10.000 pemengaruh yang mereka pantau, sekitar 25% menggunakan metode keterlibatan palsu, termasuk membeli pengikut. Kini banyak agensi yang menawarkan jasa tersebut.
Kalau kita lihat di berbagai e-commerce seperti Lazada, Tokopedia, Shopee telah bertebaran berbagai opsi membeli followers dengan jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Tinggal memilih opsi mana yang cocok untuk digunakan.
Selain membeli langsung lewat jajaran lapak yang ada di e-commerce, ada juga perusahaan yang memang fokus kepada pengembangan followers di berbagai media sosial dan bergaransi. Biasanya menyatu dengan jasa pemasaran media sosial.
Secara umum prosesnya lebih lambat dibandingkan dengan jasa yang diperoleh dari e-commerce, bisa sampai beberapa hari. Tetapi, fitur yang ditawarkan lebih banyak, ada yang sampai menawarkan jumlah likes, jumlah penonton, dan berbagai metrik dalam media sosial yang dibutuhkan oleh para KOL. Yang terpenting, tentunya bergaransi.
Kehadiran followers buatan merupakan ladang cuan yang mampu menambah pundi-pundi uang agensi digital marketing. Tetapi memang karena sudah banyak kompetitor, maka para penyedia jasa followers anorganik ini harus putar otak untuk bisa bersaing.
Tania, (bukan nama sebenarnya) dari salah satu pegawai di agensi digital marketing mengatakan bahwa “kemungkinan saat ini marginnya dari modal dengan keuntungan bisnis jual beli followers adalah 20%, di kondisi pasar sekarang” ungkapnya pada Tirto (20/11/2023).
Agensi juga banyak yang menawarkan jasa premium dengan menawarkan followers “asli” bukan dari akun bodong. Asli yang dimaksud adalah akun tersebut sejatinya aktif digunakan oleh seseorang. Sang pemilik akun akan ditawarkan kerja paruh waktu oleh agensi digital marketing, umumnya melalui WhatsApp.
Undangan berisi pesan yang menawarkan pekerjaan berupa tugas untuk menyukai video atau menjadi subscriber akun media social tertentu. Satu tugas dibayar Rp10.000-20.000, di mana dalam satu bisa mendapat tawaran hingga 12 tugas.
Ini berarti, dalam satu hari bisa mendapat uang tambahan Rp 120-240 ribu per hari atau bisa mencapai Rp7.2 juta per bulan. Nilai yang fantastis dari sekedar kerja sampingan yang hanya bermodal jempol, smartphone dan paket data.
Jumlah bayaran akan naik level jika diminta untuk secara aktif memberikan komentar dan menyebarkannya. Alhasil, wajar saja jika agensi dapat dengan mudah menggaet para fictive followers ini untuk bergabung dalam jejaringnya.
Sayangnya, ketika terjun dalam bekerja sebagai fictive follower ada beberapa indikasi yang wajib diwaspadai. Seperti jika diminta untuk melakukan tugas di luar kanal media sosial.
Dilansir dari The Conversation, tugas dapat berkembang ke situs kripto dan diminta melakukan deposit sejumlah uang sebagai modal tugas yang akan dilaksanakan. Kemudian diminta bertransaksi untuk merangsang situs kripto tersebut. Satu aturan yang sulit diabaikan adalah, jika dalam satu kelompok ada orang yang tidak melakukan deposit, maka semua uang akan hangus.
Menurut Wahyu Fahrul Ridho dari The Conversation, para korban terkena apa yang disebut sebagai scarcity bias, yaitu tendensi yang membuat individu lebih tertarik pada sumber daya atau kesempatan yang terbatas. Mereka berpikir bahwa ini peluang besar untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat dan dengan tugas yang mudah.
Oleh karena itu, jika Anda mendapat tawaran untuk bekerja paruh waktu sebagai fictive follower harap berhati-hati dengan tugas yang dipilih. Anda juga patut selektif untuk melihat akun mana yang harus diberikan likes dan subscribe. Mengapa? Karena kini, rekam jejak digital Anda dapat berdampak pada karir, bahkan aplikasi kredit di Bank.
Editor: Dwi Ayuningtyas