tirto.id - Calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mendorong ketersediaan pupuk murah untuk kesejahteraan petani. Hal itu disampaikan Gibran saat debat keempat Pilpres, Minggu (21/1/2024).
Terkait hal itu, Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Rusli Abdullah, menilai janji pupuk murah bisa saja diwujudkan tetapi memiliki hambatan. Dia mengeklaim, program pupuk atau bibit murah ke petani sebenarnya di atas kertas pernah diwujudkan di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
“Pertanyaannya apakah akan lebih murah? Itu pertanyaan yang harus dijawab, kedua apakah tepat sasaran atau tepat waktu,” kata Rusli kepada Tirto, Selasa (23/1/2024).
Rusli membeberkan, pendistribusian pupuk bersubsidi di era Jokowi ada yang berhasil, namun juga banyak yang gagal. Bahkan, subsidi tersebut banyak ditemui tidak tepat sasaran.
“Dia [pupuk] itu enggak tepat sasaran dalam artian garganya enggak murah, jadi pupuk murah karena subsidi tapi ketika sampai ke petani ada tambahan biaya operasional, bensin, dan sebagainya dari sisi distributor,” tutur Rusli.
Dia menilai ongkos distribusi sudah termasuk dalam subsidi. Artinya, masih banyak pihak yang bermain dalam memanfaatkan kucuran subsidi ke petani. Masalah lain dalam penyediaan pupuk bersubsidi adalah terkait ketepatan waktu.
Rusli menuturkan banyak daerah terpencil yang sulit dijangkau pemerintah sering kali mendapatkan distribusi pupuk yang telat. Masalah tersebut menjadi serius lantaran menyangkut masa pupuk petani.
“Misalnya di pulau-pulau terkecil pupuk baru sampai bulan Maret otomatis masa pupuknya sudah lewat ini kan sia-sia, masalah distribusi mesti diperbaiki,” ucap dia.
Sementara itu, dia menuturkan solusi masalah tersebut harus disediakan undang-undang yang bisa menjadikan pupuk itu tahan lama di daerah-daerah terpencil. Pendistribusian yang dilakukan pun harus lebih awal dengan kuantitas yang banyak.
Dihubungi terpisah, Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian menuturkan, penyediaan pupuk murah memiliki konsekuensi. Hal itu, seiring dengan program tersebut maka anggaran subsidi dari pemerintah harus ditambah.
“Karena bahan baku pupuk itu kan impor dan harganya mengikuti harga global yang kini terimbas konflik geopolitik,” kata Eliza kepada Tirto.
“Kalau benih atau bibit yang dijual di toko sarana pertanian itu tidak disubsidi,” sambung dia.
Eliza mewanti-wanti, pemerintah perlu riset dan pengembangan mendalam terkait bahan baku pupuk yang selama ini tergantung dari impor. Jadi, kata dia, pencarian subtitusi perlu digalakkan sehingga bahan baku yang diperoleh bisa didapatkan dari dalam negeri.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Intan Umbari Prihatin