tirto.id - Seorang warga menggugat lembaga penyedia jasa leasing yang berkantor di Plaza Chasse lantaran tidak bersedia menghilangkan sisa bunga denda yang belum dipungut. Haerul Ihwan (39) meminta jumlah bunga Rp5 juta dihapuskan karena ia menganggap uang senilai itu merupakan riba.
Dalam gugatannya, Haerul meminta hakim membatalkan perjanjian leasing karena dianggap tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian tidak boleh mengandung keharaman. Hal ini baru dipahami penggugat usai kredit berjalan 20 bulan.
Kendati demikian, Haerul berjanji melunasi sisa pokok pembiayaan senilai Rp254.252.055 dan pembiayaan awal senilai Rp947,5 juta bila masalah hukum ini sudah selesai.
“Haerul menggugat dengan alasan menurut keyakinannya, bunga leasing ternyata haram hukumnya,” demikian keterangan tertulis yang dikutip dari website Masyarakat Tanpa Riba (MTR).
Dosen Hukum Bisnis dari Universitas Bina Nusantara (Binus), Shidarta menilai penggugat tidak bisa memaksakan klausul syariah pada perusahaan leasing yang bergerak dengan sistem konvensional.
Menurut Shidarta, jika penggugat sudah menggunakan layanan leasing itu, ia dianggap sudah konsekuen dengan batasan sistem hukum yang dapat digunakan.
Pernyataan Shidarta ini tentu beralasan. Sebab, bila perusahaan leasing menyediakan layanannya dalam hukum syariah, maka skema dan terminologinya tentu tidak menggunakan terminologi “bunga”. Apalagi ketentuan ini baru disadari 20 bulan setelah leasing berjalan sehingga kemungkinan besar pemohon sudah terlanjur mengikat perjanjian dengan leasing konvensional.
“Kalau konsumen sudah memilih leasing bukan syariah, maka artinya ia dianggap sudah memilih sistem hukum yang terkait leasing tersebut,” ucap Shidarta saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/6/2019).
Shidarta juga menyebutkan gugatan ini seharusnya tidak bisa dilakukan di peradilan umum karena dasar hukum yang digunakan adalah hukum syariah. Kalau pun dibawa ke Pengadilan Agama, kata dia, hal ini pun belum tentu dapat diproses karena bukan wilayahnya mengurusi bisnis leasing.
“Seharusnya tak bisa masuk ke lingkungan peradilan umum. Dasar hukumnya apa? Pasti bukan wanprestasi. Hukumnya yang mana, tak bisa dipastikan di sini. Apalagi pendapat haramnya bunga leasing juga masih menyisakan polemik,” ucap Shidarta.
Hal senada diungkapkan pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai gugatan pemohon akan sulit diterima hakim. Sebab, pemohon perlu memperhatikan konteks perjanjian leasing yang dibuat agar terlebih dahulu harus mengikuti prinsip syariah.
Fickar menjelaskan jika perjanjian dibuat untuk tunduk pada hukum Islam, maka istilah “bunga” atau riba bisa menjadi dasar gugatan. Namun, jika perjanjian leasing-nya konvensional, maka mau tidak mau pemohon harus tunduk pada KUHPer dan alasan bunga haram tidak bisa menjadi dasar gugatan.
Alhasil, kata dia, perjanjian leasing baru bisa digugat jika antara pihak terdapat wanprestasi atau ingkar janji. Misalnya salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, terlambat memenuhi perjanjian, atau memenuhi, tetapi objek yang diberikan tidak sama dengan yang tertera dalam perjanjian.
“Ya dengan dasar pemikirian itu, gugatan pemohon sulit dikabulkan. Kecuali dia dasarnya leasing syariah,” ucap Fickar saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (20/6/2019).
Lalu terkait penggunaan Pasal 1320 KUHPer, Fickar juga mengingatkan ketentuan ini tunduk pada hukum perdata nasional. Penafsiran halal dalam hal ini tidak bisa dikaitkan dengan “keharaman” dalam konteks syariah.
“Menurut saya beda konteksnya meskipun ‘keharaman’ merupakan norma hukum agama yang tidak tertulis yang dapat dipertimbangkan, namun menurut saya bukan dalam konteks perjanjian perdata,” ucap Fickar.
Terkait masalah ini, Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Adiwarman Karim menolak untuk berkomentar. “It’s too obvious. Enggak komen lah,” ucap Adiwarman saat dihubungi reporter Tirto.
Namun demikian, dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back, DSN MUI memastikan praktik bisnis ini boleh dilakukan. Lalu ada pedoman khusus agar praktik ini berjalan dengan prinsip syariah. Namun, tidak menyebutkan tentang “bunga”.
“Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakuakn berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip syariah,” demikian bagian penutup dokumen itu.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz