tirto.id - Kemunculan perusahaan financial technology (fintech) membuat para pelaku usaha keuangan konvensional was-was terhadap keberlanjutan usaha. Laporan PricewaterhouseCoopers—kantor akuntan publik multinasional—berjudul ‘Global FinTech Report 2017’ (PDF) menyebutkan 88 persen pelaku usaha industri keuangan yang disurvei mengaku khawatir karena fintech berisiko mengganggu bisnisnya.
Menurut laporan PwC pertumbuhan pendapatan yang diraup perusahaan fintech diperkirakan sudah menembus 24 persen dari pendapatan industri keuangan konvensional skala global.
Di Indonesia, kehadiran fintech juga berdampak terhadap industri keuangan nasional, tidak terkecuali bisnis pembiayaan konsumen. Apalagi, jumlah perusahaan fintech yang menyasar pembiayaan konsumen juga kian bertambah. Manajemen teras atas perusahaan keuangan konvensional seperti leasing harus memutar otak menghadapi persaingan
Per Maret 2018, jumlah fintech yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencapai 40 perusahaan. Dari total jumlah itu, terdapat empat perusahaan fintech yang khusus menyasar pembiayaan konsumen.
Pada April 2018, jumlah fintech yang terdaftar di OJK bertambah. Anggota baru itu adalah PT Akulaku Finance Indonesia dengan platform Akulaku. Perusahaan ini juga khusus melayani pembiayaan konsumen.
Kelima perusahaan fintech ini menawarkan cicilan ringan dan mudah untuk berbagai barang konsumsi, mulai dari fesyen, gadget, elektronika, furnitur, hingga perlengkapan rumah tangga. Bahkan, ada juga yang menawarkan cicilan untuk dana kuliah.
Selain cicilan ringan, proses keputusan persetujuan pengajuan kredit tergolong kilat, tidak lebih dari satu hari. Bandingkan dengan perusahaan konvensional, butuh hitungan 1-2 hari. Perusahaan fintech bernama AwanTunai bahkan mengklaim hanya butuh waktu 15 menit saja. Awantunai adalah perusahaan fintech yang menyediakan fasilitas cicilan digital. Hanya dengan menyiapkan e-KTP, dan menunggu 15 menit, calon peminjam akan mendapatkan limit kredit hingga Rp5-19 juta.
Kenapa proses keputusan diterima tidaknya pengajuan kredit di perusahaan fintech bisa sangat cepat?
CEO AwanTunai Dino Setiawan menjelaskan dasar-dasar penilaian kredit yang dilakukan AwanTunai sama seperti yang dilakukan bank, yakni menilai apakah peminjam memiliki karakter yang baik, dan punya kemampuan membayar kembali pinjaman.
Namun, AwanTunai memiliki perbedaan utama dalam menganalisa hal itu, di antaranya adalah menggunakan sumber data alternatif seperti data telco guna menentukan penilaian kredit pada masing-masing peminjam.
Data telco yang dimaksud di antaranya adalah data pelanggan dari operator telekomunikasi yang memuat informasi mulai dari pemakaian data, pemakaian telepon (calling) dan lain sebagainya.
“Jadi bedanya dengan bank adalah, kami dapat memproses pinjaman dengan biaya yang jauh lebih rendah dan meneruskan penghematan tersebut kepada penyedia modal dan pelanggan,” katanya kepada Tirto.
Selain itu, AwanTunai juga memiliki credit engine—himpunan data yang digunakan untuk menilai kredit—yang dibuat bersama dengan mitra bank. Dalam perjalanannya, data yang ada di credit engine ini terus berkembang hingga ke data biro dan data ponsel yang terhimpun sebagai big data.
Proses pengajuan kredit AwanTunai bisa hanya 15 menit dengan asumsi data yang diperlukan agar kredit dapat disetujui telah terpenuhi. Apabila belum terpenuhi, maka lama proses bisa lebih dari itu. Sejak didirikan pada Februari 2017, AwanTunai telah memproses lebih dari 100.000 aplikasi pinjaman, dan menyalurkan kredit lebih dari Rp20 miliar. Sementara, merchant yang bermitra dengan AwanTunai telah mencapai sekitar 2.000 merchant.
Dalam menyalurkan kredit, AwanTunai menggandeng lembaga keuangan di antaranya adalah Kreditplus yang memberikan pendanaan bagi AwanTunai hingga US$30 juta. AwanTunai juga berencana menggandeng lembaga keuangan lainnya.
Proses pengajuan kredit yang cepat dari fintech menjadi kekhawatiran bagi para perusahaan pembiayaan konvensional. Alasannya, proses pengajuan kredit yang dilakukan perusahaan pembiayaan konvensional tergolong lebih lama.
“Lebih lama karena harus mengecek langsung ke lapangan, tanya tetangganya, dan lain-lain. Hal ini perlu agar penyaluran kredit itu tepat,” kata Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) kepada Tirto.
Suwandi enggan berkomentar apakah proses pengajuan kredit bisa dilakukan dengan waktu hanya 15 menit. Menurutnya, masing-masing perusahaan memiliki alat dan caranya masing-masing dalam menganalisa pembiayaan. Ia berpendapat lama atau tidaknya proses persetujuan kredit ke depannya, bakal menjadi penentu keberlangsungan perusahaan pembiayaan. Mana yang lebih cepat, maka dia yang jadi menang.
Gandeng Fintech
Keunggulan fintech dalam hal pemanfaatan data hingga kecepatan proses persetujuan kredit, jadi tantangan perusahaan leasing atau pembiayaan konvensional. APPI mengakui fintech lebih unggul ketimbang perusahaan pembiayaan konvensional, terutama dalam hal kemudahan dan penetrasi. Sedikit demi sedikit, perusahaan fintech bakal mengambil pangsa pasar pembiayaan.
Namun, kehadiran perusahaan pembiayaan konvensional tetaplah belum tergantikan. Masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum paham terhadap fintech. Selain itu, dari sisi modal atau dana juga masih didominasi ditopang oleh perusahaan pembiayaan konvensional.
Kinerja lembaga pembiayaan saat ini terbilang masih positif. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total piutang pembiayaan tercatat Rp421,88 triliun per April 2018, tumbuh 6,36 persen dari periode yang sama tahun lalu Rp396,65 triliun. Kinerja rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) juga cukup baik. Per April 2018, lembaga pembiayaan mampu menekan angka NPL menjadi 3,01 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar 3,24 persen.
Melihat perkembangan fintech di Indonesia yang kian masif, Suwandi menilai kondisi ini justru menjadi peluang bagi perusahaan pembiayaan konvensional, yakni dengan bermitra dengan perusahaan-perusahaan fintech.
“[Fintech] Bukan ancaman, justru melengkapi kami. Mereka unggul dari sisi kemudahan dan penetrasi, sedangkan kami unggul dari sisi infrastruktur, terutama collection. Kami juga bisa menjadi mitra pendanaan bagi fintech,” jelas Suwandi.
Skema ini dianggap saling menguntungkan kedua pihak. Bagi perusahaan pembiayaan, nilai kredit akan tumbuh dengan bantuan penetrasi dari perusahaan fintech. Sementara perusahaan fintech tentunya tidak akan terkendala soal pendanaan.
Apa yang disampaikan Suwandi bisa jadi benar adanya. Pasalnya, laporan PwC menyebutkan hal yang sama. Menjamurnya perusahaan fintech mendorong perusahaan pembiayaan untuk berkolaborasi. Berdasarkan survei PwC, sebanyak 45 persen lembaga keuangan dari sejumlah negara yang disurvei telah bekerjasama dengan perusahaan fintech pada 2017. Jumlah itu naik signifikan dari tahun sebelumnya sebesar 32 persen.
Angka tersebut besar kemungkinan masih akan tumbuh. Sekitar 82 persen lembaga keuangan berencana meningkatkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan fintech dalam 3-5 tahun ke depan.
“Saya juga tidak melihat bank atau multifinance sebagai pesaing, tetapi mitra ideal bagi kami. Dengan teknologi, kami membantu mereka untuk mengakses 85 persen masyarakat Indonesia yang belum terlayani pembiayaan,” jelas CEO AwanTunai, Dino.
Editor: Suhendra