tirto.id - Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Ryan Rizaldy, mengakui, inklusi keuangan digital telah mandek bertahun-tahun. Mengacu pada laporan Bank Dunia (World Bank), pada 2018 inklusi keuangan digital Indonesia hanya tercatat sebesar 49 persen.
“Itu harga inklusi keuangan kita berhenti di 49 persen. Setiap kali keluar laporan yang baru, harganya tetap saja mandek di 49 persen. Tidak ada penambahan secara signifikan,” kata Ryan dalam Media Gathering di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali, Jumat (23/8/2024) malam.
Baru pada laporan Bank Dunia pada 2021, inklusi keuangan digital Indonesia naik menjadi 53 persen. Meski naik, angka ini masih jauh dari nilai sempurna, 100 persen.
Belum lagi, kini total penduduk Indonesia telah mencapai sekitar 280 juta jiwa. Artinya, dengan jumlah penduduk yang sangat besar, inklusi keuangan sebesar 53 persen adalah capaian yang sangat kecil.
“Memang masih jauh dari 100 persen, tetapi bahwa kita berangkat dari sesuatu yang tidak pernah bergerak ke mana-mana menjadi naik dari 49 ke 53. Ini pencapaian yang luar biasa. Dan satu lagi jumlah penduduk kita luar biasa besar ya, 280 juta penduduk populasi, 53 persen dengan angka yang kecil,” kata dia.
Ryan menilai, mandeknya inklusi keuangan digital nasional selama bertahun-tahun terjadi karena kurangnya infrastruktur keuangan digital dan pemahaman masyarakat akan keuangan digital yang masih jauh dari harapan. Padahal, untuk menciptakan keuangan digital yang inklusif, harus ada kesiapan infrastruktur yang memadai.
Hal ini tentu harus diikuti pula oleh pemahaman masyarakat terhadap keuangan digital.
“Gampangnya begini deh, sepanjang ada masyarakat Indonesia ini masih ngeklik, masih kirim duit kalau terima SMS mama minta pulsa gitu, ya tetap saja itu bakal terus menjadi PR. Sehari itu kita terima hoax atau terima WA bodong saja sudah berapa, ditelpon dari nomor-nomor yang cepat udah berapa?” jelas dia.
Ryan mengakui, perbaikan infrastruktur dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap keuangan digital masih menjadi pekerjaan rumah bagi Bank Indonesia. Pada saat yang sama, ketepatan serta keakuratan data masyarakat pengguna layanan transaksi keuangan digital yang sampai saat ini masih tak padan juga menjadi tantangan untuk menciptakan melegitimasi transaksi keuangan yang jujur.
“Ini masih menjadi PR, itu baru personal identitas individu, belum identitas korporasi. PR-nya masih banyak untuk bisa melakukan itu gitu secara utuh gitu,” kata dia.
Karena itu, untuk mencapai keuangan digital yang inklusif, BI telah merancang Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025-2030. Ryan bilang, melalui cetak biru itu, Bank Indonesia juga ingin mewujudkan sistem pembayaran yang berdaya tahan.
“Yang kita lihat ke depan, kita hanya ingin mengetahui apakah cukup atau tidak, gitu ya. Makanya yang harus kita lihat adalah bukan kondisi saat ini, tidak hanya kondisi saat ini, tetapi juga yang perlu kita lihat adalah bagaimana prospek atau outlook dari perekonomian ini ke depan, terutama prospek dari preferensi membayar masyarakat,” tegas Ryan.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz