tirto.id - Bank Indonesia (BI) bakal mengambil sikap apabila tekanan terhadap mata uang rupiah terus berlanjut sampai tahap mengkhawatirkan. Langkah yang disiapkan ialah menaikkan suku bunga acuan BI (7 Day Reverse Repo Rate/7DRRR).
“Apabila tekanan terhadap rupiah mengganggu stabilitas sistem keuangan, BI tidak menutup ruang bagi suku bunga BI 7DRRR,” ujar Gubernur BI Agus Martowardojo saat jumpa pers di kantornya, Jakarta pada Kamis (26/4/2018).
Kendati demikian, Agus memastikan kebijakan tersebut akan dilakukan dengan penuh kehati-hatian serta mengacu pada kondisi terkini dan perkiraan ke depan. Pengambilan kebijakannya pun masih bersifat tentatif dan hanya dilakukan dalam kondisi yang betul-betul dibutuhkan.
BI selama ini menahan posisi bunga acuan yang sebesar 4,25 persen sejak September 2017. Keputusan tersebut diduga turut dipengaruhi oleh dampak yang bisa muncul jika BI menaikkan suku bunga acuan, yakni kenaikan suku bunga deposito dan kredit perbankan.
Menurut Agus, saat ini BI berkomitmen terus hadir di pasar guna memastikan likuiditas yang memadai untuk valas asing dan rupiah. Selain itu, BI terus memantau dinamika perekonomian global beserta dampaknya ke Indonesia. BI juga berkerja sama dengan bank sentral sejumlah negara lain guna menjaga stabilitas.
Agus menilai faktor eksternal menjadi pemicu utama pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat saat ini. Agus mengklaim fundamental perekonomian Indonesia masih baik.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 merupakan yang terbaik dalam empat tahun terakhir dan defisit transaksi berjalan sebesar 1,7 persen. Kondisi ekonomi kita menunjukkan perbaikan, namun di dunia ada kondisi yang cukup besar dinamikanya,” kata Agus.
Dia menilai optimisme pasar terhadap perekonomian Amerika Serikat sedang meningkat. Selain itu, spekulasi tentang rencana The Federal Reserve (Bank Sentral AS) menaikkan suku bunga sebanyak 3-4 kali pada tahun ini juga terus berkembang.
“Lalu ada juga kondisi di mana harga minyak ada tekanan, potensi ketegangan antara AS dengan Tiongkok, dan risiko geopolitik. Ketidakpastian global itu lebih besar [pengaruhnya ke rupiah] dari kondisi perekonomian Indonesia yang lebih baik,” ujar Agus.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom