tirto.id - "Tepat pada 2002 lalu, terusik dengan keyakinan Microsoft yang menganggap tablet merupakan masa depan dunia komputer, tetapi tak satupun tablet kala itu yang benar-benar menunjukkan jati dirinya sebagai produk masa depan," tulis Walter Isaacson dalam bukunya berjudul Steve Jobs (2011), "Steve Jobs kepincut menciptakan tabletnya sendiri."
Bagi Jobs, ketiadaan tablet yang benar-benar dapat menggantikan komputer terjadi karena masyarakat masih menginginkan keyboard. Dengan dibekingi Microsoft, tablet yang tersedia di pasaran masih banyak menggunakan stylus hingga mengakibatkan tablet hanya menjadi mainan orang kaya semata--yang telah memiliki banyak komputer--tanpa kegunaan praktis.
Meskipun kepincut menciptakan tablet sejak 2002, proyek penciptaan tablet ala Apple baru dilaksanakan lima tahun kemudian, tepat pada 2007. Ini terjadi karena Jobs ingin menyingkirkan citra Apple sebagai perusahaan yang hanya membuat produk-produk mahal.
Jobs kala itu tengah berupaya menciptakan Netbook--laptop bertenaga minim dan murah meriah berkat ketersediaan prosesor mungil bernama Atom dari Intel. Namun, karena menitikberatkan pada harga murah, teknisi-teknisi Apple tidak mampu membuat Netbook sesuai selera Jobs. Dan dari rahim proyek penciptaan Netbook inilah, Jobs memulai proyek penciptaan tablet dengan, pertama-tama, mencopot keyboard yang terpasang pada prototipe Netbook buatan Apple.
Untuk menggantikan keyboard fisik yang hilang, diyakinkan oleh tangan kanannya di bidang desain bernama Johy Ive, Jobs memilih menggunakan keyboard virtual--muncul secara otomatis di layar tatkala dibutuhkan. Suatu teknologi adiluhung di bidang User Interface (UI)/ User Experience (UX) yang dimiliki Apple.
Menurut Brian Merchant dalam bukunya, The One Device: The Secret History of the iPhone (2017), Apple memiliki tim khusus bernama Exploring New Rich Interaction (ENRI), yang berasal dari FingerWorks, startup yang dibeli Apple. Tim ini telah berhasil menciptakan prototipe Macbook layar sentuh--untuk pertama-tama dimanfaatkan Apple pada iPhone.
Awalnya, tablet yang tengah dikembangkan Apple hendak menggunakan prosesor Atom buatan Intel. Ini dilakukan karena Jobs sadar bahwa Intel (kala itu) merupakan perusahaan satu-satunya di dunia yang memiliki portofolio chip tercepat.
Sayangnya, Intel menciptakan Atom tanpa memikirkan ketahanan baterai, hal yang dianggap Jobs dapat menghancurkan reputasi calon tablet buatannya karena pengguna dipaksa terus-terusan melakukan pengisian baterai. Karena permintaan Jobs pada Intel untuk membuat prosesor hemat daya tak digubris, Apple lalu membuat prosesor sendiri. Langkah ini dapat dilakukan Apple karena sudah berpengalaman mengembangkan prosesor bagi iPhone berkat kerjasamanya dengan Samsung, dan aksi akuisisi startup P.A Semi yang bergerak di bidang desain chip.
"Intel benar-benar keterlaluan, segala saran saya (tentang membuat prosesor hemat daya) tidak didengar mereka," aku Jobs. "(Karena mereka tidak mau mendengarkan saran saya) prosesor buatan Intel tak ubahnya seperti kapal uap (lamban)."
Dengan melisensi arsitektur prosesor buatan ARM, Apple berhasil menciptakan System-on-Chip (SoC) A4 untuk disematkan pada tablet yang tengah dikembangkan. Dan tiga tahun berlalu usai proyek penciptaan tablet dimulai, sebulan setelah iPhone 4 diluncurkan, tepat pada Januari 2010 Apple merilis iPad--tablet ala Apple.
Sama seperti iPhone yang dianggap mendefinisikan ulang apa itu ponsel, Jobs menempatkan iPad sebagai "penengah": perangkat revolusioner yang mengisi celah antara laptop dan ponsel. Menjadi alat yang ditujukan untuk berselancar di dunia maya, membaca email dan buku, melihat foto dan video, mendengarkan musik hingga bermain video game.
"iPad," terang Jobs, "merupakan perangkat yang jauh lebih intim daripada laptop."
Melawan Segala Hantaman
Tentu, meskipun Jobs meyakinkan masyarakat dunia bahwa ipad merupakan produk revolusioner, masyarakat umumnya tak yakin iPad benar-benar bermanfaat. Segala kegunaan iPad, dari berselancar di dunia maya hingga bermain video game, dapat dilakukan menggunakan ponsel ataupun laptop. Time dan Newsweek, media yang memiliki hubungan manis dengan Jobs, bahkan menghantam habis-habisan manfaat iPad dalam pemberitaan mereka ketika alat ini diluncurkan. Dan Bill Gates, seteru abadi Jobs, yakin bahwa iPad hanya akan berakhir sebagai produk gagal semata.
"Prediksi saya Netbook-lah yang akan berkuasa (bukan tablet)," kata Gates mengomentari iPad. "Dulu ketika iPhone diluncurkan saya sempat berpikir, 'Ya Tuhan, seharusnya kami (Microsoft) yang membuat, bukan Apple'. Hari ini, melihat mereka meluncurkan iPad, pikiran seperti itu tak terbesit sama sekali."
Gara-gara sentimen negatif terhadap iPad, Jobs mengalami masalah mental. "Saya benar-benar depresi mendengar komentar-komentar negatif tentang iPad," terang Jobs.
Untunglah, segala cercaan masyarakat terhadap iPad ketika produk ini diluncurkan akhirnya sirna juga. Tatkala iPad benar-benar tersedia untuk pasar, tiga bulan usai diluncurkan manfaat iPad terasa. Memperoleh ulasan positif dari hampir semua media, mendarat tepat di hati masyarakat. Akhirnya, kurang dari sebulan, 1 juta iPad berhasil terjual. Sembilan bulan berlalu, sudah 15 juta iPad dibeli. Hari ini, iPad merupakan produk pemilik 34,5 persen pangsa pasar tablet--jauh mengungguli produk manapun.
Atas kesuksesan iPad ini, banyak produsen teknologi mengekor dengan menciptakan dan meluncurkan tablet pesaing iPad--wabilkhusus dibantu sistem operasi milik Google, Android. Namun, meyakini bahwa iPad terlalu tangguh untuk dikalahkan, sebagaimana dilaporkan Brad Stone untuk The New York Times 2010 silam, Jobs menyebut segala tablet berbasis Android sebagai "barang tak berguna."
Salah satu alasan Jobs: tablet-tablet berbasis Android umumnya memilih menggunakan layar berasio 16:10 yang terlalu lebar. Cocok untuk menonton film, tetapi tak asik digunakan mengkonsumsi konten-konten non-film. Sementara itu, iPad dirancang memanfaatkan layar berasio 4:3.
Yang paling utama, Jobs meyakini bahwa pelbagai perangkat teknologi apapun tak bisa dilepaskan sebagai produk fisik semata. Harus ada kesinambungan/harmoni antara tablet (sebagai perangkat keras) dengan sistem operasi (perangkat lunak). Suatu hal yang tidak dimiliki Android hingga saat ini.
Ya, ketika pertama kali mendarat di dunia, iPad memang tak ubahnya seperti iPhone atau iPod Touch yang diperbesar. Dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berselancar di dunia maya hingga bermain video game dengan menggunakan beragam aplikasi yang sejatinya dibuat untuk iPhone (berjumlah 185.000 aplikasi). Namun, perlahan, Apple berhasil memaksa pengambang aplikasi untuk membuat aplikasi yang khusus digunakan untuk iPad. Tercatat, kurang dari lima bulan usai diluncurkan, tersedia lebih dari 25.000 aplikasi khusus iPad.
Ketika pertama kali hadir, iPad memang menggunakan sistem operasi milik iPhone, iOS. Namun, sadar bahwa iOS tak cocok untuk iPad, Apple meracik sistem operasi baru, iPadOS.
Gara-gara berhasil memaksa pengembang aplikasi membuat aplikasi khusus bagi iPad dan berhasil mengembangkan sistem operasi baru yang dikhususkan untuk iPad ini, iPad memiliki aplikasi yang jauh lebih baik dibandingkan pelbagai tablet berbasis Android, seperti Procreate misalnya.
Ya, Adobe memang meluncurkan Photoshop untuk iPad dan tablet-tablet Android. Namun, Photoshop yang DIRILIS di Play Store (Android) hanyalah versi semenjana semata (Photoshop Express, Photoshop Fix dan Photoshop Camera). Sementara itu, Adobe merilis versi utuh Photoshop, tak berbeda jauh dari versi komputer, untuk iPad. Begitupun dengan Illustrator, yang jauh lebih canggih di iPad, tetapi tidak untuk tablet Android.
Ada banyak aplikasi catatan di Android, memang, tetapi tak banyak yang memiliki kualitas serupa dengan GoodNotes ataupun Notability.
Maka tak heran kalau dengan segala superioritasnya, iPad seperti tak terkalahkan hingga saat ini.
Editor: Nuran Wibisono