tirto.id - Minuman beralkohol (minol) bukan barang baru di Nusantara. Usia minol di Nusantara bahkan lebih tua ketimbang umur Indonesia. Namun, aturan tentang minol baru ada saat Belanda menjajah Nusantara. Untuk alkohol sulingan seperti arak, tuak, ciu, atau lapen, diatur oleh Ordonnantie Van 27 Februari 1898 Nomor 90 en 92. Untuk bir, diatur oleh Bieraccijns Ordonnantie, Stbl 1931 Nomor 488 en 489. Berdasarkan aturan itu, minol mulai dikenakan cukai.
Setelah merdeka, Indonesia kemudian mengikuti jejak Belanda dalam memungut cukai dari perdagangan minol. Hal ini bisa terlihat dari diresmikannya Undang Undang Nomor 29 Tahun 1947 tentang Cukai Minuman Keras. Undang-Undang ini mengatur cukup detail terkait cukai minol. UU juga mengatur tentang siapa yang boleh memproduksinya, hukuman bagi yang melanggar, hingga denda yang dikenakan.
Undang-Undang ini kemudian diperbarui dengan adanya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997. Sama seperti pendahulunya, Keppres ini juga cukup detail dalam mengatur tentang alkohol. Mulai definisi, golongan minuman beralkohol, peredaran dan penjualan, hingga siapa yang boleh membeli minuman beralkohol.
Pada 2015, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06 Tahun 2015 tentang pengawasan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol. Permendag ini resmi berlaku pada 16 April 2015. Saat itu semua produk bir atau minuman beralkohol dengan kandungan 1-5 persen tak boleh dijual di minimarket. Di sinilah muncul pro dan kontra terkait peraturan tersebut. Banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit yang menilai aturan itu tidak akan berjalan efektif.
Menangguk Cukai Minol
Dari minol, pemerintah memeroleh pendapatan yang tidak sedikit. Pada tahun 2012, pemerintah menangguk Rp3,32 triliun dari cukai minuman beralkohol. Jumlah itu meningkat lagi menjadi Rp4,56 triliun pada tahun 2013. Pemerintah terus berupaya menaikkan penerimaan dari cukai minol. Pada tahun 2014, pendapatan dari cukai minol meningkat jadi Rp5,3 triliun.
Bertambahnya penerimaan cukai pada tahun 2014 tak lepas dari aturan kenaikan cukai seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 207/PMK.011/2013, tertanggal 31 Desember 2013. PMK ini merupakan perubahan atas PMK Nomor 62/PMK.011/2010 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman Yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat Yang Mengandung Etil Alkohol.
Sesuai dengan PMK tersebut, kenaikan tarif cukai diterapkan untuk semua golongan MMEA yaitu MMEA golongan A (kadar alkohol kurang sama dengan 5%), golongan B (lebih 5% sampai dengan kurang dari 20%), golongan C (lebih dari 20%) dinaikkan secara moderat berkisar mulai Rp2.000 sampai dengan Rp9.000 per liter, dengan rata-rata kenaikan sekitar 11,56 persen.
Memasuki tahun 2015, penerimaan cukai mulai tersendat manakala Kemendag mengeluarkan larangan peredaran minol di minimarket. Penerimaan cukai akhirnya meleset menjadi hanya Rp 4,6 triliun, dari target APBN 2015 sebesar Rp 6,4 triliun. Untuk tahun 2016, pemerintah menaikkan lagi target penerimaan cukai dari minol menjadi Rp 6,6 triliun. Rencananya, pemerintah akan kembali menaikkan cukai minol pada 2016.
Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah provinsi DKI Jakarta juga menikmati keuntungan dari penjualan minol. Pemprov DKI Jakarta tercatat memiliki saham di PT Delta Djakarta Tbk (DLTA) yang merupakan produsen Anker Bir. Sudah sejak tahun 1971 Pemprov DKI memiliki saham di produsen bir terbesar di tanah air itu. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pemprov DKI menguasai 25 persen saham Delta Djakarta. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama secara tegas tidak akan melepas saham Pemprov DKI di Delta.
Kinerja Terpukul
Larangan penjualan minol paling keras memukul para produsen. Kinerja perusahaan terus tergerus, sehingga harga sahamnya terus turun. Menurut Presiden Komisaris PT Multi Bintang Indonesia, Cosmas Batubara, peraturan ini bisa menurunkan pendapatan hingga 50 persen.
"Kami sih jadi korban. Sebagai pengusaha, kepastian usaha kami jadi terganggu," ujar Cosmas seperti dikuti oleh BBC Indonesia.
Pada triwulan III-2015, PT Multi Bintang Indonesia Tbk yang merupakan produsen Bir Bintang ini mengalami penurunan laba yang cukup tajam hampir hingga 25 persen. Laba hingga September 2015 tercatat hanya Rp 353,42 mliar. Pada periode yang sama tahun 2014, emiten berkode MLBI itu mampu memeroleh pendapatan hingga Rp500,58 miliar. Penurunan pendapatan itu sehubungan dengan penurunan penjualan dari Rp 2 triliun menjadi Rp 1,71 triliun.
Sementara produsen Anker Bir mengalami penurunan pendapatan lebih dari 30 persen hingga triwulan III – 2015. Delta Djakarta hanya mencatata laba bersih Rp120,06 miliar pada triwulan III-2015. Laba ini turun hingga 36,67 persen dibandingkan laba Delta Djakarta pada periode yang sama tahun 2014 yang tercatat Rp189,59 miliar.
Penurunan laba ini didorong oleh penurunan penjualan hingga 28,38 persen. Hingga September 2015, emiten berkode DLTA itu hanya mampu meraup penjualan Rp1,06 triliun. Pada September 2014, DLTA mampu meraup pendapatan hingga Rp1,48 triliun.
Menurunnya pendapatan dan laba MLBI serta DLTA setelah aturan larangan penjualan minol di minimarket langsung memukul harga sahamnya. Di awal Januari, saham MLBI masih bertengger di Rp12.000 dan mengalami penurunan tipis seiring gejolak yang terjadi di pasar saham di awal 2015.
Penurunan harga saham semakin parah mulai April, sebelum membaik pada Oktober. Harga saham MLBI pada Maret 2016 hanya berkisar Rp8.000.
Sementara saham DLTA di awal 2015 masih berkisar Rp390.000. Sama dengan MLBI, harga saham DLTA juga cenderung turun di awal 2015.
Penurunan tajam mulai terjadi pada Mei 2015 dan memburuk pada Oktober. Pada 29 Oktober 2015, saham DLTA sudah membaik ke Rp255.100. Terhitung 30 Oktober 2015, DLTA melakukan stock split 1:50. Pada awal Maret 2016, saham DLTA stabil di kisaran Rp5.000.
RUU Alkohol
Pemerintah akan kembali menaikkan cukai minol pada 2016. Harapannya, pendapatan dari cukai bisa meningkat kembali setelah sempat tergerus oleh larangan penjualan minol di minimarket. Di saat yang sama, pemerintah harus menghadapi tantangan baru berkautan dengan munculnya Rancangan Undang Undang Larangan Minuman Beralkohol.
RUU tersebut diusulkan oleh dua partai, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan. RUU ini sebenarnya sudah masuk Prolegnas 2015. Namun, karena mendapat banyak kritik, RUU ini tak juga disahkan hingga ganti tahun. Kini, RUU ini juga masuk sebagai satu dari 40 RUU prioritas dalam Prolegnas 2016.
RUU larangan ini malah mengusulkan ide yang lebih ekstrem: melarang setiap orang untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Larangan juga berlaku untuk mereka yang berusia di atas 25 tahun. Larangan ini tak berlaku untuk beberapa pengecualian. Seperti untuk keperluan ritual agama, untuk dijual di toko bebas bea, hotel bintang 5, bar, pub, klub malam, atau toko khusus untuk menjual minol.
Di poin ini, tampak inkonsistensi pemerintah. Semua orang dilarang minum minuman beralkohol, tetapi di satu sisi masih membolehkan beberapa tempat untuk berjualan alkohol.
RUU Larangan Minuman Beralkohol ini juga rentan bertabrakan dengan peraturan lain. Pada poin Menimbang b, dituliskan "bahwa salah satu upaya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman beralkohol perlu dilakukan larangan minuman beralkohol sehingga terjaga kualitas kesehatan..." Dari sini timbul kesan bahwa negara sudah beranggapan bahwa kesehatan itu semata-mata tentang minuman beralkohol. Juga bersikap seolah alkohol adalah ancaman bagi kesehatan.
Poin itu akan bertabrakan dengan UU no 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. UU itu mengatakan bahwa "Hak atas kesehatan tidak dapat dipahami secara sempit sebagai sebuah hak untuk sehat semata. Selain hak, hak atas kesehatan juga melingkupi kebebasan. Kebebasan ini termasuk juga hak untuk mengendalikan kesehatan dan tubuh sendiri…” Ini berarti bahwa setiap orang berhak mengontrol tubuh dan kesehatannya sendiri. Kehadiran negara seharusnya sebatas dalam menyediakan akses dan fasilitas kesehatan. Bukan mencampuri ranah privat.
Selama ini argumentasi pemerintah tentang larangan mengonsumsi minuman beralkohol legal selalu lemah. Dikatakan bahwa melarang minuman beralkohol akan membuat masyarakat jadi sehat, atau mengurangi kriminalitas. Padahal sejak kehadiran minuman alkohol legal dipersulit, ratusan orang tewas di Indonesia karena minum minuman alkohol oplosan. Di Amerika Serikat, lebih dari 10.000 orang tewas karena minum alkohol oplosan. Orang cenderung mencari cara alternatif saat minuman beralkohol legal susah diperoleh.
Berkurangnya tingkat konsumsi alkohol tidak berbanding lurus dengan berkurangnya kriminalitas. Tengok saja Amerika Serikat pada era Pelarangan yang tingkat kriminalitasnya malah meningkat sebanyak 24 persen. Negara-negara dengan konsumsi alkohol tinggi seperti Inggris, Perancis, Jerman, Ceko, juga merupakan negara-negara dengan tingkat kriminalitas yang rendah.
RUU Larangan Minuman Beralkohol ini masih memunculkan banyak celah. Aturan serupa yang melarang peredaran minol sudah ada, tetapi hasilnya nihil. Tujuan dari keluarnya aturan ternyata tidak tercapai. Di saat yang sama, pemerintah masih mengharap mendapat pemasukan cukai dari minol. Di sinilah inkonsistensi pemerintah perlu dipertanyakan.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho