tirto.id - Sejarah mencatat banyaknya kasus kematian sia-sia ak ibat minuman keras. Tak melulu kematian akibat minum, tetapi juga kematian akibat perebutan pasar minuman keras yang nilainya sangat menggiurkan. Perang gangster di Amerika Serikat (AS) bisa dijadikan sebuah pelajaran berharga.
Chicago Utara, 14 Februari 1929. Dua orang berseragam polisi merazia gudang di 2122 North Clark Street. Delapan anak buah Bugs Moran, gembong pengedar minuman beralkohol (minol), berada di dalamnya. Dua polisi menggeledah dan menyuruh mereka menghadap tembok. Beberapa detik kemudian, masuk beberapa orang yang menenteng senapan mesin Thompson.
“Bang! Bang! Bang!” Dari belakang, kedelapan orang diberondong. Tujuh tewas di tempat, satu tewas di rumah sakit.
Pasca penyelidikan, Kepolisian Chicago melansir bahwa dua orang berseragam bukanlah polisi. Kejadian itu kemudian disebut sebagai puncak dari perang antara gangster Irlandia pimpinan Bugs Moran yang menguasai Chicago Utara, melawan gangster Italia pimpinan Al Capone yang menguasai Chicago Selatan.
Salah satu penyebab perang, tak lain perebutan pasar alkohol ilegal. Pembantaian tadi dikenal sebagai “Saint Valentine’s Day Massacre” atau “Pembantaian di Hari Valentine”.
Pada tahun 1920 hingga 1933, AS memang menyatakan perang pada minol. Pemerintah melarang semua penjualan minol. Masa itu dikenal sebagai era Prohibition atau Pelarangan.
Era Pelarangan dimulai Desember 1917, saat Senat AS mengusulkan Amandemen Kedelapanbelas pada 18 Desember 1917. Amandemen diketok pada 1919 dan resmi diberlakukan pertengahan Januari 1920.
Sejak saat itu, semua penjualan minol dilarang. Amandemen dianggap bisa mengurangi dampak buruk minol, seperti kekerasan, kecelakaan, ataupun tindakan kriminal.
Namun, pemerintah AS ternyata tidak sepenuhnya menyadari dampak buruk pelarangannya. Sebut saja maraknya minol ilegal, penyelundupan, hingga hancurnya cukai.
Era Pelarangan juga dikenal sebagai era perang antargangster, terutama di wilayah Chicago. Mereka berebut pasar minol ilegal. Puncaknya terjadi “Pembantaian di Hari Valentine” yang sekaligus menasbihkan Al Capone sebagai penguasa dunia bawah tanah di Chicago. Pada masa jayanya, Al Capone diperkirakan punya kekayaan hingga 100 juta dolar yang berasal dari penyelundupan minuman keras, perjudian, dan prostitusi.
Pelarangan minol ternyata juga tidak terbukti mengurangi angka kriminalitas. Berdasarkan riset Charles Hanson Towne pada 1923, selama 1920 hingga 1921, tingkat kriminalitas justru melonjak 24 persen. Pencurian dan perampokan meningkat 9 persen, pembunuhan meningkat 12 persen, dan pengeluaran kepolisian melonjak 11,4 persen.
Dampak lain yang tak kalah buruk, korban berjatuhan akibat keracunan minol oplosan. Banyak orang yang coba-coba meracik minol. Tentu saja asal buat dan bisa mabuk. Minol oplosan kemudian mulai dijual sembunyi-sembunyi. Akibatnya, sekitar 10 ribu tewas menenggak oplosan.
Selain itu, pemerintah AS juga dibuat pusing karena kehilangan pendapatan dari cukai legal. Sebelum pelarangan, industri minol menyumbang cukai 3 miliar dolar per tahun.
Melihat dampak buruk semakin parah, apalagi AS dihantam badai resesi, era Pelarangan dihentikan. Pemerintah mulai mencari cara mengatur peredaran minol, antara lain menetapkan batasan umur pembeli.
Sanksi buat Oplosan
Sejarah era Pelarangan AS mengajarkan bahwa pelarangan alkohol bukan aturan yang efektif untuk mengendalikan dampak dari minol. Sayangnya, hampir 100 tahun berlalu, Indonesia justru akan mengadopsi larangan yang gagal di Amerika itu.
Dalam hal peredaran minol, Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan yang cukup ketat. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomer 3 Tahun 1997, produksi minol hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri Perdagangan.
Batasan umur tegas dan sangat ketat. Pembeli minol haruslah berusia di atas 25 tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang batasan umurnya 18 tahun, meski akhir tahun lalu diusulkan 21 tahun.
Sementara tempat peredarannya, minol golongan B (kadar alkohol 5-20 persen) dan C (di atas 20 persen) hanya boleh dijual di hotel, bar, restoran, dan tempat tertentu yang ditentukan pemerintah daerah. Namun, Keppres Nomor 3/1997 dianggap belum cukup.
Pada April 2015, keluar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pengawasan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Pemerintah melarang minimarket menjual minol.
Selanjutnya, muncul RUU Larangan Minuman Beralkohol yang diusulkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). RUU ini masuk daftar 40 prioritas Proyeksi Legislasi Nasional (prolegnas) 2016.
RUU ini mendapat tentangan banyak orang karena banyak pasal yang dianggap mengatur privasi warga negara. Misalkan di Bab III Pasal 7 tentang larangan. Di pasal ini tertulis: “Setiap orang dilarang mengonsumsi Minuman Beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, Minuman Beralkohol tradisional, dan Minuman Beralkohol campuran atau racikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4.”
Ini artinya, semua warga negara Indonesia, termasuk mereka yang berusia di atas 25 tahun, sama sekali tidak boleh mengonsumsi minuman beralkohol. Pasal itu juga jadi rancu karena bertabrakan dengan Pasal 8 yang membolehkan alkohol beredar untuk kepentingan terbatas seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Munculnya RUU ini mengingatkan pada kenaikan cukai besar-besar untuk minuman beralkohol pada 2010 silam. Saat itu harga cukai minuman beralkohol golongan A naik dari Rp3.500 menjadi Rp11.000 per liter. Untuk golongan B dari Rp10 ribu per liter menjadi Rp30 ribu per liter. Sedangkan golongan C naik dari Rp25 ribu jadi Rp75 ribu per liter.
Kenaikan cukai yang tinggi ini membuat produsen mau tak mau menaikkan harga jual. Yang terpukul adalah konsumen miras kelas bawah. Beberapa produk minol yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas bawah melonjak harganya.
Satu botol intisari misalkan. Sebelum cukai naik harganya hanya Rp13 ribu. Kemudian naik jadi Rp28 ribu. Anggur merah Cap Orang Tua dari harga Rp14 ribu jadi Rp30 ribu. Kolesom Cap Orang Tua bahkan naik dari harga Rp13 ribu jadi Rp28 ribu. Hampir semua produk minol ini naik 100 persen.
Ketidakmampuan mengakses minol resmi ini membuat banyak orang mencari jalan pintas: mengoplos minuman sendiri yang murah meriah. Racikannya beragam. Mulai anggur merah dicampur bir, anggur merah campur minuman berkarbonasi, dan yang membahayakan: minol yang dicampur spiritus dan metanol.
Banyak korban tewas karena minuman oplosan. Pada 2014, diperkirakan ada 187 orang tewas karena menenggak minuman oplosan. Pada 2015, ada sekitar 156 orang yang tewas. Hingga Februari 2016, sudah ada 30 orang korban tewas.
Ada yang beranggapan, jika RUU Larangan Minol disahkan, hampir dipastikan kasus tewas akibat oplosan justru semakin tinggi. Belum lagi, bakal makin maraknya penjualan minol palsu atau selundupan.
Namun, anggapan itu ditolak Irma Suryani Chaniago, anggota Komisi IX dari Fraksi Nasdem. “Wah jangan pesimis begitu. Dengan adanya UU akan ada sanksi jelas bagi pembuat oplosan ataupun konsumen. Selama tak ada UU-nya malah bebas tak beraturan,” katanya kepada Tirto.id.
Anggota DPD DKI Jakarta, Fahira Idris menyuarakan hal yang sama. Fahira yang lantang menyuarakan larangan miras ini tak sepakat jika larangan minol bakal membuat marak oplosan. “Peminum minuman beralkohol pabrikan berbeda karakter dengan peminum oplosan. Peminum oplosan itu menengah ke bawah yang dijual di warung,” katanya yakin.
Selama ini, argumentasi pemerintah soal larangan mengonsumsi minol memang lemah. Misalnya, membuat masyarakat menjadi sehat atau mengurangi kriminalitas. Padahal sejak minol legal dipersulit, ratusan orang justru tewas menenggak oplosan. Orang cenderung mencari alternatif, saat minol legal susah diperoleh.
Berkurangnya tingkat konsumsi alkohol, ternyata juga tidak berbanding lurus dengan berkurangnya kriminalitas. Tengok saja AS pada era Pelarangan yang tingkat kriminalitasnya justru meningkat 24 persen. Negara-negara dengan konsumsi minol tinggi seperti Inggris, Perancis, Jerman, atau Ceko, juga merupakan negara-negara dengan tingkat kriminalitas yang rendah.
Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah bukanlah melarang. Tapi mengawasi peredaran dan pembelinya. Selain itu langkah jangka panjang tentu perlu dilakukan, antara lain mengedukasi penjual maupun pembeli. Pemerintah juga seharusnya mulai memberikan penyuluhan tentang bahaya minuman oplosan.
Sejarah telah menunjukkan bahwa pelarangan minol sama sekali tidak efektif, tapi justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Indonesia harus belajar banyak dari sejarah.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho