tirto.id - Di tengah merebaknya wabah virus SARS-CoV-2, orang bisa melihat kemurahan hati seorang laki-laki membagikan puluhan karton masker ke kantor polisi di Cina. Tapi Indonesia keadaannya berbeda. Harga masker dan produk pembersih tangan justru naik gila-gilaan. Barang-barang ini kemudian menjadi langka di pasaran.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua Warga Negara Indonesia (WNI) positif COVID-19, produk pembersih tangan berbasis alkohol ludes dalam hitungan jam. Jauh sebelum COVID-10 diberitakan muncul di Indonesia, masker penutup mulut juga sudah mengalami kelangkaan.
Kami sempat memonitor pergerakan harga pembersih tangan di salah satu platform belanja online pada Senin, (2/3/2020). Sekitar Pukul 11.30 WIB, Jokowi menggelar konfrensi pers menyatakan Indonesia positif COVID-19. Hingga pukul 12.00 WIB harga pembersih tangan masih normal. Namun satu jam kemudian produk-produk tersebut mulai mengalami kenaikan harga.
Pukul 14.00 WIB, toko yang memajang harga normal sudah habis diserbu pembeli, tersisa produk-produk dengan harga tak masuk akal. Produk pembersih ukuran 400 ml yang semula dihargai Rp45 ribu naik menjadi Rp300-350 ribu. Tak cuma platform online, toko-toko grosir pun diserbu pembeli yang mencari pembersih tangan berbasis alkohol.
“Saya pergi ke enam Alfamart, kosong semua,” Permatasari, 29 tahun, menceritakan pengalaman berburu produk pembersih tangan di kawasan Tangerang Selatan.
Sari cukup panik setelah mendengar himbauan pemerintah untuk rajin mencuci tangan, atau menggunakan pembersih tangan berbasis alkohol untuk menghindari COVID-19. Virus SARS-CoV-2 memang bertransmisi dari tetesan batuk atau bersin dari orang yang terinfeksi.
Sisa cairan itu, lebih banyak menyebar lewat sentuhan tangan ke area wajah. Maka, rajin cuci tangan merupakan pencegahan terbaik saat ini. Lantaran anjuran masif diserukan, Sari kemudian yakin akan ada gerakan borong pembersih tangan seperti masker kemudian harganya menjadi mahal. Kekhawatiran Sari terbukti benar.
Desainer di salah satu butik di Jakarta ini baru bisa mencari produk pembersih tangan selepas pulang kantor. Sekitar lima jam paska pengumuman resmi soal COVID-19 dari pemerintah. Sari akhirnya menemukan produk tersebut di toko keenam. Tersisa sebelas pembersih tangan berbasis alkohol, itupun hanya yang varian anak.
“Saya beli cuma dua yang ukuran kecil. Kasihan yang lain juga perlu,” katanya, satu kotak ukuran 18 ml ia beli dengan harga normal Rp14 ribu.
Mereka Lebih Butuh Masker
Sejak seminggu ini Mila, 26 tahun, sudah pontang-panting mencari masker di daerah Surabaya. Anak pertama dan suaminya sedang flu berat. Kondisi tersebut membikin keduanya masuk kelompok yang perlu dibekali masker agar tidak menyebarkan virus influenza ke lingkungan sekitar.
“Saya khawatir virusnya nyebar ke si adek, batuk pilek kan harus maskeran supaya gak nular ke orang lain,” ujar Mila.
Tapi, usahanya nihil. Masker sudah sangat langka sejak satu bulan lalu. Sementara harga di platform belanja online sudah mencapai Rp300 ribuan per dus. Ibu dua anak ini kemudian berinisiatif mencari penjual masker di media sosial dan menemukan akun Instagram @cahaya_bike_77.
“Dia (penjual) bilang harus beli minimal satu karton seharga Rp600 ribu,” katanya.
Singkat cerita setelah melakukan transaksi pengiriman uang, penjual mengaku tengah menipu dan langsung menonaktifkan semua nomor. Kelangkaan masker juga membikin susah para korban bencana letusan Gunung Merapi kemarin.
Dyan Fidrianto, seorang warga Klaten yang terdampak abu Merapi mengeluh sakit tenggorokan akibat terlalu banyak menghirup partikel vulkanik itu. Sementara saat kejadian letusan Merapi, ia tak bisa menemukan masker di toko sekitar.
“Jadi memakai buff (masker dari kain tipis, biasanya terbuat dari bahan spandex),” ungkapnya kepada Tirto, Kamis, (5/3/2020).
Kisah Mila dan Dyan adalah gambaran lunturnya empati manusia. Dalam situasi sulit dan tidak kondusif seperti ini mereka mengambil keuntungan dari celah ketidakgesitan pemerintah mengatur kestabilan dan ketersediaan barang.
Mereka menjual masker bekas, menipu pembeli, dan membuat standar harga yang tinggi. Di sisi lain, ada kelompok-kelompok egois yang melakukan aksi borong masker, membuat kelompok yang benar-benar membutuhkan jadi sulit mengakses produk kesehatan tersebut.
Sekarang ini, tenaga kesehatan yang menjadi di garda terdepan penanganan berbagai macam penyakit mengaku harus dijatah untuk mendapat masker. Padahal tanpa masker, mereka sangat beresiko tertular tak hanya virus SARS-CoV-2, tapi juga TBC, Hepatitis, dan penyakit menular lainnya.
“Dijatah, maksimal sepuluh masker buat satu minggu, jadi ini kadang satu masker buat dua hari,” ungkap Rahma, 23 tahun, seorang perawat di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Bahkan Rahma bercerita pasokan pembersih tangan di rumah sakit lebih cepat habis karena digunakan untuk isi ulang. Krisis ini membuat kebijakan rumah sakit jadi ikut berhemat. Pasca-tindakan ke pasien, tenaga kesehatan cukup diminta cuci tangan menggunakan sabun biasa.
“Susah, padahal yang terkena risiko kan lebih ke kami (tenaga kesehatan),” keluh Rahma.
Jika pada akhirnya masker serta pembersih tangan langka, lalu orang-orang sakit serta tenaga kesehatan tak dapat jatah, maka tak hanya COVID-19 tapi beragam penyakit mengancam kesehatan masyarakat Indonesia secara lebih luas.
Orang sehat yang memakai masker tetap berisiko tinggi terserang virus, sementara tenaga kesehatan bisa ikut sakit karena tak dibekali alat pelindung yang memadai. Kemudian Indonesia harus bersiap menghadapi ancaman wabah selain COVID-19.
Respon Pemerintah
Sejak pertama kali dunia gempar akibat munculnya virus SARS-CoV-2, pejabat kita lebih meributkan penyelesaian konflik Natuna. Ketika wabah COVID-19 sudah menyebar ke beberapa negara, pemerintah santai dan mengatakan Indonesia masih terbebas dari virus tersebut.
Di saat negara lain berkolaborasi memaksimalkan seluruh laboratorium yang mereka miliki untuk mendeteksi virus, uji laboratorium Indonesia masih tersentralisasi di pusat. Sementara negara lain membagikan masker cuma-cuma, pemerintah kita masih tak acuh soal pengendalian harga.
Sampai ramai-ramai kelangkaan masker terjadi di banyak wilayah Indonesia berjalan hitungan bulan, operasi masker baru digelar. Masyarakat baru bisa membeli masker dengan harga murah, namun tetap dibatasi jumlahnya. Melihat penanganan yang seperti ini, wajar akhirnya dunia sempat skeptis tentang nihilnya kasus COVID-19 di Indonesia.
Jika melirik Singapura dan membandingkannya dengan Indonesia, kita bisa melihat perbedaan mencolok keduanya. Singapura bertindak gesit mengatasi penyebaran virus SARS-CoV-2. Sejak awal Februari sejumlah 1.500 personel militer diberdayakan untuk mengemas 5,2 juta masker.
Masker-masker ini didistribusikan secara gratis ke 1,3 juta rumah tangga. Setiap rumah tangga mendapat jatah empat masker. Tempat-tempat publik juga disterilisasi dan dilengkapi cairan pembersih tangan. Tak ada panic buying karena pemerintah memberi informasi yang jelas dan lugas sejak awal berita COVID-19 muncul.
“Dari 117 kasus, sebanyak 81 orang berhasil disembuhkan, 29 lainnya dalam keadaan stabil dan tengah mendapat perawatan di rumah sakit, dan tujuh lainnya kritis,” demikian ringkasan perkembangan terakhir dalam laman resmi Kementerian Kesehatan Singapura.
Dengan membandingkan kedua negara ini kita bisa memetik pelajaran, bahwa ketakutan hanya akan menciptakan perilaku irasional, egois, dan tidak bertanggung jawab. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom mengatakan, musuh terbesar dunia saat ini bukan virus, tapi ketakutan, rumor, dan stigma. Sementara kekuatan terbesar kita adalah fakta, penjelasan, dan solidaritas.
Editor: Windu Jusuf