Menuju konten utama

Berkejaran Menggapai Zwitsers van Indies, Salju di Puncak Papua

Penjelajah bernama Jan Carstenszoon yang pertama kali mengklaim melihat salju di Papua. Tiga abad kemudian barulah ekspedisi mencarinya dilakukan.

Berkejaran Menggapai Zwitsers van Indies, Salju di Puncak Papua
Header Mozaik Hindia Rasa Swiss. tirto.id/Fuad

tirto.id - Fase baru kolonialisme Asia Tenggara mengemuka pada abad ke-19. Dipicu peningkatan perdagangan dengan Cina sejak 1770-an, kekuatan Barat di wilayah ini lantas berfokus pada nilai keekonomian hutan tropis, usai, sebelumnya, hanya berkutat di pesisir dan di pelbagai perkebunan yang mereka dirikan.

Dimulai dengan keberhasilan mendarat di Pulau Kalimantan seabad sebelumnya, Barat, khususnya Inggris kemudian merangsek ke tengah-tengah pulau, ke hutan tropis, demi mendirikan kerajaan sendiri dan mengekstraksi nilai-nilai ekonomi hutan secara monopolistik. Aksi ini awalnya dilakukan individu biasa, misalnya Alexander Hare ke Banjarmasin, James Erskine Murray ke Kutai, dan Robert Burns ke Sarawak.

James Brooke, yang merangsek ke Kalimantan dari sisi utara, adalah pemilik kisah tersukses. Dia berhasil menguasai wilayah yang kini bertengger Brunei Darussalam dengan dalih melakukan riset flora dan fauna.

Karena kemudian Brooke alias The White Rajah sukses "berteman" (baca: memaksa dan melakukan tipu daya) dengan Dayak Iban dan sukses mengusir Dayak Kayan, wilayah kekuasaannya berkembang ke seluruh penjuru utara Kalimantan. Kesuksesan menghantam Dayak Kayan ini dilakukan Brooke dengan bingkai riset bernama The Great Kayan Expedition.

Kesuksesan Brooke, via "pertemanan" dengan Dayak dan kedok riset, menginspirasi teman-temannya sesama "sir" atau "gentlemen". Hugh Low dan Spencer St. John, misalnya, dapat menaklukkan Labuan lalu berlanjut dengan penaklukan Gunung Kinabalu--titik tertinggi di Kalimantan.

Dengan cara serupa, pada 1880, Inggris mengetahui bahwa Kalimantan menyimpan minyak bumi dan batu bara dalam perutnya.

Belanda, yang selalu mengklaim memiliki "sertifikat SHM" Kalimantan, gusar dengan kenyataan tersebut. Kala itu mereka hanya menguasai pesisir selatan Kalimantan karena menganggap "Djawa adalah koentji".

Tak ingin ketinggalan kapal, Belanda lalu bergegas merangsek ke jantung pulau tersebut. Tentu dengan cara serupa Brooke. G. A. F. Molengraaff dan A. W. Nieuwenhuis misalnya melakukan ekspedisi "saintifik" menyusuri pegunungan di pusat Kalimantan via Mahakam dan Barito pada 1879-1893. Bahkan, demi memuluskan kerja menguasai Kalimantan (dan mengusir Inggris), Belanda menyatukan sekitar 30 kelompok sub-suku Dayak, termasuk Iban dan Kayan yang dipecah Inggris, ke Tumbang Anoi di hulu Sungai Kahayan pada 1885.

Sejak saat itu, tutur Bernard Sellato dalam "Dayak "Jungle and River Experts" and Dutch West New Guinea Exploration, 1900-1940" (Borneo Research Bulletin, Vol. 52 2022), ragam ekspedisi berdalih pengembangan sains dilakukan Belanda ke seluruh penjuru Kalimantan, kecuali ke sisi utara karena Kerajaan Inggris menaikkan status tanah garapan Brooke sebagai koloni.

Bahkan, karena tidak ingin kembali tertinggal, kala abad berganti Belanda melakukan ekspedisi serupa di pulau lain yang dikuasainya tapi belum terjamah, yakni sisi barat Pulau Guinea Baru atau Papua.

Hampir tiga abad sebelumnya, penjelajah Belanda bernama Jan Carstenszoon mengklaim melihat salju di Papua dari kapalnya yang tengah bersandar di pesisir. Maka, selain mengekstrak Papua, ekspedisi yang hendak dilakukan Belanda juga dalam rangka mengunjungi "Zwitsers van Indies".

Zwitsers van Indies

Banyak pihak awalnya tak percaya dengan laporan Jan Carstenszoon pada 16 Februari 1623. Dia menyebutkan bahwa "pada jarak sekitar 10 mil, menurut perkiraan, ke pedalaman (Papua) kami melihat barisan pegunungan yang sangat tinggi di banyak tempat berwarna putih diselimuti salju, yang kami anggap sebagai pemandangan yang sangat unik karena begitu dekat dengan garis ekuinoks (garis khatulistiwa)."

Namun, tutur Geoffrey S. Hope dalam The Equatorial Glaciers of New Guinea (1976), keraguan sirna begitu saja karena tak lama sebelum laporan itu terdengar, Barat baru saja menemukan salju di Pegunungan Andes di Amerika Utara yang sama-sama berada di khatulistiwa. Selain itu, jauh ke belakang, tepatnya 250 tahun sebelum kabar Carstenszoon tersiar, Barat juga sudah takjub dengan keberadaan bongkahan es di puncak Afrika timur--yang, lagi-lagi, berada di Khatulistiwa.

Menindaklanjuti klaim Carstenszoon, pada 1899 atau tak lama usai memperoleh kekuasaan mutlak atas sisi barat Papua, Belanda menjelajah ke pedalaman. Petualangan berbuah hasil dan laporan terkonfirmasi. Namun ketika itu Belanda hanya menyaksikan keindahan salju di tanah Khatulistiwa dari kejauhan.

Mereka lantas menetapkan puncak di mana salju bergumul bernama Carstensz Toppen atau kemudian dikenal sebagai Carstensz Pyramid.

Memasuki abad baru dan tetap dimotori rasa takut terhadap agresivitas Inggris melakukan penjelajahan di tanah tak dikenal, Belanda melakukan ekspedisi ala James Brooke di Papua. Misalnya ekspedisi yang dipimpin Arthur Wichmann dan Maximillian Dumas pada 1903. Ada pula ekspedisi pimpinan Posthumus Meyes dan De Rochemont pada 1904 dan 1905.

Namun, dalam ekspedisi-ekspedisi tersebut, tujuannya bukanlah Carstensz Toppen sebab rimba terlalu lebat untuk ditembus. Banyak penjelajah tak berani melangkahkan kaki lebih jauh.

Inggris lalu masuk menjajal keberuntungan. Mereka menjadi kekuatan Barat pertama yang berupaya menggapai Carstensz Toppen. Terlebih, puncak bergletser ini tak begitu jauh dari wilayah kekuasaan lain mereka di Asia Pasifik, yakni sisi timur Pulau Guinea Baru.

Usaha menggapai salju Papua dilakukan Inggris pada 1909 dengan tajuk The British Ornithological Union Expedition atau BOUE. Tim terdiri dari enam ilmuwan, lalu didampingi 44 tentara, sekitar 50 orang Dayak, serta 60 tahanan yang membantu membawa ragam kebutuhan penjelajahan.

Nahas penjelajahan terpaksa dihentikan karena hampir semua kru terkena beri-beri dan malaria. Sebanyak 16 orang di antaranya meninggal.

Meski gagal, toh BOUE tetap membuat Belanda kesal. Mereka lantas menetapkan Carstensz Toppen haruslah menjadi tujuan utama. Orang mereka harus mampu menginjakkan kaki ke sana. Belanda lalu pertama-tama mendirikan detasemen khusus penjelajahan yang langsung dipimpin gubernur jenderal saat itu, J. B. van Heutsz.

Ketuanya adalah ahli ilmu hewan H. A. Lorentz. Salah satu anggotanya adalah Wichmann yang berpengalaman menjelajah Papua sebanyak dua kali bahkan memimpin tim (yang anggotanya termasuk Lorentz). Ikut pula J. W. Nouhuys sebagai komandan kapal sekaligus ahli geologi, meteorologi, dan kartografi, L. S. A. M. van Romer sebagai ahli antropologi dan botani, serta Raden Jaarman Soemintrol Zeerban sebagai dokter.

Dalam memoar berjudul "An Expedition to the Snow Mountains of New Guinea" (The Geographic Journal, Vol. 38 1911), Lorentz mengatakan dia mencoba merealisasikan kehendak Belanda melalui jalur baru yang berbeda dengan jalur Wichmann atau BOUE.

Dia juga melakukan hal baru dengan membawa orang-orang Dayak. Ekspedisi ini didukung oleh 88 orang Dayak, dengan 66 di antaranya merupakan anggota kelompok sub-suku Kayan yang berasal dari Putussibau.

Orang Dayak dibawa karena Lorentz yakin ketidakberdayaan ekspedisi yang dipimpin Wichmann untuk merangsek lebih jauh terjadi atas ketiadaan bala bantuan dari orang-orang yang mengerti hutan.

Tutur Lorentz, "alasan utama saya membawa orang-orang ini (Dayak) adalah, ketika berada di Kalimantan, mereka menjalani kehidupan suci seperti di New Guinea [...] Mereka biasa berkeliaran di hutan untuk mencari makanan, mereka sangat suka melakukan perjalanan jauh yang mungkin kemudian mereka banggakan."

Mereka adalah pembuat perahu yang ahli dan tidak ada bandingannya sebagai pendayung. Orang Dayak juga dengan mudah membawa beban di punggung mereka, tambah Lorentz.

Meskipun diajak sebagai pihak yang diperintah melakukan kerja-kerja kasar semisal mengangkut pelbagai barang kebutuhan, Lorentz tak mau menyebut orang-orang Dayak ini sebagai kuli. Julukan berkonotasi negatif yang ditujukan pada Dayak kala itu adalah andil James Brooke. Terangnya, "mereka (Dayak) sama seperti kita (Eropa)."

Yang menarik, ketiadaan rasisme dalam diri Lorentz digantikan sikap curiga. "Karena saya tak mau melihat mereka (Dayak), atas kesamaan suku, akhirnya bersekongkol," tulis Lorentz, 10 orang Sunda diajak dalam ekspedisi sebagai "bentuk berjaga-jaga."

Berbekal 12 ribu kilogram beras (yang dijatah 0,8 kilogram per anggota per hari), 2.500 kilogram ikan kering, 1.000 kilogram daging, 4.500 kilogram kacang hijau, dan 2.000 kilogram gula merah, serta ragam perlengkapan dan kemah berwarna hijau selebar 5 kali 5 meter, ekspedisi menggapai salju di Papua dimulai dari Surabaya pada 15 Agustus 1909.

Dengan kapal bernama Eagle yang ditarik kapal khusus kiriman pemerintah Hindia Belanda bernama Falcon, ekspedisi tiba di Papua, di daerah bernama Bivonac, dua minggu kemudian via rute yang melewati Kupang. Dari sana ekspedisi dilanjutkan dengan menyusuri sungai untuk menuju titik bernama Alkmaar. Perjalanan sesungguhnya dimulai dari sana.

Upaya merangsek Carstensz Toppen dilakukan lewat Sungai Van der Sande. "Sungai Van der Sande, menurut laporan-laporan yang saya baca, sangat baik dijadikan pijakan utama menuju Carstensz Toppen, jauh lebih baik dibandingkan Sungai Utara yang umum dijadikan pijakan penjelajah sebelum saya mencoba menuju Carstensz Toppen," katanya.

Tak mau penyakit menjadi petaka perjalanan seperti yang dialami tim BOUE, tim diwajibkan untuk mengonsumsi obat anti malaria serta bubur kacang hijau.

Akhirnya, hampir tiga bulan kemudian, dengan kecepatan jelajah sejauh 3 mil (5 kilometer) per hari dan dengan tim yang kian mengecil sebab satu per satu berhenti untuk menjaga pos yang dibuat, Lorentz berhasil menginjakkan kaki di Carstensz Toppen pada 8 November 1909. Tercatat dia sampai bersama dengan 25 Dayak, 1 Sunda, dan 3 tentara.

Dalam perlombaan menuju bongkahan es abadi di Papua, Belanda akhirnya keluar sebagai pemenang. Inggris baru bisa mengejar tiga tahun kemudian melalui ekspedisi pimpinan A. F. R Wollaston.

Namun diketahui kemudian bahwa puncak yang didaki Lorentz bukanlah Carstensz Toppen dalam pengetahuan saat ini, yaitu Puncak Jaya, melainkan puncak lain, yakni--kemudian dikenal sebagai--Wilhelmina Peak atau Puncak Trikora--170 kilometer di sisi timur Carstensz Pyramid. Meski begitu tetap saja puncak yang didaki Lorentz dianggap sebagai yang tertinggi di Papua.

Infografik Mozaik Hindia Rasa Swiss

Infografik Mozaik Hindia Rasa Swiss. tirto.id/Fuad

Hingga 1960-an, persoalan tentang "puncak mana yang paling tinggi di Papua" muncul tak lain karena keterbatasan teknologi.

Untuk menjawab misteri puncak tertinggi, pada 1936, tiga penjelajah Belanda bernama Anton Colijn, Jean Jaques Dozy, dan Frits Wissel mencoba menaiki dua titik lain, yakni Puncak Carstensz Timur dan Puncak Ngga Pulu yang berada di kawasan Carstensz Pyramid (dalam pengetahuan saat ini).

Lorentz meyakini Puncak Wilhelmina adalah area tertinggi, sementara Colijn, Dozy, dan Wissel meyakini Puncak Ngga Pulu.

Baru pada 1962, melalui penelitian yang lebih apik, puncak tertinggi Papua diketahui adalah Puncak Jaya (Carstensz Pyramid) yang berada di 4.884 meter di atas permukaan laut. Area tersebut berhasil didaki oleh pendaki asal Austria bernama Heinrich Harrer di tahun yang sama.

Penjelajahan tiga orang Belanda, Colijn, Dozy, dan Wissel, bisa dibilang merupakan penjelajahan pertama sesungguhnya di Papua. Sebab, sekali lagi, beragam "ekspedisi saintifik" yang dilakukan Barat sebelumnya hanyalah kedok semata demi mencari nilai keekonomian.

Meski demikian, bukan berarti petualangan tersebut tidak berpotensi ekonomi sama sekali. Colijn yang ahli perminyakan menemukan bijih tembaga dalam kuantitas raksasa di kawasan Carstensz Pyramid. Dia lantas menamai temuannya sebagai Ertsberg atau Gunung Tembaga.

Namun Ertsberg tak berhasil dimanfaatkan sisi ekonominya oleh Belanda karena Perang Dunia Kedua keburu mencuat. Pasca Indonesia merdeka, eksplorasinya sempat ditentang oleh Presiden Sukarno. Ertsberg kemudian dikuasai entitas bisnis bernama Freeport via restu Soeharto.

Baca juga artikel terkait PEGUNUNGAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino