Menuju konten utama

Kebun Raya Bogor, Pusat Ilmu Botani di Dunia

Bogor pernah jadi kota tujuan para botanis dunia berkat kebun raya dan fasilitas riset yang lengkap.

Kebun Raya Bogor, Pusat Ilmu Botani di Dunia
Kebun Raya Bogor; 1870. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Belanda bisa dibilang sebagai bangsa Eropa yang paling terlambat menjelajahi Nusantara. Dibanding Spanyol atau Portugis yang sudah wara-wiri di Kepulauan Bawah Angin sejak mula abad ke-16, Belanda baru melayarinya di pengujung abad yang sama. Meski "terlambat", sejak pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara Belanda sangat ambisius pada incarannya.

Van Linschoten, orang Belanda pertama yang menguak rute ke Nusantara, tak hanya pulang membawa peta. Selama persinggahannya di kepulauan ini antara 1583-1589, van Linschoten mendokumentasikan sejumlah besar data ilmu tetumbuhan atau botani. Data-data itu mencakup daftar spesies tanaman sekaligus deskripsinya, terutama tanaman-tanaman bernilai komersial.

Serbaneka tanaman rempah-rempah, kayu cendana, hingga kamper masuk daftarnya. Dokumentasi tersebut membikin saudagar-saudagar Belanda antusias. Lalu berangkatlah pelaut-pelaut Belanda menuju Nusantara untuk memburu kekayaan di Nusantara hingga akhirnya berdiri VOC pada 1602.

Ketika armada-armada VOC mulai meramaikan jalur dagang Nusantara, mereka membawa misi khusus. Atas permintaan Carolus Clusius, kepala Kebun Raya Leiden, VOC segera mengeluarkan instruksi khusus yang mengharuskan semua apoteker dan dokter armada VOC untuk mengumpulkan spesimen tanaman ekonomis yang ditemui di Nusantara.

Dalam “Dutch Pre-colonial Botany and Rumphius’s Ambonese Herbal” yang terbit dalam jurnal Allertonia (vol. 13, 2014, hlm. 10-11) Pieter Baas dan Jan Frits Veldkamp menjelaskan bahwa instruksi pengumpulan spesimen itu mencakup deskripsi, ilustrasi, serta keterangan bagaimana dan di mana suatu tanaman tumbuh. Tanaman-tanaman yang berguna bagi kesehatan awak VOC selama pelayaran juga dipelajari.

Jelas VOC sadar akan nilai riset ilmiah bagi kelangsungan bisnis mereka. Sejak mula, botani adalah sarana VOC mengkapitalisasi kekayaan alam Nusantara. Botani adalah ilmu pengetahuan modern yang paling mula masuk ke Nusantara lewat Belanda.

Era Awal

Kerja-kerja awal para botanis Belanda di Nusantara adalah dokumentasi flora. Salah satu yang menonjol dari era ini adalah Jacobus Bontius, dokter pribadi Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, dan botanis Geraert de Bont yang telah menggambarkan 70 spesies tanaman dari Jawa.

Lalu datanglah Georg Eberhard Rumpf pada 1653. Botanis yang lebih masyhur dengan nama Rumphius ini awalnya adalah pegawai VOC di Ambon. Atas dukungan dari dewan direksi VOC, Rumphius kemudian banting setir mempelajari flora Maluku sejak 1660-an.

Rumphius menyibukkan dirinya menjelajahi hutan-hutan pulau Ambon. Sedekade ia habiskan untuk mengumpulkan spesimen dan mendeskripsikannya dalam bahasa Latin. Ia bahkan menggambar sendiri ilustrasi tanaman yang ditelitinya.

Kerja keras itu menjadikannya salah satu botanis terbaik pada masanya, bahkan mungkin di Hindia Timur kala itu. Elizabeth A. Widjaja dan Kuswata Kartawinata dalam “Economic Botany in Indonesia from the Herbarium Amboinense to the Plant Resources of Southeast Asia” yang diterbitkan jurnal Allertonia (2013, hlm. 59) Rumphius telah mendata sekira 1.300 spesies tanaman di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya hingga 1702.

Hasil risetnya yang kolosal itu lalu diterbitkan dalam Herbarium Amboinense. Setelah Rumphius wafat, perkembangan botani di Nusantara meredup. Musababnya barangkali adalah karena riset-riset itu tak terorganisasi baik. Kondisi seperti ini berlangsung kira-kira hingga abad ke-18.

Meski begitu, bukan berarti Bontius dan Rumphius tak punya penerus. Beberapa botanis yang cukup giat meriset flora tropis Nusantara sepeninggal mereka di antaranya adalah Carl Pehr Thunberg (1777), Claes Frederic Hornstedt (1783-1784), Francisco de Norona (1787), Louis Auguste Deschamps (1793), dan Louis Theodore Leschenault de la Tour (1802).

Riset para botanis itu didanai oleh Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—Komunitas Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia—yang didirikan oleh J.C.M. Rademacher pada 1778. Radermacher adalah anggota Raad van Indie dan menantu Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk. Ia amat terpengaruh oleh semangat Renaisans hingga terdorong mendirikan dan memodali suatu perkumpulan ilmiah di Hindia Timur.

Majalah Historia (nomor 22, 2015, hlm. 21) menyebut bahwa botani adalah salah satu cabang sains yang ditekuni anggota Bataviaasche Genootschap. Sebagai bentuk dukungan, Radermacher merogoh kocek pribadinya untuk membangun sebuah taman khusus untuk riset botani. Namun, sayang, sejak Radermacher wafat pada 1783 kegiatan perkumpulan ini juga ikut surut.

Tonggak Pertama

Selain tak terorganisasi, riset botani di Hindia Timur sebelum abad ke-19 umumnya mentok pada kerja dokumentasi dan taksonomi. Botanis di Hindia Timur memang lebih sibuk mencari spesies flora baru. Sementara riset lebih mendalam umumnya dikerjakan oleh botanis-botanis universitas di Belanda berdasarkan data-data yang dikirim dari Hindia Timur.

Fokus riset pun masih belum beranjak dari kepentingan komersial. Namun, setidaknya pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial memulai usaha-usaha agar riset botani lebih teratur. Karena itulah pemerintah kemudian membentuk Departemen Pertanian, Seni, dan Pendidikan pada 1816. Direktur pertamanya adalah C.G.C Reinwardt, seorang botanis yang energetik.

Profesor F.A.F.C. Went dari Universitas Utrecht dalam “Short History of General Botany in the Netherlands Indies” dalam Science and Scientists in the Netherlands Indies (1945, hlm. 390) menyebut satu usaha Reinwardt yang berdampak besar bagi perkembangan botani di Hindia Belanda: pendirian Kebun Raya Buitenzorg pada 1817.

Reinwardt lalu didapuk pula sebagai direktur kebun raya baru itu. Ia merancang kebun raya itu tak hanya sebagai wahana penelitian dan budidaya tanaman komersial, tetapi juga menginventarisasi flora asli Nusantara. Botanis kelahiran Prusia ini memacak cita-cita besar: menjadikan Kebun Raya Buitenzorg sebagai pusat studi flora tropis di Asia.

Reinwardt tak sempat melihat impiannya itu tercapai karena ia harus mudik ke Belanda pada 1822. Namun, perlahan-lahan, di bawah direktur-direktur penerus Reinwardt, Kebun Raya Buitenzorg memperbesar koleksinya. Tak hanya flora endemik Nusantara, Kebun Raya Buitenzorg juga mengoleksi secara ekstensif flora dari belahan bumi lain. Para botanisnya pun menginisiasi ekspedisi-ekspedisi ilmiah ke seantero kepulauan untuk mengumpulkan data-data botani dan geografi.

Infografik Botani Hindia Belanda

Tonggak Kedua

Impian Reinwardt baru terlaksana sekira 1880-an, ketika Kebun Raya Buitenzorg dipimpin oleh Melchior Treub.

“Dia bukan hanya seorang ahli botani dan ilmuwan ulung, tetapi juga organisator dengan jiwa kepemimpinan hebat. Selama 25 tahun menjabat direktur, Kebun Raya Buitenzorg tumbuh jadi institusi yang sangat besar, menguasai hampir semua bidang botani, agrikultur, hortikultura dan zoologi,” tulis Went (hlm. 392).

Kala itu, tak ada yang menandingi kekayaan koleksi flora Kebun Raya Buitenzorg, membuat para ilmuwan berkunjung dan melakukan penelitian ke kebun raya. Itulah mengapa fokus Treub dalam dekade pertama kepemimpinannya adalah membangun legitimasi ilmiah kebun raya.

Treub kemudian membangun fasilitas laboratorium, herbarium, dan pusat data dan perpustakaan yang lengkap dan nyaman. Treub juga menghidupkan lagi corong ilmiah kebun raya yang sempat mati suri, Annales du Jardin Botanique de Buitenzorg.

Perlahan Treub memoles Kebun Raya Buitenzorg jadi pusat para botanis dunia. Jika dulu data-data botani dikirim ke Belanda untuk ditelaah, kini justru botanis Belanda yang memerlukan diri datang ke Buitenzorg untuk meriset.

“Ratusan botanis dari sepenjuru dunia berkunjung ke kebun raya. banyak dari mereka tinggal berbilang minggu hingga bulan untuk meneliti flora tropis. [...] Tabulasi pengunjung Laboratorium Treub menunjukkan bahwa sebagian besarnya adalah biolog asal Belanda,” tulis Went (hlm. 394).

Tak sia-sia, menjelang pergantian abad usaha-usaha Treub mulai menunjukkan hasil gemilang. Kerja-kerja Treub di Kebun Raya Buitenzorg berdampak pula pada fokus penelitian botani di koloni. Dewasa itu kepentingan ekonomi surut dan penelitian botani murni mulai mekar. Saat itu Kebun Raya Buitenzorg sudah menjadi sebuah lembaga riset flora tropis terpandang.

“Di bawah bimbingan Treub, Kebun Raya Buitenzorg berhasil menjadi sebuah pusat dalam lingkaran ilmu pengetahuan botani. Dasar kelembagaannya yang kukuh dan akses terhadap ilmu pengetahuan tropis dalam cakupan yang luas membuat iri para botanikus seluruh dunia,” tulis Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan (2011, hlm. 119).

Baca juga artikel terkait KEBUN RAYA BOGOR atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Maulida Sri Handayani