tirto.id - Tiga lukisan cat air berukuran 110 cm x 230 cm langsung membetot perhatian begitu saya memasuki Galeri Teras NuArt Sculpture Park, Sabtu (19/8). Tiga lukisan bertema bunga bangkai yang dipajang di sisi kiri ruang pamer itu adalah bagian dari pameran seni botani Ragam Flora Indonesia 4 “Spreading the Beauty of Nature”.
Di depan lukisan, sejumlah pengunjung antre bergiliran mengambil foto. Seorang perempuan berpakaian putih—dress code seniman peserta pameran—terlihat anteng melayani orang-orang yang mengajaknya bercengkerama.
“Mbak senimannya? Ini Rafflesia arnoldii, ya?”
Icka Gavrilla tersenyum menyambut uluran tangan saya. Terhadap pertanyaan pertama, ia mengiyakan. Sedangkan pada pertanyaan kedua, kepalanya menggeleng pelan. “Bukan, ini Titan Arum. Bunga bangkai raksasa.”
Di samping judul besar “Life Cycle of Titan(Part 1-3)”, Icka menerakan judul-judul kecil pada setiap lukisan: “Ruminate” untuk fase tumbuh sang Titan, “Divine” saat bunga mekar, dan “Solitude” ketika bunga berstatus rentan atau vulnerable (VU) itu terkulai.
Dengan judul-judul demikian, ketiga lukisan yang didominasi warna hijau kekuningan di bagian bonggol dan merah ati pada kelopak bunga, serta bintik-bintik putih pada bagian luarnya, bukan hanya terlihat sangat realis, tapi juga terkesan puitis.
“Saya melukis bunga bangkai ini sesuai ukuran sebenarnya,” ungkap Icka, saat saya bertanya mengapa ketiga lukisannya begitu besar dibandingkan 57 lukisan lain di ruang pamer.
Menurut Icka, keterampilannya melukis tetumbuhan baru didapat setelah dirinya bergabung dengan Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA) pada 2021. Sebelumnya, Icka yang sehari-hari bekerja sebagai desainer fesyen hanya rutin menggambar pakaian dan kartun. Perkara nomor dua ia tekuni sebagai hobi sejak belia.
“Mungkin ini hikmah pandemi, ya. Gara-gara bosan di rumah dan menggambar hal yang itu-itu saja, saya bertemu dengan IDSBA sehingga bisa mengembangkan keterampilan melukis tumbuh-tumbuhan. Ini pameran Ragam Flora Indonesia pertama saya bersama IDSBA,” ungkapnya.
Selain karya Icka, “Bambu Betung, Bambu Raksasa yang Multiguna” karya Karyono juga menarik perhatian saya.
Jika seri siklus kehidupan Titan arum menampilkan bunga yang sendirian sejak tumbuh hingga terkulai (latar putih yang dominan membuatnya kental dengan nuansa elegan, bahkan di hadapan kematian sebagaimana “Solitude”), karya Karyono justru latar dan objeknya begitu semarak merekam sekaligus merayakan renik-renik kehidupan.
Sepanjang sisi kiri dan sedikit di sudut kanan atas lukisan, daun-daun hijau segar bersilangan membentuk celah-celah yang berusaha diterobos cahaya dari kejauhan. Di tengah, bonggol rebung ungu tegak di antara tiga batang bambu serta ranting-ranting tipis yang kecoklatan. Garis-garis halus dan tebal pada ruas dan akar membuat lukisan bambu ini begitu nyata. Di latar depan, daun-daun tua berserakan.
Bagi orang kampung seperti saya, lanskap semacam itu bukanlah lanskap yang jauh. Dulu ia bisa ditemukan nyaris setiap hari di kebun belakang rumah. Kini, saat Karyono menyajikannya lewat sapuan cat air di atas kertas 42 x 54,5 cm, objek-objek yang sebetulnya akrab itu--yang sering kali malah dianggap mengganggu pemandangan lantaran terkesan sekadar belukar tidak terurus dan awut-awutan--justru menerbitkan keharuan.
Suguhan Interaktif Ourchetype
Tepat di depan tangga sebelum ruang pamer, belasan pengunjung berkerumun di hadapan booth sekaligus gerbang masuk “The Wander Plant” suguhan Ourchetype. Di ruang interaktif ini, pengunjung digiring untuk berjalan dari satu dinding ke dinding lain mengikuti berbagai instruksi. Di sesi akhir, pengunjung bakal kembali ke ruang pamer untuk memeriksa sejumlah karya yang digadang-gadang sesuai dengan kepribadian mereka.
“Ga salah lagi, kamulah Daun Kirinyuh, si botani pembangkang garis keras. Tumbuh di mana aja ga peduli kondisinya. Sambil pake mahkota bunga spiky ala rockstar, kamu bergerak dengan iramamu sendiri, bebaskaaann gengs!” bunyi keterangan yang saya baca pada sebuah tautan di layar ponsel, yang menyebut salah satu shadows dalam diri saya adalah Defiant, Si Ga Mau Diatur.
Di akhir slide, terbaca keterangan lainnya: “Hasil ini just for fun! Jangan dibawa ke hati yaa, bawa aja ketawa ;)”
Permainan interaktif ini mampu membawa kembali pengunjung ke ruang pamer untuk melihat lagi sejumlah karya dengan lebih saksama. Lukisan-lukisan yang sebelumnya luput diperhatikan karena hanya dilihat sekilas, terutama yang ukurannya kecil, bisa kembali dinikmati dan diperhatikan karena pengunjung mendatanginya lagi dengan penasaran.
Larut dalam permainan interaktif ini, saya kemudian menyadari betapa tanpa permainan warna sekalipun, “The Rain Tree of the Mountain” karya Ichsan Suwandhi memendam daya ungkap yang luar biasa.
Dengan pena dan pensil pada kertas 29,7 x 42 cm, garis-garis halus dan tipis yang bergelombang membentuk sisi daun nyatanya sanggup membuat lukisan mengenai Engelhardtia spicata Lechen ex Blume ini tampak begitu hidup dan dinamis.
Namun, absennya nama lokal pada setiap lukisan cenderung menyulitkan awam untuk mengenali tumbuh-tumbuhan yang menjadi objek lukisan. Tapi, itu persoalan lain dan bisa dibereskan dengan Googling.
Setia pada Akurasi
“Spreading the Beauty of Nature” adalah pameran keempat yang diselenggarakan oleh Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA), perhimpunan seniman botani pertama di Indonesia yang berdiri pada 2017.
Sebelumnya, IDSBA menggelar pameran di Kebun Raya Bogor (2018), Bale Banjar, Sangkring, Yogyakarta (2019), dan Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2022). Semua pameran, sebagaimana yang digelar di NuArt Sculpture Park, Bandung (2023), dikemas di bawah tema besar Ragam Flora Indonesia.
“Dalam setiap pameran Ragam Flora Indonesia (RFI), IDSBA selalu mengedepankan lukisan-lukisan mengenai tumbuhan spesies asli Indonesia, bukan hibrida atau kultivar buatan manusia, yang kadang sudah terancam punah,” ungkap Eunike Nugroho, salah seorang pendiri IDSBA, Sabtu (19/8).
Keke, sapaan Eunike, menekankan bahwa selain aspek estetika, unsur akurasi juga mutlak dimiliki para seniman botani.
Kurator pameran Fahmy Al-Giffari Siregar sepakat dengan pernyataan Keke. Menurutnya, akurasi adalah perkara yang membedakan seni botani dengan praktik kesenian lainnya. Di samping memiliki kecakapan teknis dan piawai mengolah komposisi pada bidang karya, akurasi mutlak melekat pada seni botani sebab seni jenis ini bertolak dari tradisi ilmiah.
Atas alasan itu pula aspek akurasi menjadi salah satu fokus penilaian juri saat menyeleksi ratusan karya yang disertakan dalam Open Call pameran keempat Ragam Flora Indonesia ini.
“Akurasi, keterampilan, komposisi, dan kekayaan informasi botani menjadi parameter utama dalam menilai, menginterpretasi, kemudian mengambil keputusan atas karya yang dipamerkan,” ungkap Fahmi, dalam catatan kuratorialnya.
Karya-karya yang dihadirkan pada pameran ini diseleksi secara ketat dan teliti oleh tiga juri dari tiga disiplin ilmu berbeda. Pendiri IDSBA Jenny A. Kartawinata memberi penilaian dari sudut pandang praktisi seni botani, peneliti BRIN Destario Metusala menilai karya lewat kacamata seorang botanikus, dan Fahmy Al Ghiffari Siregar menyeleksi karya dengan pendekatan seni rupa.
Menurut Fahmi, NuArt Sculpture Park terbuka melakukan kerja sama dengan IDSBA lantaran adanya kesamaan visi di antara kedua lembaga ini. NuArt sebagai kawasan memiliki tiga pilar program, seni, budaya, dan alam.
“Berangkat dari tiga pilar program ini, kami mengajak masyarakat untuk belajar dan mengalami berbagai ekspresi seni, mengenali dan memahami ragam budaya, serta menumbuhkan kesadaran akan pentingnya alam bagi manusia.”
Pameran seni botani Ragam Flora Indonesia 4 “Spreading the Beauty of Nature” memamerkan 60 karya dari 32 seniman, yang kebanyakan perempuan. Pameran yang disertai berbagai aktivasi (tur, lokakarya, seminar, Art Jam, Art Sale, dst) ini berlangsung hingga 1 Oktober mendatang.
Editor: Irfan Teguh Pribadi