Menuju konten utama

Nyiar Lumar: Mencari Cahaya Kebaikan di Astana Gede

Mulanya Nyiar Lumar bukan sekadar event, tapi gerakan yang dilakukan beberapa seniman dalam merespon isu nihilnya ruang publik di Kabupaten Ciamis.

Nyiar Lumar: Mencari Cahaya Kebaikan di Astana Gede
Nyiar Lumar 2022. (FOTO/Dok. Haris Nirwana)

tirto.id - Artikel sebelumnya: Nyiar Lumar: Festival Seni Tradisi, Respons Situasi Chaos 1998

Astana Gede Kawali punya luas kurang lebih 5 hektare. Dalam gelaran Nyiar Lumar 2022, ada lima area yang dijadikan panggung pertunjukan. Rungkun Haur, Paris 1, Mahoni, Paris 2, dan Pasanggrahan. Fahmi Marzochi, Ketua Pelaksana, menyebut bahwa nama-nama itu, kecuali Pasanggarahan, didasarkan pada jenis pepohonan yang berada di sekitar panggung.

“Nama pohon, Kang,” jawab Fahmi ketika saya bertanya tentang apa kepanjangan Paris 1 dan Paris 2.

Berjalan di tengah hutan, malam-malam pula, menikmati berbagai pertunjukan kesenian dengan aroma dupa menyeruak dari mana-mana memang pengalaman yang mungkin tiada duanya. Karena itulah Nyiar Lumar terasa istimewa.

Sementara berbagai seni buhun ditampilkan sepanjang Lalampahan, di sesi Magelaran justru konten seni kontemporer yang dominan: pembacaan puisi, tari, “pameran” seni rupa, hingga teater. Meski demikian, ada juga seni buhun lain yang ditampilkan di Magelaran, misalnya Tarawangsa dan Ronggeng Gunung. Omong-omong soal Ronggeng Gunung, kesenian asal Banjarsari Ciamis ini malah sudah identik dengan Nyiar Lumar.

“Gak sedikit orang datang ke Nyiar Lumar karena ingin nonton Ronggeng Gunung, puncak acara. Dari dulu formatnya selalu sama: orang-orang berjalan menyusuri Astana Gede, sepanjang jalan ada beberapa panggung pertunjukan. Terakhir di sini, di Pasanggarahan, anak-anak sekolah atau mahasiswa akan mementaskan teater kolosal mengenai Palagan Bubat. Setelah itu barulah api unggun dan Ronggeng Gunung Bi Raspi. Peserta dari jauh biasanya pada kepingin ngibing sampai pagi,” beber Wida Waridah.

Pada gelaran Nyiar Lumar 2022: Ngaruat Jagat, kelompok Teater Tangtu Tilu dari Universitas Galuh Ciamis didapuk membawakan lakon Sidomakta ning Bubat karya Hadi AKS. Siasat sutradara Jaro X-Yus memasang kain putih besar dan menjadikannya serupa kelir pada pertunjukan wayang kulit membuat aspek artistik pada pertunjukan ini benar-benar memanjakan penonton secara visual.

Merespon Ruang Publik dan Detik-detik Reformasi 1998

Godi Suwarna menuturkan, pada mulanya Nyiar Lumar bukan sekadar event, tapi gerakan yang dilakukan beberapa seniman dalam merespons isu nihilnya ruang publik di Kabupaten Ciamis. Warsa 1997-1998, pemerintah Kabupaten Tasikmalaya membangun gedung kesenian. Beberapa seniman Ciamis cemburu, menghendaki hal yang sama terjadi di kota mereka. Menyikapi itu, Godi Suwarna dan sejawatnya dari Teater Jagad—antara lain Dadang M. Rochlik dan Pandu Radea—berpikir bahwa lebih baik membuat acara kesenian ketimbang mendorong pemerintah membangun gedung kesenian.

“Kalau bikin acara di gedung kan pasti begitu-begitu saja. Gak ada yang aneh, dan belum tentu setelah gedung dibangun para seniman bisa merawatnya. Nah, karena di Kawali ada Astana Gede, situs tempat dilantik dan dimakamkannya raja-raja Sunda, kenapa gak bikin acara di sana saja? Narasi sejarahnya kuat,” beber Godi.

Nyiar Lumar 2022

Nyiar Lumar 2022. (FOTO/Dok. Haris Nirwana)

Ide bikin kegiatan di Astana Gede juga muncul dari kebiasaan anak-anak Teater Jagad melalukan camping di Situ Lengkong, Panjalu, kurang lebih 15 kilometer di utara Kawali. Mulanya memang acara camping belaka, kemudian konten kesenian menjadi bagian penting di dalamnya: peserta harus menampilkan sebuah pertunjukan.

“Saat Nyiar Lumar pertama dilaksanakan, 20 Mei 1998, anak-anak teater dibagi menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok menampilkan satu pertunjukan. Jadi, di awal itu pengisi acaranya full anak sekolah, walau kemudian datang beberapa seniman dari luar daerah. Di Nyiar Lumar kedua, baru kami undang Ronggeng Gunung dari Banjarsari. Kelompok ini selalu tampil sampai Nyiar Lumar kali ini,” sambung Godi.

Tentang dipilihnya Hari Kebangkitan Nasional sebagai momentum Nyiar Lumar yang pertama, Godi menerangkan keputusan itu tak bisa dilepaskan dari situasi Indonesia menjelang tumbangnya Orde Baru. Secara harfiah, Nyiar Lumar artinya mencari jamur yang bercahaya—jamur yang di musim-musim tertentu memang tumbuh subur di area Astana Gede.

Secara metaforis, kegiatan ini bisa diartikan sebagai ikhtiar mencari cahaya kebaikan dari para leluhur. Astana Gede adalah wilayah sakral bagi Kerajaan Galuh. Selain makam, di situs itu ditemukan juga berbagai prasasti dan Batu Palinggih atau Batu Palangka—batu tempat dilantiknya raja-raja Sunda-Galuh.

Godi menerangkan, pihaknya sengaja mengajak orang-orang menepi ke astana (kuburan) justru ketika sebagian orang, terutama mahasiswa, bertekad pergi ke Jakarta menuntut Soeharto mundur.

“Maksudnya, dalam situasi chaos pada 1998, panitia mengajak orang-orang untuk berkontemplasi ke Astana Gede lewat kegiatan Nyiar Lumar. Merenungi perjuangan para karuhun Sunda yang tetap bisa melanjutkan Kerajaan Galuh meski rajanya meninggal di Bubat. Eh, yang datang pada senang, kemudian minta diulang lagi tahun berikutnya. Akhirnya diputuskan, ini bakal jadi kegiatan rutin dua tahunan, seperti biennale,” tutur Godi.

Nyiar Lumar 2022

Nyiar Lumar 2022. (FOTO/Dok. Haris Nirwana)

Membuat acara kesenian di tengah tensi politik yang tengah meninggi bukanlah perkara mudah. Godi mengakui, saat penyelenggara meminta izin kepada pihak yang berwenang, Komandan Koramil Kawali mewanti-wanti agar isi acara tidak sedikit pun menyinggung pemerintah.

“Jika ada kritik terhadap penguasa, semua yang terlibat bakal ditangkap,” ungkap Godi, menirukan ultimatum Danramil Kawali.

Terkait peringatan itu, Godi dan penyelanggara lainnya hanya mengkondisikan anak-anak Teater Jagad untuk fokus pada materi pertunjukan. Situasi mendadak menjadi pelik ketika sejumlah mahasiswa dan aktivis dari Bandung yang baru pulang mengikuti demontrasi di lapangan Gasibu ujug-ujug datang ke Astana Gede.

Ayi Kurnia Iskandar, misalnya. Aktor dan pembaca puisi ulung dari IKIP Bandung ini datang ke Kawali dengan ikat kepala bertuliskan ‘Reformasi’. Dengan tangan terkepal yang barang sebentar teracung ke udara, Ayi juga menularkan semangat yang sama kepada anak-anak Teater Jagad yang masih SMA.

“Sampai-sampai ada satu anak bagian konsumsi yang pas datang membawa liwet dari jauh sudah teriak-teriak ‘Turunkan Soeharto! Turunkan Soeharto.’ Asli, saya degdegan takut kedengaran intel,” kenang Godi, seniman yang sering dianggap dukun karena penampilannya yang nyentrik: rambut putih-panjang, ke mana-mana mengenakan pangsi, selendang, dan ikat kepala.

“Syukurlah,” sambungnya, “ketika keesokan harinya kami keluar dari Astana Gede sebab izin kegiatan cuma sampai malam tapi karena takut ditangkap maka kami putuskan untuk menginap, Pak Harto sudah lengser.”

Baca juga artikel terkait FESTIVAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono