Menuju konten utama

Nyiar Lumar: Festival Seni Tradisi, Respons Situasi Chaos 1998

Nyiar Lumar adalah festival seni tradisi dua tahunan yang digelar di Astana Gede Kawali, berlangsung sejak 1998.

Nyiar Lumar: Festival Seni Tradisi, Respons Situasi Chaos 1998
Nyiar Lumar 2022. (FOTO/Dok. Haris Nirwana)

tirto.id - Halaman kantor Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, semarak betul Sabtu (24/12) itu. Parkiran penuh. Cahaya lilin bertebaran menerangi lapak-lapak meja dagangan. Gerombolan remaja, muda-mudi berpasangan hingga para orang tua yang mengasuh anak-anaknya, terlihat sumringah mendekati panggung pertunjukan.

Lewat Isya, di panggung yang merah temaram, kelompok musik Ki Pamanah Rasa membawakan pupujian atau nadoman. Biasanya, syair-syair Islami dalam bahasa Sunda itu dilantunkan di mesjid-mesjid kampung menjelang solat lima waktu, bukan di panggung kesenian.

Menyaksikan penampilan Ki Pamanah Rasa, bulu-bulu halus meremang di tangan dan tengkuk saya. Syairnya, peringatan bahwa orang yang meninggalkan solat dengan sengaja akan dicemplungkan ke neraka Jahanam, membangkitkan potongan ingatan dari masa kanak yang jauh. Komposisi musiknya, nada-nada pentatonik yang bersahutan dengan petikan gitar—pengiring sang vokalis melantunkan syair dengan gaya merapal rajah—membuat pupujian di panggung itu terdengar ganjil tapi sekaligus betah didengar.

“Ini sesi Ngawalan terakhir. Dua sesi Ngawalan pertama yang juga diisi berbagai pertunjukan, termasuk helaran budaya keliling Kawali, berlangsung bada zuhur hingga menjelang magrib. Sekarang masih ada beberapa pertunjukan lagi sambil menunggu bupati, lanjut Lalampahan menuju Astana Gede,” ujar Willy Fahmi Agiska, salah seorang panitia Nyiar Lumar 2022.

Nyiar Lumar adalah festival seni tradisi dua tahunan yang digelar di Astana Gede Kawali, berlangsung sejak 1998. Sebelum menjadi ikon kegiatan daerah dan berhasil menarik banyak seniman untuk ambil bagian, kegiatan yang digagas oleh Dadang M. Rochlik, Godi Suwarna, dan Pandu Radea ini diramaikan oleh anak-anak Teater Jagad SMA 1 Kawali.

“Sekarang mah santai dulu, yah. Nikmati dulu acaranya. Setelah beres, baru wawancara, okeh?” ungkap penyair Godi Suwarna ketika saya menghampirinya di sisi kanan kantor kecamatan.

Pukul 20.00, gerimis turun saat Tari Arjuna & Somantri ditampilkan di tengah lapangan, bukan di panggung. Menariknya, orang-orang lebih memilih untuk menepi di bawah pohon beringin ketimbang pulang atau membubarkan diri. Lantaran membawa laptop dalam tas, saya bergerak ke belakang panggung, berteduh di bawah tenda terpal yang juga menjadi tempat penyimpanan properti Bebegig Sukamantri. Saat saya meregangkan punggung, Godi Suwarna mondar-mandir sambil sesekali menengadahkan wajah dan telapak tangannya ke langit yang murung.

“Memang gak pakai pawang hujan, Kang?”

Suara saya tertelan ritmik gerimis dan riuh tepuk tangan kedengaran dari arah lapangan.

Lalampahan dan Magelaran

Haris Nirwana, mahasiswa program studi Antropologi Budaya Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) anteng-anteng belaka menyaksikan seluruh rangkaian acara Nyiar Lumar malam itu. Dari panggung Ngawalan di lapangan kantor kecamatan, berjalan 1,5 kilometer mengikuti Lalampahan, kemudian menyambangi semua panggung di Astana Gede dalam sesi Magelaran, senyum dan stamina Haris tak habis-habis—beda nasib dengan gerimis.

Pengunjung lain juga menampakkan antusiasme yang serupa, sebenarnya. Bedanya, Haris baru tiba dari Bandung setelah menempuh perjalanan nyaris lima jam dan setibanya di Kawali ia belum sedikit pun beristirahat sampai Nyiar Lumar selesai menjelang pukul 04.00.

“Saya baru melihat ada festival dengan kemasan seperti ini. Acara dan suasananya benar-benar asyik. Semua kontennya bisa jadi bahan ajar buat pelajaran seni tradisi dan sejarah,” komentar Haris.

Nyiar Lumar 2022

Nyiar Lumar 2022. (FOTO/Dok. Haris Nirwana)

Saya yang dari Tasikmalaya sependapat dengan Haris yang asal Cilegon. Sepanjang Lalampahan, tim pembawa obor berjalan paling depan diiringi kelompok Bebegig Sukamantri dan Munding Ki Bowang. Peserta Nyiar Lumar yang datang dari berbagai daerah berbaur dengan penduduk setempat berjalan di belakang arak-arakan.

Jika bentuk dan tampilan Bebegig Sukamantri terlihat mirip Leak Bali, tampilan Munding Ki Bowang mengingatkan saya pada Barongsai. Bedanya, aksi Munding Ki Bowang tidaklah se-ekspresif barongsai—toh ia bukan tarian—sedangkan kostum dan penampakannya dibikin menyerupai kerbau, bukan naga.

Kesan bahwa Nyiar Lumar adalah festival yang digandrungi warga sekaligus hajat rakyat tidak hanya terlihat dari membludaknya jumlah pengunjung. “Kalau penonton di kecamatan dan di Astana Gede digabungkan, jumlahnya mungkin lebih dari seribu orang,” ungkap Wida Waridah, sekretaris panitia. Bagi kegiatan yang digelar di lapangan kantor kecamatan (dan acara intinya berlokasi di area Kabuyutan), angka seribu orang sangatlah besar.

Di sepertiga terakhir jalur Lalampahan, peserta disuguhi berbagai pertunjukan seni buhun yang masih lestari, kebanggaan warga setempat. Di Kampung Goropak, misalnya, sekelompok ibu-ibu menampilkan Gondang dan Tutunggulan. Beberapa puluh meter kemudian, sekelompok ibu-ibu yang lain asal Kampung Banjarwaru berdiri di kanan-kiri jalan menyambut peserta Lalampahan dengan pertunjukan Genjing Ronyok.

Melewati mereka, saya terkenang pada kisah pulangnya kaum muslimin dari Perang Badar (juga momen-momen ketika rombongan pengantin pria menyambangi keluarga mempelai wanita dalam beberapa tradisi pernikahan di Indonesia), mengingat unsur solawatnya demikian kentara: dilantunkan begitu merdeka di antara tetabuhan yang bunyinya menyerupai rebana.

Belum surut rasa takjub, di depan gerbang Astana Gede penonton bejibun menyaksikan Tari Bubuka Lawang yang dibawakan para penari dari Studio Titikdua Ciamis. Saat memasuki Astana Gede, sekelompok laki-laki sepuh dari kelompok Putra Sawargi duduk di panggung rendah memainkan Gembyung Buhun. Saking besarnya minat penonton, tak sedikit lelaki dewasa yang rela berdesak-desakkan sambil mendudukkan anak-anak di pundak mereka. Ikhtiar sungguh-sungguh untuk menikmati berbagai suguhan langka dan berharga.

Nyiar Lumar 2022

Nyiar Lumar 2022. (FOTO/Dok. Haris Nirwana)

Jika festival seni seolah tak bisa lepas dari urusan listrik, paling tidak untuk urusan sound dan lighting, Nyiar Lumar adalah anomali. Di venue utama area Astana Gede, pencahayaan mengandalkan damar sewu, obor yang ditata sedemikian rupa. Seluruh panggung dan instalasi dibikin dari bambu, ditambah sentuhan artistik kain putih panjang-lebar untuk umbul-umbul dan backdrop, dipasang dari pohon ke pohon.

Dalam perkara suara, para penampil tak perlu cemas kalau-kalau tanpa mikrofon suara mereka tak kedengaran oleh penonton. Sepengalaman saya, bahkan pembacaan puisi yang biasanya terkesan kurang menarik (karenanya wajar belaka kalau orang-orang menanggapinya sambil lalu), di Nyiar Lumar justru disikapi para penonton dengan khusyuk.

Di Lapak Panyajak yang berada di area Mahoni, ketika kelompok Mugi Dance Studio asal Sukaharjo menampilkan sebuah komposisi tari dengan sisipan larik-larik puisi dalam bahasa Jawa, penonton menyaksikannya dengan kesungguhan yang sama sebagaimana ketika Jesicca, seorang siswi SMP asal Banjar Patroman, membacakan puisi berbahasa Sunda karya Godi Suwarna. Pendek kata, di Nyiar Lumar pertunjukan baca puisi seperti kembali menemukan marwahnya.

Bersambung...

Baca juga artikel terkait FESTIVAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono