Menuju konten utama

Mengenal IDSBA dan Praktik Seni Botani di Indonesia

Akar seni botani di Indonesia bermula pada 1927 saat dua illustrator lokal membantu pakar botani Belanda yang mendokumentasikan berbagai jenis tumbuhan.

Mengenal IDSBA dan Praktik Seni Botani di Indonesia
Katalog Pameran Ragam Flora Indonesia karya anggota IDSBA. FOTO/Tim Dokumentasi Pameran Ragam Flora Indonesia

tirto.id - Circa 2012-2013, Eunike Nugroho mencari pelaku dan komunitas seni botani di Indonesia via internet. Kala itu, Keke, sapaan Eunike, tinggal di Inggris menemani suaminya melanjutkan studi. Di Sheffield, kota kecil tempat mereka bermukim, Keke mendapati dua komunitas seni botani. Dari komunitas itulah perkenalan dan minat Keke terhadap seni botani bermula.

“Pengelola taman botani mewadahi komunitas untuk melukis tumbuhan yang mereka koleksi. Mereka selalu mengajak kerja sama dengan komunitas, tidak dengan seniman individu,” ungkap Keke kepada Tirto, Agustus lalu.

Pencarian terhadap pelaku dan komunitas seni botani sebelum pulang ke tanah air dilakukan Keke untuk membangun jejaring dengan orang-orang yang punya hobi dan minat serupa. Sebagai warga dari negara dengan biodiversitas terbesar kedua di dunia, Keke berpikir bahwa di Indonesia komunitas semacam itu mestilah ada.

“Di Inggris, negara yang kekayaan tumbuhannya tidak sebanyak Indonesia, melukis tumbuhan telah menjadi semacam tradisi yang berlangsung lama,” sambungnya.

Usaha Keke tak ubahnya dengan ikhtiar menemukan seutas benang di tumpukan jerami. Muskil belaka.

“Kalaupun ada, yang muncul adalah lukisan botani mengenai tumbuhan Indonesia yang dilukis seniman Inggris atau Belanda, bukan sosok seniman atau komunitas seni botaninya.”

Itulah secuplik kisah yang kemudian menggerakkan Keke—bersama Jenny A. Kartawinata—untuk mendirikan Indonesian Society of Botanical Artist (IDSBA) pada 2017. Selain berjejaring, komunitas ini punya impian mendokumentasikan kekayaan botani Indonesia.

Pameran Ragam Flora Indonesia

Seorang pengunjung pameran melewati karya-karya seni botani Ragam Flora Indonesia, Sabtu (19 Agustus 2023). FOTO/Tim Dokumentasi Pameran Ragam Flora Indonesia

“Kalau gak didokumentasikan, orang-orang gak bakal tahu kita punya tumbuhan apa saja,” ujar Keke.

Seni botani bisa diartikan sebagai salah satu genre seni lukis yang memadukan kajian botani yang erat kaitannya dengan publikasi ilmiah, dengan praktik seni lukis yang kerap kali menekankan aspek rasa (feel) dan kepengrajinan (craftmanship).

Dalam catatan penjurian pameran Ragam Flora Indonesia #4 Spreading the Beauty of Nature, peneliti BRIN Dr. Destario Mestusala, M.Sc menyoroti beberapa beberapa praktik seni botani yang dilakukan para seniman. Antara lain, mengkonstruksi morfologi tetumbuhan dari berbagai sudut pandang, merekam berbagai bentuk organ (akar, cabang, batang, daun, buah, dan biji), serta memperlihatkan berbagai fase perkembangan organ-organ tertentu, seperti fase perkembangan bunga dari kuntum hingga mekar.

Pendek kata, para seniman botani dituntut menyajikan informasi visual mengenai botani sedetail mungkin.

Akar Seni Botani di Indonesia

Jika Keke belajar seni botani dari komunitas di Shieffiled, pendiri IDSBA lainnya, Jenny A. Kartawinata, mempelajari seni yang identik dengan corak realis ini dari ahli ilustrasi di Herbarium Bogoriense, Bogor.

Salah satu sumbangan pentingnya bagi dunia seni botani di Indonesia adalah menerjemahkan karya Mountain Flora of Java karya Cornelis Gijsbert Gerrit Jan (C.G.G.J) van Steenis. Salah satu buku babon mengenai ragam botani Nusantara itu mula-mula terbit di Leiden, Belanda, pada 1972. Selang 34 tahun kemudian, versi terjemahannya terbit di Indonesia.

“Edisi Bahasa Indonesianya berjudul Flora Pegunungan Jawa, pertama kali terbit pada tahun 2006, kemudian cetak ulang pada 2o2o,” ungkap Jenny kepada Tirto.

Jenny menjelaskan, Mountain Flora of Java menghimpun 459 jenis tumbuhan pergunungan Jawa, diuraikan berdasarkan pengamatan lapangan yang cermat dan menyeluruh. Baik dari sisi ekologi, geologi, etnologi, biologi serta dari aspek-aspek lainnya yang beririsan dengan tetumbuhan.

Di mata Jenny, selain ilustrasinya yang menawan, kekuatan karya van Steenis ini ada pada teknik penyajiannya yang cair, ringan, penuh perasaan, kadang-kadang puitis dan filosofis, tanpa mengurangi bobot ilmiahnya.

“Saya berusaha membacanya lebih cermat dan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia tanpa mengubah karakter penyajiannya yang ringan, mengalir, dan ramah pembaca. Perlu waktu kira-kira sembilan tahun agar terjemahan The Mountain Flora of Java siap dimanfaatkan para pembaca di Indonesia,” lanjut Jenny.

Pameran Ragam Flora Indonesia

Suasana Ruang Pamer Pameran Ragam Flora Indonesia, Sabtu (19 Agustus 2023). FOTO/Tim Dokumentasi Pameran Ragam Flora Indonesia

Pada 1927, van Steenis, pakar botani kelahiran Belanda bertugas di Lands Plantentuin Buitenzorg (Kebun Raya Bogor) dan Herbarium Bogoriense. Ia berupaya mengamati dan meneliti tetumbuhan di kawasan pergunungan Jawa. Dalam usahanya mendokumentasikan berbagai jenis tumbuhan, ia dibantu dua illustrator lokal Amir Hamzah dan Muhamad Toha.

Dalam The Mountain Flora of Java, karya-karya kedua orang tersebut membuktikan: di tengah kelaziman membuat karya seni botani dengan pensil dan pena, mereka justru piawai menggunakan cat air.

“Gambar-gambar yang disajikan dengan serba keterbatasan masa lalu itu bagaikan bicara dengan ‘rasa’,” lanjut Jenny.

Ditanya apakah Jenny (juga IDSBA) punya keinginan menerbitkan buku serupa, seniman botani kelahiran Banyumas, 2 Mei 1945 ini memberi jawaban mantap. “Tentu saja.”

Apalagi, sambung Jenny, dalam bab Pengantar Flora Pegunungan Jawa, Prof. van Steenis menulis bahwa dirinya “hanya dapat berharap agar sajian ini menghibur secara ilmiah dan memicu penelitian lebih lanjut.”

Satu dasawarsa lalu, mencari seniman atau komunitas botani di Indonesia bukanlah perkara mudah. Namun, bukan berarti praktiknya sama sekali tidak ada. Pada awal abad ke-20, nama-nama seperti Amir Hamzah, Muhamad Toha, Soekirno, M. Anwar, Damhuri, Iskak, B. Subari, A. Satiri, dan Priyono tercatat sebagai pelaku seni botani di Hindia Belanda.

Sebelum mereka, seni botani hadir lewat goresan Natadipoera, Soemawinata, Kromohardjo, Mangoendimedjo, Samadi, Joedo, Risman, Ranoewidjojo, Tirtokoesoemo, Sosrowikromo, Djajaatmadja, dan lain-lain.

Meski tidak mendaku sebagai seniman, melainkan petugas gambar di institusi-institusi ilmiah bentukan pemerintah kolonial, nama mereka layak dicatat sebagai akar praktik seni botani di negeri ini.

“Hampir semua karya mereka dapat ditemukan dalam berbagai terbitan ilmiah botani lawas yang kini sudah menjadi warisan ilmiah antikuariat, menyajikan rekaman tetumbuhan tropik Nusantara yang lengkap dan memukau,” ungkap Eunike Nugroho.

Lebih Inklusif & Kolaboratif

Dulu, seni botani terbilang ekslusif, pelaku dan peminatnya terbatas di kalangan ilmiah atau lingkungan kerajaan. Juga didominasi laki-laki. Belakangan, seni botani lebih inklusif, pelaku dan penikmatnya datang dari latar belakang yang beragam, ditunjang saluran publikasi yang amat variatif.

“Sekarang, tampilan seni botani tidak hanya hadir di jurnal atau buku ilmiah, tapi juga cocok untuk menjadi dekorasi rumah, kemasan, fesyen, dan berbagai desain produk. Mungkin alasan itu pula yang membuat seni botani kemudian berkembang, apalagi bagi orang yang suka menggambar dan berkegiatan di alam, seni botani bisa menjadi jembatan bagi kedua minat tersebut,” ungkap Keke, sosok kelahiran Semarang, 42 tahun lalu.

Di IDSBA, anggotanya tidak hanya para seniman rupa dan orang tua, tapi juga mahasiswa biologi, praktisi hukum, hingga anak SMP. Dan kebanyakan perempuan.

Infografik Seni Botani

Infografik Seni Botani. tirto.id/Quita

Keanggotaan IDSBA terbuka, tidak terbatas hanya bagi mereka yang gemar melukis atau menyenangi seni rupa. Anggota yang tidak punya keterampilan melukis, misalnya, dapat diberdayakan untuk mengisi pos-pos kebutuhan lain komunitas seperti menjadi narasumber mengenai tetumbuhan, mengelola projek pameran, hingga “memberi kuliah” bagi para anggota perihal Hak Kekayaan Intektual (HAKI) dan semacamnya.

“IDSBA mewadahi berbagai kemampuan dan pemikiran, termasuk mengajari seniman agar hak ciptanya tidak dilanggar, juga jangan sampai mereka melanggar hak cipta orang lain,” pungkas Keke.

Kepada Tirto, Ketua IDSBA Grace Syiariel menjelaskan, salah satu program yang dilakukan komunitasnya adalah berkolaborasi dengan organisasi seni, bisnis, sains dan konservasi. Adapun gelaran pameran Ragam Flora Indonesia (RFI), agenda rutin tahunan IDSBA, tetap ia pertahankan. Teranyar, dengan tema “Spreading the Beauty of Nature”, FLI #4 digelar di NuArt Gallery, Bandung.

Sebelum berpameran di NuART, IDSBA juga menerima tawaran kolaborasi dari beberapa pihak, antara lain Keraton Yogyakarta dan Kebun Raya Bogor.

Keraton Yogyakarta meminta anggota IDSBA untuk melukis tumbuh-tumbuhan yang penting bagi keraton. Sementara Kebun Raya Bogor menggandeng IDSBA untuk membikin Pekan Seni Botani tepat pada perayaan ulang tahun mereka yang ke-206.

Sedangkan di tataran global, Grace menyampaikan bahwa komunitasnya mendapatkan tawaran kerja sama dari sejumlah lembaga, salah satunya American Society of Botanical Artist. “Mereka mengajak IDSBA menjadi bagian dari pameran seni botani sedunia (Botanical Art Worldwide) tahun 2025 mendatang.”

Dengan capaian demikian, hasil kerja IDSBA sudah lebih dari kelihatan. Pada gelaran G20 beberapa waktu lalu, misalnya, karya-karya anggota IDSBA dilisensi dan dijadikan merchandise kegiatan.

“Kami rutin mengadakan challenge dan workshop untuk para anggota agar mereka semakin termotivasi mengembangkan kemampuannya,” pungkas Grace.

Baca juga artikel terkait BOTANI atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Irfan Teguh Pribadi