tirto.id - Bom bunuh diri ISIS menyerang masjid yang dipenuhi jamaah Muslim Syiah di Afghanistan utara pada Jumat lalu. Setidaknya insiden itu menewasan 46 orang dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Ini adalah tantangan baru untuk Taliban dalam hal keamanan setelah mereka mengambil alih negara itu pada Agustus lalu.
AP News melaporkan, afiliasi ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu dengan menargetkan Syiah dan Taliban karena kesediaan mereka mengusir orang Uygher untuk memenuhi tuntutan China. Pernyataan itu disampaikan kantor berita Aamaq yang terkait dengan ISIS.
Bom yang menghancurkan masjid di kota Kunduz selama salat Jumat itu termasuk dalam serangkaian pemboman dan penembakan ISIS yang menargetkan penguasa baru Taliban di Afghanistan.
Ledakan itu menghancurkan jendela dan menghanguskan langit-langit. Tim penyelamat membawa satu mayat dengan tandu dan satu lagi dengan selimut. Menurut keterangan Hussaindad Rezayee, seorang warga di daerah itu, ketika mendengar ledakan itu, ia bergegas ke masjid, tetap saat salat dimulai.
“Saya datang untuk mencari kerabat saya, masjid sudah penuh,” katanya.
Sementara itu, Aljazeera melaporkan, dalam sebuah pernyataan yang dirilis di Telegram, kelompok ISIS-K di Provinsi Khorasan mengatakan, seorang pembom bunuh diri "meledakkan rompi peledak di tengah kerumunan" jamaah Syiah yang berkumpul di dalam masjid.
Ada laporan yang berbeda tentang jumlah korban. Menurut misi PBB untuk Afghanistan, ledakan itu setidaknya menewaskan dan melukai 100 orang. Sedangkan menurut wakil kepala polisi untuk provinsi Kunduz, Dost Mohammad Obaida, setidaknya 100 orang tewas atau terluka sembari menambahkan: "sebagian besar dari mereka telah tewas."
“Saya meyakinkan saudara-saudara Syiah kami bahwa Taliban siap untuk memastikan keselamatan mereka,” kata Obaida. Ia menambahkan, penyelidikan sedang berlangsung.
Sementara itu, Kantor Berita Bakhtar yang dikelola pemerintah mengatakan sedikitnya 46 orang tewas, sementara lebih dari 140 orang terluka di dalam masjid di daerah Khan Abad di kota Kunduz.
Taliban Bertemu Amerika
Di sisi lain, CNN melaporkan, Delegasi Amerika Serikat bertemu dengan perwakilan senior Taliban dari Kabul di Doha, Qatar, kata seorang pejabat Departemen Luar Negeri. Ini adalah pertemuan pertama sejak AS menarik pasukannya dari Afghanistan pada akhir Agustus.
"Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari keterlibatan pragmatis dengan Taliban pada isu-isu kepentingan nasional vital AS," kata pejabat itu kepada CNN.
Sementara itu, Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan, mereka akan melakukan diskusi terperinci dengan delegasi Amerika di Doha, "dan diskusi ini berlanjut sepanjang hari hari ini dan juga besok."
“Dalam pertemuan ini juga dilakukan diskusi tentang bantuan kemanusiaan dan diskusi ini akan terus berlanjut,” kata Mujahid.
Bloomberg melaporkan, penguasa baru Taliban menghadapi serangkaian masalah ekonomi seperti pasokan uang yang ketat, meningkatnya isolasi internasional, sehingga menyebabkan pekerja tidak dibayar, membuat perusahaan lokal gulung tikar dan bank membatasi penarikan.
Belum lagi ancaman pemutusan listrik di Kabul karena belum membayar tagihan. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah situasi ini akan memperburuk kekurangan pangan dan mendorong harga barang-barang pokok menjadi meningkat pesat. Hal tersebut diprediksi akan memicu krisis ekonomi dan kemanusiaan yang lebih luas.
Anggota dewan bank sentral Afghanistan yang saat ini berada di AS, Shah Mehrabi memperkirakan, dolar turut menyumbang sekitar dua pertiga dari simpanan dalam sitem perbankan dan setengah dari semua pinjaman.
“Dolarisasi masih lazim di Afghanistan, dan ekonomi kita bergantung padanya,” katanya.
Masalah lainnya adalah saat ini AS belum mengakui Taliban sebagai otoritas yang sah di Afghanistan. Hal itu disebabkan oleh kekhawatiran AS terkait keterlibatan dalam terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia.
Di sisi lain, Taliban kehilangan akses lebih dari 9 miliar dolar AS cadangan bank sentral setelah pemerintahan Joe Biden membekukan aset.
Editor: Iswara N Raditya