tirto.id - Afghanistan sedang mengalami krisis keuangan sehingga turut melumpuhkan perekonomian yang memang sudah lemah. Masalah ini terjadi hanya beberapa minggu setelah pasukan Amerika Serikat menarik diri dan kekuasaan berpindah ke tangan kelompok Taliban.
Bloomberg melaporkan, penguasa baru Taliban menghadapi serangkaian masalah ekonomi seperti pasokan uang yang ketat, meningkatnya isolasi internasional, sehingga menyebabkan pekerja tidak dibayar, membuat perusahaan lokal gulung tikar dan bank membatasi penarikan.
Belum lagi ancaman pemutusan listrik di Kabul karena belum membayar tagihan. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah situasi ini akan memperburuk kekurangan pangan dan mendorong harga barang-barang pokok menjadi meningkat pesat. Hal tersebut diprediksi akan memicu krisis ekonomi dan kemanusiaan yang lebih luas.
Anggota dewan bank sentral Afghanistan yang saat ini berada di AS, Shah Mehrabi memperkirakan, dolar turut menyumbang sekitar dua pertiga dari simpanan dalam sitem perbankan dan setengah dari semua pinjaman.
“Dolarisasi masih lazim di Afghanistan, dan ekonomi kita bergantung padanya,” katanya.
Masalah lainnya adalah saat ini AS belum mengakui Taliban sebagai otoritas yang sah di Afghanistan. Hal itu disebabkan oleh kekhawatiran AS terkait keterlibatan dalam terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia.
Di sisi lain, Taliban kehilangan akses lebih dari 9 miliar dolar AS cadangan bank sentral setelah pemerintahan Joe Biden membekukan aset.
Taliban Batasi Penarikan Uang
Untuk menghemat cadangan yang tersisa, Taliban pun menggunakan kontrol modal dan membatasi penarikan bank hingga 200 dolar AS per minggu.
Kendati demikian, beberapa warga di Kabul sudah menjual furnitur dan barang-barang rumah tangga di pasar loak untuk mengumpulkan uang.
“Krisis likuiditas memburuk, dan banyak bank tidak mampu membayar deposan,” kata Ahmad Khesrow Zia, mantan CEO Bank-e-Millie Afghan—bank tertua di negara itu—sekarang menjadi profesor ekonomi di sebuah perusahaan swasta dan universitas di Kabul.
Seorang montir mobil di Kabul bernama Haleem Gul juga mengatakan, hampir tidak ada pelanggannya yang memiliki uang untuk membayar perbaikan. “Uang tunai benar-benar hilang,” katanya.
Sementara Jawed Mehri, yang memiliki pabrik permadani di kota utara Mazar-e-Sharif, mengatakan dia harus menghentikan operasinya karena tidak ada uang tunai untuk membayar gaji. Batas penarikan “dapat membantu bank berjalan untuk beberapa waktu,” katanya. "Tapi itu akan membunuh bisnis kami dan mungkin semua orang di sepanjang jalan."
NPR melaporkan, perekonomian Afghanistan juga memburuk. Dengan gaji yang tidak dibayar dan itu memaksa keluarga mengencangkan pinggang untuk bertahan hidup. Afghanistan termasuk dalam salah satu negara termiskin di dunia, ditambah lagi pandemi Covid-19 yang membuat negara itu tertatih-tatih untuk berjuang dalam membenarkan persoalan ekonomi.
Pertempuran yang terjadi selama beberapa tahun terakhir dan ketidakpastian juga membuat investor gelisah. Di tahun ini, tekanan keuangan dan kekeringan juga turut menambah kesengsaraan Afghanistan.
Belum lagi kasus Taliban yang mengambil alih negara itu pada pertengahan Agustus lalu. John Ruwitch dari NPR mengatakan, negara itu "menciptakan badai yang sempurna dan berada di ambang malapetaka."
Editor: Iswara N Raditya