tirto.id - Pengalaman perempuan pertama kali menstruasi jamak dipenuhi rasa takut dan kikuk. Menstruasi dianggap sebagai hal tabu, sehingga tak jarang perempuan merasa malu ketika harus membicarakannya di depan umum. Edukasi menstruasi sebagai siklus biologis yang wajar terjadi belum menjadi lumrah.
Air muka dua remaja laki-laki tampak kaget ketika membuka isi sebuah bungkusan putih kecil yang disodorkan pada mereka. Ada kesan canggung dan segan saat mereka ditanya mengenai fungsi benda tersebut.
“Pembalut, buat....” kata salah seorang dari mereka, tersipu, tak meneruskan kalimatnya.
Ternyata respons malu-malu tak hanya diperlihatkan remaja laki-laki saat membicarakan menstruasi. Mimik serupa juga diperlihatkan teman perempuan mereka saat diberi benda yang sama. Bahkan, satu di antaranya hanya tersenyum kecut, menggeleng, memilih tak menjawab pertanyaan.
Respons-respons tersebut merupakan jawaban dari sekelompok remaja yang dikumpulkan UNICEF Indonesia saat berbincang masalah menstruasi. Jelas, reaksi mereka menunjukkan bahwa menstruasi masih dianggap sebagai hal tabu untuk diperbincangkan. Karena tabu ini, jamak remaja perempuan tak mempersiapkan masa menstruasi pertamanya dengan baik karena malu atau segan bertanya masalah menstruasi pada orangtua maupun guru di sekolah.
Di sisi lain, kondisi ini diperparah dengan banyaknya sekolah yang belum memiliki fasilitas kebersihan dan kesehatan reproduksi yang memadai. Mereka juga sering mendapat perundungan ketika “tembus” atau harus bolak balik ke kamar mandi untuk mengganti pembalut. Menurut data Plan Internasional Indonesia, sekitar 39 persen remaja perempuan diejek oleh temannya saat menstruasi. Perlu peran serta orangtua dan guru untuk mengedukasi siswa bahwa menstruasi adalah kondisi wajar dan bukan bahan ejekan.
Empat tahun lalu, Kemendikbud membuat survei tentang kesehatan reproduksi pada remaja perempuan. Agung Tri Wahyunto, Kasie Kelembagaan Subdit Kelembagaan dan Sarpras pada Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Kemendikbud menceritakan betapa sulitnya memaksa anak-anak tersebut untuk menuturkan pengalaman pertama kali menstruasi. Kejutan masih berlangsung setelah survei selesai dilakukan. Seorang siswa menuturkan reaksinya yang janggal saat pertama kali menstruasi.
“Ia bingung dan malu, akhirnya anak ini pergi ke kebun mencari gombal untuk dilesakkan ke vaginanya,” tutur Agung dalam peringatan Hari Kebersihan Menstruasi di Jakarta.
Cerita Agung menjadi representasi minimnya partisipasi orang dewasa di sekitar lingkungan si anak untuk mengenalkan manajemen kebersihan menstruasi. Data Plan Internasional Indonesia malah mengungkapkan sebanyak 63 persen orangtua tak pernah memberikan penjelasan secara benar dan utuh mengenai menstruasi pada anak perempuannya.
Akibat tidak mendapat pengetahuan yang cukup sebelum memasuki masa menstruasi, jamak remaja perempuan merespons menstruasi pertamanya secara tidak tepat. Mereka juga mengembangkan mitos, stigma, dan miskonsepsi terkait menstruasi. Misalnya mempercayai larangan memakan daging ketika menstruasi agar darah tak berbau anyir. Padahal, tindakan itu justru dapat meningkatkan risiko kurang gizi pada remaja perempuan.
Manajemen Kebersihan Menstruasi
Hingga saat ini, Indonesia boleh jadi bisa dikatakan sebagai negara yang belum menjamin hak-hak remaja perempuannya dalam mengakses kebersihan menstruasi. Kultur budaya membuat dialog dan edukasi mengenai menstruasi jadi tabu dibicarakan. UNICEF menemukan fakta satu dari enam orang remaja perempuan memilih tidak masuk sekolah di saat menstruasi.
Tiga penyebab utamanya terkait minimnya akses informasi kebersihan menstruasi, terbatasnya pengetahuan guru terkait isu ini, dan rendahnya sarana sanitasi layak di sekolah. Data Pokok Pendidikan (Dapodik) tahun 2017 menyebutkan sekitar 12 persen sekolah di Indonesia tak memiliki jamban dan air bersih. Hanya ada satu dari empat toilet sekolah dalam kondisi baik, dan baru 67 persen sekolah SD dan SMP yang menerapkan toilet terpisah menurut gender.
“Ini memang menjadi tantangan kami dalam memperjuangkan kesetaraan bagi anak perempuan agar mendapat privasi baik, aman, dan bisa mempertahankan harga dirinya,” ucap dr. Eni Gustina, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, dalam kesempatan yang sama.
Idealnya, selain sanitasi, pembangunan manajemen kebersihan menstruasi di sekolah-sekolah juga harus mencakup Unit Kesehatan Siswa (UKS). Ruangan ini harus menyediakan pembalut dan konseling mengenai menstruasi untuk siswa. Tujuannya untuk membuka pola pikir siswa dan guru terhadap menstruasi sebagai siklus biologis yang lumrah terjadi sehingga tak perlu ada perundungan pada siswi ketika menstruasi.
Berbicara soal manajemen kebersihan menstruasi bukanlah hal sepele. Pendidikan menstruasi yang kurang atau salah dapat menjadi cikal bakal masalah kesehatan reproduksi jangka panjang. Saat mengalami menstruasi, mulut rahim akan terbuka, sel darah yang berisi protein yang keluar melalui vagina memancing pertumbuhan kuman. Jika kebersihan menstruasi tidak terjaga, risiko kesehatan seperti infeksi, sistitis, endometriosis, bahkan karsinoma serviks akan meningkat.
dr. Dyana Safitri Velies, SpOG (K) memberikan tips manajemen kebersihan yang harus diterapkan saat menstruasi. Pertama, mengganti pembalut setiap 4-6 jam sekali. Jangan membiarkannya lembab karena bisa menjadi media bagi jamur dan bakteri, membikin iritasi kulit, gatal, dan keputihan. Jika berada di ruang publik dan terpaksa harus menggunakan toilet umum, jangan membasuh vagina dengan air kotor.
“Lebih baik gunakan tisu basah yang kemudian diseka dengan tisu kering untuk membersihkan vagina. Ingat, jaga vagina tetap kering.”
Terakhir, perlu ada pemeriksaan medis ketika anak perempuan belum mendapatkan gejala sekunder pubertas seperti pertumbuhan payudara dan rambut kemaluan saat berusia 14 tahun. Atau mendapati kondisi lain, misalnya sudah mengalami gejala sekunder pubertas tapi belum menstruasi saat berumur 16 tahun.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani