tirto.id - Susilo (25) baru saja menyelesaikan makan malamnya: sepiring magelangan pedas yang baunya menggoda sejak diramu oleh Aa' (sebutan akrab karyawan warung bubur kacang ijo/burjo) burjo Emut Bae di seberang kosnya di Dusun Karangmalang, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta.
Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Indonesia (PBSI) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu lantas membeberkan komentarnya pada saya soal warung langganannya sejak lima tahun yang lalu alias saat ia baru saja menginjakkan kaki di Kota Pelajar.
“Mulai dari tempatnya, makanannya, juga pelayanannya oke banget.”
Itulah mengapa Susilo juga melihat perkembangan yang terhitung sehat dari usaha burjo Emut Bae semenjak ia menyandang status “perantau intelektual” hingga hampir meluluskan diri. “Karyawannya terus bertambah hingga membuka cabang di tempat lain, meskipun masih di wilayah Karangmalang sini,” imbuhnya.
Susilo adalah satu dari ribuan, bahkan puluhan ribu mahasiswa asal seluruh provinsi di Indonesia yang memenuhi kebutuhan pokoknya dengan menjadi pelanggan setia warung burjo. Hitung-hitungan ekonominya sederhana saja: ada permintaan, ada pula penawaran. Jumlah perantau naik, keberadaan warung burjo pun makin melimpah.
Maka jangan heran jika Anda akan menemukan warung burjo di hampir tiap sudut Yogyakarta. Apalagi jika Anda berkunjung ke daerah sekitar kampus-kampus atau kos-kosan. Warung burjo akan Anda jumpai tiap beberapa puluh meter kala menyusuri jalan utama. Pemandangan pun khas: muda-mudi berpenampilan ala mahasiswa bergerombol menyantap menu pilihan masing-masing atau ongkang-ongkang kaki sambil menikmati sebatang rokok dan segelas kopi.
Karangmalang adalah contoh yang baik. Dusun kecil yang letaknya strategis karena berada di antara UNY dan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dijejali oleh kos-kosan mahasiswa dari dua universitas tersebut maupun universitas lain. Di kawasan padat penduduk yang terhitung sempit seperti Karangmalang saja, jumlah warung burjonya menurut penelusuran tirto.id mencapai 10 buah.
Ke-10 burjo itersebut tentu tak cukup untuk memberi makan seluruh mahasiswa UNY dan UGM. Bukan hanya fakta bahwa mereka tak mesti tinggal di Karangmalang atau semuanya adalah para pelanggan setia burjo, tapi juga merunut data statistik masing-masing kampus, angka total mahasiswanya yang gigantis tak sepadan dengan jumlah burjo yang ada.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta tahun 2013, UNY menampung 32.464 mahasiswa, sedangkan UGM dijejali oleh 15.110 mahasiswa. Jika ditotal, setidaknya ada 47.000 calon pelanggan potensial warung-warung burjo.
Ini baru di Karangmalang dan dusun-dusun sekitarnya. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Indonesia mencatat ada 23 universitas di seluruh wilayah Yogyakarta, baik negeri maupun swasta. Sedangkan perguruan tinggi lain meliputi 43 akademi, 9 politeknik, 57 sekolah tinggi, dan 6 institut. Jika 138 perguruan tinggi itu rata-rata memiliki 5000 mahasiswa, maka ada lebih dari 50.000 perut yang siap dipuaskan oleh warung-warung burjo dalam tiga kali sehari.
Tirto.id menyusuri dusun-dusun di sekitar kampus-kampus besar di Yogyakarta yang menjadi kawasan kos-kosan untuk menyusun data akurat jumlah warung burjo yang berjualan. Antara lain di daerah Deresan, Pandean, Gandok, Karangasem, Kuningan, Samirono, Karangmalang, Puluhdadi, Gorongan, Seturan, Klebengan, Sapen, dan Sapen.
Daerah-daerah tersebut berdekatan dengan sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta, antara lain UGM, UNY, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta (UPN), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, STIE YKPN atau Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Yogyakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII), Stikes Guna Bangsa, dan STIMIK AMIKOM Yogyakarta.
Totalnya ada 116 warung. Antara lain di Samirono 18 warung, Pelem Kecut 8 warung, Puluh Dadi 13 warung, Gorongan 10 warung, Seturan 17 warung, Klebengan 7 warung, Karangmalang 10 warung, dan yang terbanyak Sapen dengan 24 warung.
Berdasarkan data laporan Tempo tahun 2012 tentang jumlah uang beredar di Yogyakarta, total mahasiswa menghabiskan Rp 423,8 miliar per bulan dengan rata-rata pengeluaran mahasiswa per bulan Rp. 1,8 juta. Uang tersebut sudah termasuk untuk pembiayaan hidup seperti sewa tempat tinggal (kos), fasilitas kuliah hingga makan, transportasi hingga uang pulsa selama sebulan.
Menurut peneliti senior Bank Indonesia, Djoko Raharto, "Kebutuhan untuk makan dan minum mencapai 3.48 persen dari Produk Domestik Regional Bruto, dimana biaya hidup dan pendidikan mahasiswa mencapai Rp 423.8 miliar, menyumbang 9.82 persen dari PDRB." Jika mau memanfaatkan peluang yang ada tersebut, membuka warung makan memang menjadi salah satu peluang usaha yang menjanjikan dengan membidik pasar mahasiswa.
Simbiosis Mutualisme
Setidaknya ada dua alasan mengapa Burjo disukai oleh mahasiswa Yogya yakni aksesibilitas dan gaya hidup.
Warung-warung burjo yang letaknya dekat dengan kampus memudahkan mahasiswa mencari makan dengan standar menu dan rasa yang jelas. Rasa yang dihasilkan dari masing-masing burjo hanya berbeda sedikit mengingat menu yang disajikan serupa: nasi telur, nasi sarden, atau yang lebih seragam tentu mi instan rebus maupun goreng. Pendek kata, burjo adalah pilihan yang paling aman dibanding warung makan lain.
“Saya jadi pelanggan Emut Bae karena jaraknya dekat dengan kos-kosan saya (depan kos-kosan, tak sampai lima meter) sehingga saya tak perlu ke tempat yang jauh untuk makan. Meskipun menunya standar dan itu-itu saja tapi kan harganya murah,” ungkap Susilo.
Fast food ala burjo membuat pelanggannya mengandalkan kesetiaan pada faktor kedekatan. Susilo mengaku tak akan jauh-jauh mencari burjo sebab rasanya toh serupa. Harga murah menu burjo sama dengan fenomena fast food di Amerika Serikat, misal, di mana harga burger di McDonald's lebih murah ketimbang makanan di restoran lain yang tak berkonsep fast food. Harga murah, apapun itu, selalu sesuai dengan kantong mahasiswa Yogya.
Selain aksesibilitas, burjo juga erat kaitannya dengan gaya hidup. Kehidupan mahasiswa tak bisa dilepaskan dari budaya nongkrong. Entah hanya mengobrol ringan, berdiskusi hal-hal berat ala kaum intelektual, mengerjakan tugas, hingga berkencan. Waktu senggang mahasiswa diperoleh saat sore menjelang hingga malam, bahkan hingga dini hari. Akan susah jika mengandalkan warung-warung biasa. Maka burjo yang biasa buka selama 24 jam menjadi alternatif terbaik.
“Makanya burjo tepat jika didirikan di sekitar kampus. Bukan di perumahan atau di lingkungan tempat kerja kerja. Di Yogya saya melihat kebiasaan nongkrong dari malam sampai pagi, jadi cocok dengan burjo,” tegas Susilo.
“Kita juga patut berterima kasih pada burjo karena selalu stand by 24 jam menyuplai makanan untuk mahasiswa dengan rasa yang relatif konsisten,” tambahnya sambil tertawa.
Sayang, Susilo melihat kecenderungan makanan yang dijual di burjo tak berbeda kualitas gizinya dengan makanan fast food lain alias kurang menyehatkan.
“Di satu sisi memang kurang sehat jika mi instan dikonsumsi secara berlebihan. Namun di sisi lain mahasiswa tak punya dapur, banyak tugas, malas masak, atau makanan lain lebih mahal, makanya jika ingin ke mi instan larinya ke burjo,” katanya.
Untuk itu, agar simbiosis mutualisme yang selama ini terjalin seharusnya bisa berkembang dengan burjo menyediakan makanan yang lebih sehat untuk dikonsumsi pelanggan-pelanggan setianya. Susilo mencontohkan, jika selama ini rata-rata burjo menyediakan sayuran kering, maka bisa diganti dengan sayur-sayuran yang lebih segar. Buah juga bisa jadi penyeimbang yang baik dari mi instan yang dari segi medis terbukti tak ideal jika dikonsumsi setiap hari.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Agung DH