tirto.id - Di Yogyakarta warung burjo telah mengalami metamorfosa. Pada awalnya, warung burjo benar-benar menjual bubur kacang ijo alias burjo. Sekarang di warung burjo, justru jarang ditemukan burjo, tergantikan mi instan dan nasi sayur seperti umumnya warung makan.
Kepada tirto.id Maret lalu, pedagang burjo, Iman Rohiman, mengakui ia kini tak lagi menjual burjo dan memilih jualan mi instan dan nasi sayur. Ia beralasan untuk menyediakan menu burjo di warungnya dirinya harus berpikir dua kali sebab dua kilo bubur kacang hijau saja bisa tidak laku dalam sehari. “Burjo tak lagi laku,” katanya.
Iman bahkan menyebut burjo sebagai makanan orang sakit. Sebutan itu muncul lantaran ia berulangkali menemukan fakta, mereka yang membeli burjo karena sedang sakit atau membelikan untuk orang sakit.
Bukan hanya Iman saja yang memilih untuk meninggalkan burjo sebagai menu jualan utama. Penelusuran tirto.id, dari 116 burjo yang diobservasi, 100 warung burjo telah berubah menjadi Warmindo (warung indomie). Mereka memilih untuk mengikuti selera pasar mahasiswa yang lebih memilih mi instan ketimbang burjo atau menu-menu lain pengenyang perut.
Belakangan saat burjo ditinggalkan, pemilik warung menambah varian menu lain, turunan dari produk mi instan seperti nasi goreng magelangan yakni nasi goreng dicampur mi atau juga mi dok-dok, nasi sarden dan makanan lain yang bisa disajikan dengan cepat.
Alasan Praktis
Bagi pedagang burjo jualan mi instan dan nasi sayur dinilai lebih gurih ketimbang jualan bubur. Pendapatan mereka bisa terdongkrak. Sebagai contoh, Tatang Sutarna. Dari warung burjonya di dekat kampus Peternakan UGM, ia bisa mendapatkan omzet Rp 400-500 ribu per hari.
Lain lagi dengan Wahyu Hidayat penunggu “Burjo Alami”. Dari warungnya di dekat UPN dan Amikom ia bisa meraih pendapatan Rp 300.000 hingga Rp 400.000 per hari.
Sementara Nasir pedagang warung burjo Sangkuriang di Gandok, Deresan di dekat kampus Sanata Dharma, UGM, dan UNY mengatakan omzet kotor per harinya bisa menembus Rp 900.000 hingga Rp1.100.000.
Selain karena alasan perolehan pendapatan, berjualan mi instan jauh lebih praktis ketimbang burjo. Mi instan sudah pasti awet untuk disimpan dan sudah pasti laku. Sementara proses pembuatan bubur lama dan harus terus dihangatkan—yang artinya menambah beban biaya gas elpiji —dan belum tentu laku. Sesederhana itu logika ekonominya.
Dari observasi tirto.id, para pedagang burjo juga mengakui bahwa rata-rata pelanggan mereka yang masih berstatus mahasiswa lebih memilih makanan-makanan praktis. Makanan dengan bahan utama mi instan menjadi menu favorit.
Taste Culture
Berkaitan dengan perubahan sosiologi ekonomi warung burjo di Yogyakarta, dosen Sosiologi Ekonomi UNY, Grendi Hendrastomo menyampaikan, hal itu terjadi lantaran ada korelasi timbal balik antara ekonomi dan masyarakat. Di suatu saat, kata Grendi, ekonomi bisa mendikte pasar tapi di saat yang lain masyarakat gantian yang mendikte.
“Dalam kasus warung burjo, masyarakat lah yang mendikte pasar. Memaksa masyarakat untuk membeli burjo secara ekonomi juga tidak akan menguntungkan,” katanya di Yogyakarta akhir Juni lalu.
Grendi menambahkan, secara habitual tidak banyak masyarakat yang menganggap biji-bijian seperti ketan dan kacang hijau untuk bahan baku burjo sebagai makanan pokok. Masih banyak orang beranggapan bahwa makan harus yang berkabohidrat, yang bisa ditemukan pada nasi dan mi.
“Itu juga didukung data bahwa kita pengkonsumsi mi 5 besar di dunia di bawah Cina. Kultur lokal kita tidak terbiasa untuk dengan mudah mengganti makanan pokoknya.”
Selain itu, Grendi menuturkan, masyarakat memang sudah sangat terpengaruh oleh media, mi selain rasanya enak, bombardir iklannya juga luar biasa banyak sehingga makan mi di warung burjo justru menjadi penasbihan kekuatan ekonomi kapital yang secara tidak sadar dimasukkan melalui iklan.
Di sisi lain melimpah ruahnya jumlah mahasiswa di Yogya menjadi peluang bagi para pelaku bisnis burjo. Pembeli mi terutama di Yogya, lanjut Grendi, didominasi mahasiswa yang notabene kadang berkantong cekak. “Nah warung burjo menangkap peluang ini dengan melakukan diversifikasi usaha,” tambahnya. “Uniknya lagi, jarang ada warung burjo yang hanya berjualan mi instan.”
Kendati Indomie telah merebut ruang-ruang display dengan membentuk “brand” baru berupa Warmindo nyatanya toh publik Yogya tetap menyebutnya dengan nama “burjo”—meskipun menu itu lambat laun hilang dari pasaran. Hal itu mirip dengan fenomena penyebutan Odol untuk pasta gigi atau Honda untuk Sepeda Motor atau Indomie untuk mi instan.
“Dalam beragam literatur kajian sosiologi ada konsep itu disebut taste culture,” pungkasnya.
Makanan Sehat Justru Kalah Saing
Sementara itu ahli gizi dari Politeknik Kesehatan Yogyakarta Agus Wijanarka menyampaikan bahwa bubur kacang—yang sebenarnya makanan sehat—bisa kalah bersaing dengan mi instan karena penyajiannya lama. Di sisi lain, kata Agus, masyarakat juga menginginkan yang lebih praktis dan terbiasa mengonsumsi mi instan.
“Catatan, bahwa di Indonesia, setiap warganya setiap tahunnya mengonsumsi 60-61 bungkus mie instan setiap orang, kurang lebih itu sekitar satu setengah kardus. Sebenarnya kalau kita pandang dari nilai gizi, mie instan tinggi karbohidrat itu bisa menjadi sumber energi, tapi burjo memiliki nilai tambah karena bahannya ada tambahan ketan hitam, santan, gula, air dan lain-lain.”
Agus menambahkan kandungan energi dalam burjo dalam satu porsi hanya sekitar 350 kilo kalori. Akan tetapi, burjo mengandung protein cukup tinggi sekitar 17 gram. Sementara mi instan menjadi sumber kabohidrat karena kandungannya lebih tinggi dari kacang ijo, namun kacang ijo bisa menjadi sumber protein tinggi.
“Bahan utama mie instan adalah tepung terigu, sehingga kandungan gizi tertinggi di sana adalah karbohidrat, sehingga dalam prosesnya di dalam tubuh bisa menghasilkan tinggi energi. Satu bungkus mie instan yang kurang lebih beratnya 80 gram itu terkandung energi sekitar 400 kilo kalori, bisa menyumbang seper lima gizi bagi seseorang dalam sehari. Yang perlu diketahui bahwa energi tersebut sebenarya 30 persennya berasal dari sumber lemak. Mi instan itu kan juga mengandung lemak, jadi sekitar 30 persen itu berasal dari lemak,” terangnya.
Kandungan gizi dalam mi instan, lanjut Agus, belum lengkap, hanya tinggi energi. Sehingga jika digunakan sebagai makanan pokok atau dikonsumsi setiap hari dan tidak disertai dengan makanan lain maka kebutuhan nutrisi lain kurang. Tubuh membutuhkan mineral, protein, dan lain-lain. “Sehingga jika mengonsumsi mie instan ya harapannya bisa dilengkapi dengan sumber protein lainnya, seperti lauk berupa telur dan daging, perlu juga tambahan sayuran,” katanya.
Hal ini, kata Agus, yang menjadi alasan mengapa mi instan tidak baik dikonsumsi sehari-hari sebagai makanan pokok. Alasannya, kandungan lemak dan natriumnya tinggi, sehingga dampaknya tidak baik untuk konsumen. Alternatif yang lebih baik kembali konsumsi ke makanan-makanan lokal kita, yang mudah didapat di sekitar kita seperti nasi. Selain itu, tingkat kekenyangan mengonsumsi mie juga tidak bisa bertahan lama, akan membuat kita cepat lapar, berbeda sekali dengan beras dan umbi-umbian.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Agung DH