tirto.id - Chandra (27) terbiasa berangkat dari rumahnya di Bekasi ke Bandara Soekarno-Hatta 3 jam sebelum penerbangan. Termasuk juga Selasa 10 November kemarin, kala harus ke Surabaya untuk keperluan dinas. Ia berangkat pukul 5 pagi untuk penerbangan jam 8.
Namun, tidak seperti biasanya, pada pagi itu sejak tol Soedyatmo kendaraannya tertahan karena rombongan massa.
"Akhirnya naik pikap. Ada kali 7 kilo[meter]. Begitu sampai bandara ternyata delay," kata Chandra kepada reporter Tirto, Rabu (11/11/2020).
Pengalaman serupa dialami Amel (25), seorang pekerja di Bandara Soekarno-Hatta. Ia dan kawan-kawannya terpaksa berjalan kaki ke tempat kerja karena lalu lintas yang sama sekali tidak bergerak sejak perimeter selatan.
Tol ke arah sebaliknya lengang. Kondisi itu dimanfaatkan massa. Mereka membawa motor ke jalan tol. Bahkan seorang simpatisan duduk di atas mobil boks.
Executive General Manager Bandara Soekarno-Hatta Agus Haryadi mengatakan 118 dari 556 jadwal penerbangan tertunda hingga empat jam. Pada sore hari baru seluruh jadwal maskapai kembali pulih. Sejumlah grup maskapai seperti Indonesia AirAsia, Lion Air Group, Sriwijaya Air Group, dan Garuda Indonesia Group memberikan kompensasi berupa pengembalian uang hingga penjadwalan ulang.
Sejumlah fasilitas bandara seperti kursi, tanaman, hingga gerai kartu telepon pun rusak.
Semua kekacauan itu terjadi karena massa tumpah ruah berduyun-duyun mendatangi bandara untuk menyambut kepulangan Rizieq Shihab, pentolan Front Pembela Islam (FPI) yang namanya melejit lagi usai aksi-aksi menentang Ahok pada periode 2016-2017, setelah menetap tiga tahun di Arab Saudi. Massa memenuhi area jalan tol menuju bandara sejak pukul 4 pagi. Ketika yang ditunggu mendarat, massa merangsek ke area kedatangan Terminal 3.
Sebanyak 3.490 anggota gabungan, TNI, Polri, dan pengamanan bandara yang dilengkapi kendaraan taktis seolah tak mampu berbuat apa-apa.
Kondisi itu kontras dengan unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja (kini sudah resmi jadi undang-undang).
Satu contoh, dalam satu demonstrasi pada 7 Oktober lalu, sekitar 800 mahasiswa Universitas Pelita Bangsa langsung berhadapan dengan barikade polisi begitu memasuki Kawasan Industri Jababeka 1, Cikarang, Bekasi. Aksi saling dorong tak terhindarkan dan dibalas dengan pukulan dan tembakan peluru karet. Budi Nasurullah, seorang mahasiswa, sampai patah hidungnya dan giginya retak.
Pada hari yang sama, puluhan pelajar dari berbagai sekolah ditangkap oleh Polres Metro Jakarta Selatan dan Polda Metro Jaya saat kedapatan berjalan kaki secara bergerombol di kolong Semanggi hendak menuju Gedung DPR/MPR RI untuk ikut berunjuk rasa. Alasan polisi mereka bukan bagian dari buruh atau mahasiswa, seakan-akan hanya merekalah yang boleh menyampaikan pendapat.
Ribuan buruh dari Tangerang dan Bekasi juga dicegat polisi saat hendak menuju Gedung DPR/MPR pada Senin 5 Oktober.
Peneliti dari Human Right Watch Andreas Harsono mengatakan ada sejumlah aspek teknis yang bisa jadi alasan perbedaan perlakuan itu. Dalam demonstrasi perlu ada pemberitahuan. Lokasi demonstrasi bisa diprediksi. Kondisi itu membuat polisi bisa bersiaga. Sementara penjemputan kemarin sifatnya spontan sehingga wajar jika polisi gagap.
Andreas juga menyinggung ada fenomena bias terhadap gerakan sayap kanan di tubuh Korps Bhayangkara. Pada 2019 lalu, misalnya, seorang polwan ditangkap karena terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulat (JAD). Sebelumnya juga ada seorang brigadir dari Polres Batanghari, Jambi yang undur diri dari Korps Bhayangkara dan bergabung dengan ISIS. Hal serupa juga dilakukan Brigadir WK di Kabupaten Tanggamus, Lampung. Kendati begitu, ia enggan langsung menyimpulkan bias itu berpengaruh pada kejadian Selasa kemarin.
"Memang banyak polisi yang bias, tapi seberapa jauh bias itu membuat mereka tidak siap, saya kira enggak. Itu lebih urusan karena ini menjemput orang di airport, bukan unjuk rasa," kata Andreas kepada reporter Tirto, Rabu (11/11/2020).
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai respons berbeda dari aparat itu disebabkan dua hal. Pertama, lebih banyak massa yang datang ke bandara ketimbang yang demonstrasi RUU Cipta Kerja. Kedua, dan ini paling penting, adalah kekhawatiran opini yang kelak berkembang. Massa penjemput Rizieq datang membawa simbol agama sehingga jika dilarang, maka akan ada efek domino.
"Kondisi ini yang mendorong pemerintah hati-hati," kata Wasisto kepada reporter Tirto, Rabu.
Wasisto juga menjelaskan mengapa Rizieq bisa begitu populer. Menurutnya ini karena umat Islam Indonesia tidak lagi memiliki sosok karismatik untuk dijadikan simbol. Terlebih Rizieq juga kerap membawa isu ketimpangan ekonomi yang dibungkus sentimen muslim-non-muslim.
Serangkaian upaya pemidanaan juga membuat namanya semakin mekar. "Serangkaian 'kriminalisasi' itu malah jadi semacam 'pembenaran' bagi HRS dan pengikutnya kalau yang mereka perjuangkan itu benar dan negara itu takut."
Polisi tahu bahwa Bandara Soekarno-Hatta adalah objek vital nasional. Dan sebagaimana objek vital nasional, "tidak boleh ramai-ramai ke sana, harus ada pengamanan," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Yusri Yunus, Kamis, dikutip dari Antara.
Namun ia mengatakan Polda Metro Jaya "tidak menyiapkan pengamanan secara khusus."
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Awi Setiyono pekan lalu juga mengatakan serupa, bahwa tak akan menerjunkan personel seperti mengamankan demonstrasi. Menurutnya pengamanan polisi hanya "secukupnya."
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino