tirto.id - Tujuh belas organisasi kesehatan yang terhimpun dalam Koalisi Tenaga Kesehatan menyatakan dukungan penuh agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan disahkan.
Mereka juga menyatakan tidak setuju dengan narasi penolakan yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terhadap RUU Kesehatan.
“Inti sebenarnya adalah IDI dan PDGI tidak menghendaki dicabutnya UU Praktik Kedokteran Tahun 2004. Narasi penolakan yang disebutkan hanya sekadar mencari simpati publik,” kata Dewan Pembina Koalisi Organisasi Kesehatan, Judilherry Justam di Jakarta, Rabu (10/5/2023).
Dalam UU Praktik Kedokteran Tahun 2004, kata Judilherry, terlihat mengurangi peran pemerintah dan negara dalam sektor kesehatan. Maka dari itu menurutnya, RUU Kesehatan yang akan mengganti aturan tersebut akan membuat perubahan yang lebih baik.
“Dalam UU tersebut, Dinas Kesehatan– bahkan Menteri Kesehatan sekalipun–tidak dapat mengeluarkan izin praktik tanpa adanya rekomendasi izin praktik dari IDI Cabang. Begitupun Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tidak dapat mengeluarkan Surat Tanda Registrasi (STR) tanpa terlebih dahulu memiliki Sertifikat Kompetensi (Serkom) yang dikeluarkan oleh kolegium bentukan IDI,” jelas Judilherry.
Selain itu, ia juga menyoroti ketentuan organisasi profesi kedokteran yang tunggal. Menurutnya aturan tersebut bisa dihapuskan dalam RUU Kesehatan.
“Ketentuan organisasi profesi sebagai organisasi tunggal, menyebabkan setiap dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya terpaksa harus menjadi anggota organisasi profesi masing-masing,” sambung Judilherry.
Ia mengklaim tidak ada contoh di negara lain di mana organisasi profesi sebagai organisasi tunggal, kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dan rekomendasi organisasi untuk dapat memperoleh izin praktek.
“Dengan mencabut UU Praktik Kedokteran berarti kita ingin mengembalikan IDI dan PDGI ke khitahnya” kata Judilherry.
Ia juga menyatakan bahwa Koalisi Tenaga Kesehatan tidak setuju dengan narasi penolakan IDI terhadap RUU Kesehatan yang menyebutkan bahwa adanya dokter asing di Indonesia akan membuat liberalisasi kedokteran.
“Tetapi dalam narasi penolakan RUU Kesehatan yang sering disebutkan adalah bahaya masuknya dokter asing, investasi asing, perlindungan hukum bagi dokter dan liberalisasi. Mengenai yang terakhir tentang liberalisasi, justru tidak masuk akal. Dengan mencabut UU Praktek Kedokteran, justru memangkas liberalisasi dengan memangkas kewenangan organisasi profesi dan mengembalikannya pada pemerintah dan KKI,” tambahnya.
Judilherry menilai bahwa investasi asing yang berkualitas internasional justru diharapkan dapat mengurangi arus orang kaya Indonesia berobat keluar negeri. Saat ini saja, kata Judilherry, ditengarai sekitar 2 juta orang Indonesia berobat keluar negeri setiap tahun.
“Setiap tahun menghabiskan devisa sekitar Rp 1,6 Triliun. Sekiranya bisa dihemat 10 persen saja, cukup besar manfaatnya,” ujarnya.
Sebagi informasi, Koalisi Tenaga Kesehatan terdiri 17 organisasi kesehatan yang terdiri dari Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan, Forum Dokter Susah Praktek, Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia, Farmasis Indonesia Bersatu, Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Indonesia, Siti Fadilah Foundation, Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia, hingga Masyarakat Farmasi Indonesia.
Selain itu, ada juga Forum Bidan Desa, Dewan Kesehatan Rakyat, Junior Doctor Network, Aliansi Apoteker dan Asisten Apoteker Peduli Negeri, Lembaga Pemerhati Perawat Indonesia, Dewan Kesehatan Rakyat, Persatuan Honorer Nakes Indonesia, Korban Panitia Nasional Uji Kompetensi Apoteker Indonesia, serta Forum Pendukung RUU Kesehatan.
Sebelumnya, IDI dan empat organisasi profesi lain (PDGI, PPNI, IBI, dan IAI) yang terhimpun dalam Aliansi Aset Bangsa, melakukan aksi damai menolak pembahasan RUU Kesehatan dilanjutkan. Mereka menilai bahwa RUU Kesehatan masih memuat substansi yang merugikan tenaga kesehatan dan masyarakat.
Unjuk rasa ini dilakukan di kawasan Patung Kuda, Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat pada Senin (8/5).
Juru bicara Aliansi Aset Bangsa, Beni Satria menyatakan bahwa RUU Kesehatan juga bermasalah karena telah mencabut Undang-Undang Kesehatan yang telah ada.
“Tidak perlu harus mencabut 13 Undang-Undang dan merevisi Undang-Undang,” kata Beni di lokasi aksi damai.
Ia menyatakan bahwa akan membawa sejumlah poin kritik ke Pemerintah agar RUU Kesehatan segera dihentikan pembahasannya.
“Terkait poin poin anggaran, terkait rekomendasi organisasi profesi, tekait perizinan, temasuk hak-hak nakes mendapat perlindangan hukum , dan hak masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan bermutu itu yang kita sampaikan ke pemerintah,” jelas Beni.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri