tirto.id - Nilai tukar rupiah masih belum bisa bangkit dari tekanan dolar Amerika Serikat (AS). Pada pembukaan perdagangan Selasa (2/7/2024), rupiah yang ditransaksikan antarbank mengalami pelemahan hingga 0,30 persen atau 49 poin dari penutupan perdagangan hari sebelumnya, yaitu Rp16.321 per dolar AS.
Di balik tren pelemahan rupiah itu, ternyata ada emiten-emiten yang justru menunjukkan pergerakan positif. Beberapa di antaranya adalah emiten yang bergerak di sektor infrastruktur, keuangan, transportasi, teknologi, properti, dan sektor non-cyclical yang memiliki korelasi relatif kecil terhadap kondisi ekonomi.
Meski begitu, Senior Technical Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta Utama, menyarankan agar investor yang berniat mengoleksi saham dari sektor-sektor tersebut untuk tetap mempertimbangkan kinerja fundamentalnya.
Hal itu dapat dilakukan dengan melihat reputasi, tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), dan laporan keuangan perusahaan.
Selain itu, investor juga disarankankan untuk memilih saham yang aktif diperdagangkan dengan melihat saham yang masuk ke dalam LQ45, IDX30, IDX80, Kompas100, IDXHighDiv20, hingga JII.
“Melakukan analisis teknikal. Belilah saham yang produknya juga anda pakai sendiri. Cermati perkembangan sentimen ke depan, baik dari domestik maupun eksternal. Terapkan money management maupun risk management,” jelas Nafan.
Dihubungi terpisah, Investment Consultant PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk, Reza Priyambada, mengungkapkan bahwa emiten yang umumnya diuntungkan dengan kenaikan dolar AS dan pelemahan rupiah adalah emiten yang bergerak di bisnis komoditas dan energi.
Namun, untuk mengoleksi saham dari emiten ini, investor juga harus melihat sentimen kenaikan harga barang-barang komoditas, seperti migas, energi, dan tambang.
“Saham emiten ini antara lain MEDC, ADRO, PTRO, ITMG, PGAS, dan lainnya. Lalu, emiten lain seperti GMFI, INKP, itu juga dalam bentuk USD. Namun, juga harus diikuti dengan kenaikan volume penjualannya,” kata Reza kepada Tirto, Selasa (2/7/2024).
Yang patut dicermati adalah tren pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Hal itu bisa saja menjadi sentimen negatif bagi saham-saham yang memiliki eksposur biaya tinggi dalam bentuk dolar AS, tapi pendapatannya dalam rupiah.
“Beda halnya jika emiten tersebut mendapatkan pendapatan dalam USD, tapi biayanya dalam bentuk rupiah. Maka dimungkinkan akan mendapatkan keuntungan selisih kurs,” imbuh Reza.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi