tirto.id - Chief Investment Officer (CIO) Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), Pandu Sjahrir, memberi sinyal positif terkait akan dijadikannya dana investasi yang dimiliki pemerintah (sovereign wealth fund/SWF) tersebut, sebagai pemasok likuiditas atau liquidity provider (LP) di pasar modal nasional. Pasokan likuiditas akan dihasilkan Danantara dari akumulasi dividen yang dihimpun dari perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hampir seluruhnya kini berada di bawah naungan Danantara.
Karenanya, keputusan final apakah Danantara akan menjadi pemasok likuiditas atau tidak, baru akan ditentukan usai pengumuman hasil dividen yang akan dibagikan perusahaan-perusahaan pelat merah akhir bulan ini.
"Dari situ harus mulai dialokasikan ke mana, tentu yang paling cepat, ya pertama di public market. Tapi, tentu kita ada proyek-proyek (lainnya),” kata Pandu, kepada awak media, di Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (14/4/2025).
Menurut Pandu, kemungkinan Danantara menjadi penyedia likuiditas dijajaki karena Danantara memilih untuk melakukan investasi di sektor-sektor atau proyek yang memiliki imbal hasil (return) tinggi, dan ekuitas adalah salah satunya. Apalagi, sampai saat ini, pasar modal nasional terdiri dari dua unsur, bound atau pergerakan harga saham dan ekuitas alias nilai saham yang dimiliki investor.
“Memang kita sedang diskusikan, kita kan melihat pasti kalau pasar modal tuh ada dibagi dua, dari bond sama juga equity. Jadi tentu nanti kita lihat lah dari hasil dividen, kita parking di mana, ya bisa saja salah satunya di sana (pasar modal),” jelasnya.
Pandu pun belum dapat merinci saham dari perusahaan pelat merah mana yang paling likuid dan berpotensi menghasilkan imbal hasil besar. Meski begitu, ia memastikan Danantara sudah memegang sekitar 18 saham emiten BUMN yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Kita bakal lihat case by case basis, yang penting return-nya masuk,” tegas laki-laki yang juga menjabat sebagai Direktur PT Toba Bara Sejahtera itu.
Sementara itu, niat Danantara untuk menjadi pemasok likuiditas pertama kali diungkap Ketua Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar. Sebagai penjajakan, pembicaraan dengan berbagai stakeholder terkait pun telah dilaksanakan.
Di sisi lain, OJK pun mendukung niat Danantara yang ingin menjadi pemasok likuiditas, karena SWF dapat memperkuat likuiditas di pasar modal dengan menjadi investor institusional. Pada akhirnya, dengan masuknya Danantara ke pasar modal, diharapkan akan menjadikan likuiditas makin likuid sehingga menarik lebih banyak investor.
“Dalam kaitan ini, koordinasi dengan Danantara yang jadi holding dari lembaga jasa keuangan pemerintah, dilakukan untuk juga mendorong kemungkinan lebih besar lagi bagi lembaga jasa keuangan di bawah Danantara melakukan investasi di pasar modal sebagai institutional investor,” tutur Mahendra, dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) secara daring, dikutip Senin (14/4/2025).
Kendati OJK mendukung optimalisasi pengelolaan BUMN melalui Danantara, sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), Mahendra memastikan pihaknya akan mengatur dan mengawasi pula penghimpunan dana di pasar modal yang dilakukan oleh BUMN. Dus, BUMN dapat terus tumbuh seiring dengan terjaganya stabilitas sistem keuangan nasional.
“Yang ingin kami dorong dan lihat ke depan adalah penguatan dari investasi domestik di pasar modal kita, khususnya oleh investor institusional atau institutional investor, termasuk di dalamnya adalah dari lembaga jasa keuangan milik pemerintah atau BUMN,” imbuh Mahendra.
Ide Bagus?
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, melihat niat Danantara untuk menjadi pemasok likuiditas pasar modal sebagai ide yang bagus. Sebab, Danantara dapat berinvestasi langsung di pasar modal. Dalam hal ini, lembaga investasi tersebut juga akan berperan sebagai penyedia likuiditas alias market maker, alias perusahaan atau individu yang membeli dan menjual aset keuangan dalam jumlah besar untuk menjaga kelancaran pasar.
“Ini ide bagus. Perlu didukung. Lebih dari itu, Danantara juga harus jadi motor untuk menghidupkan pasar modal kita. Tidak hanya jadi market maker, tetapi juga mendorong pemerintah melakukan transformasi total pasar modal kita,” katanya, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Senin (14/4/2025).
Menurut Wijayanto, sudah terlalu lama pasar modal menjadi sektor yang dianaktirikan. Padahal, masalah yang dihadapi sudah cukup kompleks, salah satunya terkait isu likuiditas.
“Apalagi Danantara perlu tempat yang bagus untuk berinvestasi,” imbuh dia
Terlepas dari itu, peran Danantara sebagai penyedia likuiditas dinilai akan membuat pasar modal semakin likuid. Sehingga, bakal menarik minat lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di pasar saham.
“(Kemudian) harga saham cenderung stabil dan sulit memanipulasi harga saham,” tutur Wijayanto.
Selain itu, sebagai penyedia likuiditas di pasar modal, intervensi Danantara dapat menstabilkan fluktuasi pasar, terutama saat volatilitas tinggi. Sehingga, diharapkan peran Danantara ini bisa menciptakan rasa aman bagi investor ritel dan institusional.
Risiko Tetap Mengintai
Di sisi lain, Danantara juga bisa berperan sebagai investor institusional alias anchor investor yang berperan penting dalam pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO) perusahaan-perusahaan BUMN atau startup teknologi. Sehingga meningkatkan valuasi dan daya tarik emiten domestik.
“Ketiga, keberadaan likuiditas dari Danantara berpotensi memperkuat fungsi pasar modal sebagai sumber pembiayaan jangka panjang pembangunan nasional, bukan sekadar tempat transaksi spekulatif,” papar ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kepada Tirto, Senin (14/4/2025).
Namun, sebagai penyedia likuiditas, risiko yang harus dihadapi Danantara juga tidak kecil. Jika Danantara terlalu sering masuk pasar tanpa strategi jangka panjang, ada risiko moral hazard yang mengintai. Dalam hal ini, investor akan cenderung menggantungkan diri pada intervensi negara.
Selain itu, alokasi dana ke instrumen pasar yang berisiko tinggi bisa menimbulkan kerugian bagi negara jika manajemen aset tidak dilakukan secara profesional. Kemudian, jika fungsi likuiditas terlalu dominan, Danantara bisa kehilangan fungsi utamanya sebagai sovereign development fund yang fokus pada proyek strategis berjangka panjang.
“Oleh karena itu, fungsi pasar dan fungsi pembangunan harus dijaga dalam keseimbangan,” imbuh Achmad.
Sebagai sovereign wealth fund, Danantara juga harus menunjukkan bahwa ia tidak hanya mampu menarik dana, tetapi juga mampu mengelolanya dengan prinsip fiduciary duty, mengedepankan kepentingan nasional jangka panjang di atas segalanya. Hal ini berarti bahwa Danantara harus memastikan seleksi proyek berbasis analisis manfaat ekonomi. Harus ada proses penilaian yang ketat, termasuk analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis), dampak sosial, risiko lingkungan, dan keberlanjutan fiskal.
Terlepas dari itu, jika ingin menjadikan Danantara sebagai penyedia likuiditas, pemerintah dan OJK harus melakukan deregulasi pasar modal, Pasalnya, sampai saat ini Indonesia hanya mengenal continuous auction brokerage system -sistem perdagangan saham secara terus-menerus, di mana harga saham diperbarui berdasarkan permintaan dan penawaran pasar.
“Brokerage system itu bahwa yang namanya nasabah lewat broker dalam kondisi seimbang antarbroker yang terbuka dalam order bid. Kalaupun ada yang disebut dengan pengelola fund, di kita kan namanya reksadana yang nasabahnya dia menawarkan portofolio. Manager investasi reksadana pun sistemnya masuk dalam brokerage system sebagai nasabah,” jelas pakar ekonomi, Yanuar Rizky, saat dihubungi Tirto, Senin (14/4/2025).
Namun, penyedia likuiditas hanya bisa dilakukan apabila Indonesia menganut sistem dealer investasi, mekanisme yang memungkinkan individu berpartisipasi dalam pasar saham dengan membeli dan menjual saham melalui dealer. Dealer sendiri merupakan pihak yang membeli dan menjual saham untuk dirinya sendiri pada harga bid (harga tertinggi yang bersedia dibayarkan oleh seorang pembeli untuk membeli saham) atau ask atau offer (harga terendah yang bersedia diterima oleh seorang penjual untuk menjual saham).
Sistem dealer memang dapat menambah likuiditas di pasar saham. Meski begitu, ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi, misalnya tentang sistem informasi, order saham di bursa, hingga keterbukaan informasi dari perusahaan terbuka.
“Kalau yang namanya liquidity provider itu sebetulnya kepanjangan tangan dari pengelola fund, dia mengelola dana tapi dia tidak pernah menjual prospectus ke nasabahnya. Jadi, artinya yang dia berikan ke nasabahnya itu written hasil dari dia trading tanpa dia harus kasih tahu ke nasabahnya trading-nya ke mana. Itu juga kan harus diatur,” terang Yanuar.
Selain itu, dalam sistem dealer, tak bisa hanya ada satu dealer saja di sebuah negara. Sebab, ketika hanya ada satu dealer, prinsip penyedia likuiditas akan menjadi seperti Bank Sentral, di mana bisa melakukan intervensi terhadap nilai mata uang. Dalam hal ini, dealer akan dapat melakukan intervensi terhadap harga saham agar tidak jatuh terlalu dalam. Padahal, di pasar saham mekanisme perdagangan dan harga harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
“Jadi, otoritasnya ini harus jelas dulu cara berpikirnya,” tambahnya.
Sementara itu, kalau memang ingin punya liquidity provider, pemerintah sama halnya dengan ingin membuat industri pengelolaan investasi atau hedge fund di Indonesia tumbuh. Selain itu, praktik yang selama ini disebut sebagai goreng-menggoreng saham melalui dealer juga akan dilegalkan dan diatur negara.
Jika demikian, Yanuar menegaskan agar pemerintah harus segera memberi mandat kepada OJK untuk mengatur perlindungan investornya dan sistem keteraturan pasarnya.
“Memang biasa yang namanya liquidity provider mengelola likuiditas dan dia cari untung dari pengelolaan likuiditas. Tapi, yang paling penting adalah proses transparansi order yang dipasarkan. Jadi, jangan sampai orang ngomong kok ini ada banner (order), tapi banner-nya siapa nggak jelas. Nah itu kan yang harus kita perjelas,” tukasnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty