tirto.id - Angka kejahatan yang dilakukan warga negara asing (WNA) di Indonesia meningkat. Dalam waktu dekat ini saja, pihak kepolisian berhasil mendeportasi 148 WNA Cina dalam kasus tindak pidana siber. Diduga, para penjahat yang merupakan bagian sindikat internasional itu menggunakan bebas visa sebagai alat untuk memuluskan langkah mereka.
Kepala Dirjen Imigrasi Ronnie F Sompie mengatakan, visa bebas tidak bisa diganggu gugat karena hak WNA. Pihak imigrasi tidak bisa menghalangi WNA masuk karena mereka dinyatakan sebagai turis, termasuk para WNA Cina yang dideportasi gara-gara terlibat pidana.
"Menurut data kami WNA Cina yang masuk ke indonesia itu selalu melalui check point, tempat pemeriksaan imigrasi, mereka memiliki paspor," kata Ronnie di Menteng, Jakarta, Selasa (8/8/2017).
Ronnie mengatakan, pemerintah sudah berupaya memulangkan para WNA yang tidak membawa paspor, termasuk WNA Cina, dengan menggunakan maskapai yang tumpangi WNA itu.
Baca: Alasan 153 Pelaku Penipuan Siber Memilih Markas di Indonesia
Ronnie juga tidak memungkiri bahwa para WNA itu memasuki Indonesia melalui pos batas lintas negara (PBLN) di Entikong, Kalimantan Barat, kendati pemerintah sudah maksimal menjaga perbatasan. "Kalau ada kasus mereka lewat jalur ilegal, sampai saat ini kami belum dapat datanya," kata Ronnie.
Mantan Kadiv Humas Mabes Polri ini menduga, paspor para WNA Cina itu dibawa oleh sindikat. Begitu tiba di Indonesia dan lepas pemeriksaan imigrasi, sindikat itu mengambil paspor WNA untuk bekerja.
Sementara itu, Kabag Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno mengatakan, Indonesia memang menjadi tempat pilihan bagi para penjahat, tetapi kejahatan itu terjadi bukan karena visa, melainkan karena jaringan kejahatan tingkat internasional.
"Faktanya lebih karena mereka bagian sindikat internasional," ujar Agung saat ditemui di Menteng, Jakarta, Selasa (8/8/2017).
Baca: WNA Pelaku Kejahatan Siber Raup Keuntungan Rp6 Triliun
Agung menegaskan, tidak ada kenaikan jumlah kejahatan keimigrasian karena masalah visa bebas. Ia mencontohkan, jumlah WNA yang diduga terlibat kasus siber pada tahun 2016 mencapai 257 orang. Pada tahun 2017, jumlah mereka belum mencapai 200 orang.
Secara prosedur keimigrasian, kata dia, para WNA itu tidak bermasalah, mereka diberi visa sebagai alat pemantau dari negara asal, tetapi mereka baru akan melakukan tindak pidana saat berada di Indonesia. Ia menerangkan, dalam kasus pedofil, pihak keimigrasian sudah mengamankan 107 paedofil. Dari angka itu, 92 di antaranya merupakan WNA asal Australia.
Upaya Pencegahan WNA "Bermasalah" Masuk ke Indonesia
Agung mengatakan pihak imigrasi melakukan beberapa pendekatan guna mencegah WNA nakal memasuki Indonesia, yakni sebelum tiba di Indonesia, pihak keimigrasian melihat data dari berbagai instansi seperti pihak Interpol maupun negara asal. Mereka juga akan melihat dari visa yang diberikan negara asal untuk mengetahui pemeriksaan di keimigrasian wilayah asal.
Saat mereka mau masuk di pintu gerbang masuk Indonesia, lanjut dia, pihak imigrasi melakukan profiling WNA yang ingin masuk Indonesia. Dalam profiling, mereka akan mencocokkan visa yang diberikan dengan keterangan dari WNA. Mereka pun bisa saja mendeportasi apabila WNA yang diperiksa terlibat dalam kasus tertentu.
Saat ini, per tahun 2017, pihak Dirjen Imigrasi sudah menangkap 4100 WNA dan mencegah 469 WNA masuk Indonesia dan sekitar 1500-an WNA dideportasi dari Indonesia. Meskipun sudah berusaha optimal di pintu-pintu masuk, masih ada jalan tikus yang digunakan para sindikat. Agung mengaku, Imigrasi tidak punya kemampuan untuk menjaga di jalan tikus karena minim personil.
Baca: Kemenkumham Minta Warga Laporkan Keberadaan WNA Ilegal
Selain itu, lanjutnya, Undang-undang Indonesia masih belum mengakomodir masalah keimigrasian.
Di sisi lain, pemerintah juga sedang mengevaluasi penerapan bebas visa dan sudah berjalan selama 3 bulan ini. Kajian itu dilakukan tidak hanya oleh Imigrasi, tetapi juga kepolisian dan lembaga terkait. Semua di bawah koordinasi Kemenkopolhukam.
"Leading sektor Polhukam tinggal tunggu waktu," kata Agung.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto