tirto.id - 153 tersangka penipuan siber internasional yang ditangkap kepolisian di tiga tempat, yakni Jakarta, Surabaya, dan Bali itu memilih melakukan aksinya di Indonesia karena mengaku mendapat banyak kemudahan dibandingkan negara-negara lain. Dari 153 itu, 148 orang diduga berasal dari Cina dan Taiwan.
Menanggapi hal itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, 148 WNA memilih melakukan aksi di Indonesia karena tidak mudah terdeteksi oleh penegak hukum karena wilayah Indonesia yang luas.
"Berdasarkan informasi yang kita gali dari para tersangka ini di Indonesia ini tempat yang mudah bersembunyi karena lokasinya luas, geografinya luas. Kalau di daerah sana, di negara sana mudah teridentifikasi," kata Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (31/7/2017).
Argo mengatakan pelaku ini masuk ke Indonesia melalui sejumlah tahapan. Mereka mulai mendatangi Indonesia dengan menggunakan visa perjalanan. Begitu tiba di Indonesia, mereka melakukan pengumpulan informasi secara ilegal.
Selain itu, kata Argo, mereka juga menggunakan kemampuan IT-nya untuk mendapat data dari dunia maya. Mereka melakukan profiling calon korban, mulai dari pejabat hingga pengusaha yang terjerat kasus hukum. Kemudian, mereka menggunakan data tersebut dan menghubungi pihak korban dengan mengaku sebagai jaksa atau polisi. Mereka pun meminta imbalan agar kasus tersebut tidak dibuka.
Baca juga:
- Polisi Cina Tak Buka Daftar Korban Penipuan 153 Tersangka
- WNA Pelaku Kejahatan Siber Raup Keuntungan Rp6 Triliun
Argo menegaskan, kepolisian akan melakukan penyelidikan terkait cara kelompok itu memasuki Indonesia dengan mudah. Mereka akan mencari siapa pemandu, pengantar, dan fasilitator dari aksi tersebut.
Sementara itu, Dirtipidsiber Bareskrim Mabes Polri Brigjen Pol Fadhil Imran menegaskan, salah satu indikator para WNA memilih Indonesia karena mempunyai banyak kemudahan dalam beraksi. Selain masalah visa kunjungan, ada faktor lain yang membuat mereka memilih beroperasi di Indonesia.
Pertama, mereka melihat kemudahan akses internet. "Kemudahan-kemudahan fasilitas internet di Indonesia ini juga tentunya akan menjadi salah satu pertimbangan dari kelompok sindikat pelaku," kata Fadhil di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (31/7).
Fadhil menerangkan, Indonesia sudah terjangkau oleh dunia maya. Setiap orang sudah menggunakan internet, apalagi kota besar. Ia pun membantah kalau kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku merupakan kejahatan akibat kelengahan atau masalah kekosongan hukum.
"Regulasi jelas. Aturan-aturan hukumnya ada. Terlepas dari kelompok kejahatan ini memanfaatkan situasi kunjungan atau perlintasan, termasuk bebas visa, saya rasa itu dampak negatif dari sebuah kunjungan," kata Fadhil.
Alasan kedua, kata dia, adalah biaya hidup. Para pelaku mendapatkan gaji hingga Rp40 juta per bulan dari setiap aksi. Selain itu, diduga makanan Indonesia jauh lebih cocok bagi mereka karena murah dan kemiripan rasa.
Alasan ketiga adalah banyak kota besar. Menurut Fadhil, kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali yang sulit dipantau petugas. Oleh karena itu, mereka meyakini Indonesia sebagai tempat yang pas untuk dijadikan markas.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto