tirto.id -
"Sepanjang yang saya ingat sekarang ini komunitas pers belum punya pedoman pemberitaan pemilu," ucap Sekretaris MPO AJI, Abdi Purnomo saat menjadi narasumber di Rakornas Bawaslu dan Media Massa dalam Rangka Pengawasan Tahapan Pemilu 2024 di Malang, Jawa Timur, Sabtu (26/11/2022).
Abel—sapaan akrabnya, mencontohkan beberapa waktu sebelumnya ada kasus pemberitaan terkait kepemiluan. Imbasnya pewarta yang menulis berita dilaporkan ke Bawaslu hingga dilakukan pemanggilan. Abel menegaskan hal itu tidak dibenarkan sesuai Undang-Undang Pers.
Berkaca pada perkara ini, penyelenggara pemilu dan komunitas pers termasuk Dewan Pers perlu merumuskan pedoman pemberitaan pemilu agar tak terjadi sengketa.
"Nah, itu akibat tidak adanya kesepahaman apa yang harus dikerjakan oleh teman-teman dalam pemilu, apa saja yang boleh dan tidak boleh," terangnya.
"Saya rekomendasi ke Bawaslu bersama penyelenggara pemilu lainnya seperti KPU bersama Dewan Pers, konstituen Dewan Pers, termasuk KPI, untuk menyusun pedoman pemberitaan pemilu. Jadi ada rambu-rambu selain rambu yang sudah ada di Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Kalau pedoman sifatnya lebih operatif atau turunannya."
Lebih lanjut, Abel mengatakan bahwa pemilihan umum menjadi ajang bagi jurnalis untuk menunjukkan profesionalismenya. Pedoman pemberitaan pemilu menjadi instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut.
"AJI sedang menyusun itu bersama koalisi masyarakat sipil. AJI sebagai konstituen Dewan Pers akan melibatkan saudara-saudaranya yang lain seperti PWI, IJTI, dan lain sebagainya. Tentu juga melibatkan penyelenggara pemilu dan Dewan Pers," jelas Abel.
Sementara itu, anggota Bawaslu, Totok Hariyono menyebut awak media sebagai mitra strategis dalam pengawasan pemilu. Jurnalis, kata dia, mesti menjalankan fungsi kontrol untuk mencegah kecurangan kontestasi demi meningkatkan kualitas demokrasi.
"Wartawan dan pengawas pemilu itu sama, karena bertanggung jawab kepada undang-undang dan rakyat. Tanpa wartawan kejanggalan atau kekurangan pemilu tidak bisa terevaluasi," ucap Totok.
Bawaslu juga telah menerbitkan buku panduan jurnalis pengawas pemilu. Di dalam salah satu babnya disebutkan bahwa kemampuan investigatif jurnalis amat dibutuhkan untuk mengusut pelanggaran kontestasi.
"Ada ruang-ruang pelanggaran yang mungkin tidak terjamah oleh pengawas pemilu namun bisa terjangkau oleh media," demikian isi buku tersebut sebagaimana dikutip Tirto.
Ada tiga potensi pelanggaran pemilu yang mungkin bisa terjadi, misalnya, menyangkut netralitas aparatur sipil negara (ASN), politik uang dan mahar politik. "Jurnalis investigatif mampu mengunci target berita yang dapat mengurai kepingan informasi dan menemukan fakta terhadap potensi pelanggaran."
Penulis: Fahreza Rizky
Editor: Maya Saputri