tirto.id - Bagi Anggi (37), mengambil cuti hamil tidak berdampak buruk pada kariernya. Pada 2010, perempuan yang bekerja di sebuah media ini mengambil cuti hamil selama tiga bulan untuk kelahiran anak pertamanya. Dimulai sekitar seminggu jelang persalinan, cuti hamil ia manfaatkan untuk beradaptasi menjadi ibu baru, menjaga dan menghabiskan waktu bersama anaknya, menyetok ASI, dan melatih anak untuk berangsur-angsur ditinggal sebagai persiapan sebelum Anggi kembali bekerja.
Anggi ingat ia tak kesulitan untuk kembali beradaptasi dengan ritme kerjanya setelah masa cuti hamil berakhir. Tapi, itu bukan sesuatu yang ia pandang sebelah mata (take for granted): lingkungan kantor memberikan keleluasaan baginya untuk pulang cepat atau memompa ASI. Teman-teman kantor senantiasa membantu. Anggi juga mempekerjakan asisten rumah tangga yang sudah berpengalaman mengasuh anak. Sang suami pun tak pernah absen.
“Kalau nggak ada support system, sudah tentu bakal beda. Bisa saja aku mempertimbangkan resign jika aku nggak punya asisten yang cakap mengasuh anak. Aku juga akan terpaksa bekerja sampai larut malam dan nggak punya waktu bareng anak kalau kantor nggak punya belas kasihan,” ujar Anggi kepada Tirto (24/2).
Perkara hamil, melahirkan, dan mengambil cuti hamil seringkali masih jadi sebuah dilema bagi perempuan. Di Indonesia, meski telah diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hak cuti hamil tak berlaku bagi pekerja perempuan di sektor informal atau pekerja paruh waktu.
Tapi, selepas cuti hamil pun, perempuan kerap dihadapkan hanya pada dua pilihan: kembali bekerja dan mesti menanggung beban domestik sekaligus, atau fokus pada kerja domestik dan kehilangan karier.
Fenomena ini juga yang ditemukan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fathimah Fildzah Izzati. Pada 2018, Fildzah melakukan penelitian terhadap 20 ibu rumah tangga di sejumlah kota di Indonesia yang terjun ke bisnis toko daring berbasis media sosial (TDMS). Menurut hasil penelitiannya, perempuan kelas bawah yang mengelola bisnisnya sendiri sembari mengurus rumah tangga cenderung kewalahan.
Meski bisnis TDMS ini awalnya diniatkan sebagai kerja sampingan, tetapi para responden merasakan fleksibilitas kerja sebagai ilusi semata. Mereka pun kerap mesti bekerja lebih dari 8 jam per hari. Dalam studi yang telah dipublikasikan sebagai “Women’s Work In Indonesia’s Social Media-Based Online Store Businesses: Social Reproduction and the Feminization of Work” (2020), salah satu responden mengaku betapa sulitnya “menyeimbangkan pekerjaan sebagai reseller dan dropshipper di bisnis online shop” dengan pekerjaan di rumah mengurus anak dan suami. “Jika ingin sukses, sepertinya kita harus mengorbankan salah satunya,” ujarnya.
Riset yang sama melaporkan hanya perempuan kelas menengah atas yang dapat mempertahankan bisnisnya karena mampu mempekerjakan pekerja rumah tangga atau pengasuh anak. “Maka dari itu online shop mereka bisa sukses dan keluarganya terurus,” terang Fildzah kepada Tirto (24/2).
Namun, terlepas dari beban yang mesti ditanggung perempuan, kerja adalah sebuah kebutuhan—dan seringkali jadi satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari hubungan suami-istri yang tidak setara. Fildzah menemukan bahwa kebanyakan ibu rumah tangga memutuskan untuk berbisnis online shop karena ingin melepaskan diri dari urusan rumah tangga. Menurut mereka, jika sang suami saja tidak berkontribusi apa-apa, kenapa mereka tidak boleh beristirahat sejenak? Ada pula yang tidak ingin bergantung kepada suami dengan memiliki pendapatan sendiri.
Bagi Fildzah, supaya perempuan bisa kembali bekerja dan mendapatkan independensinya, kerja-kerja reproduksi sosial mesti dapat ditanggung bersama di masyarakat. “Atau, minimal, dengan suaminya.” Supaya beban kerja dapat terbagi rata, cuti hamil juga jadi dibutuhkan bagi pihak suami (paternity leave). “Kalau cuma buat perempuannya, nanti dia kesulitan sendirian di rumah. Jadi sama saja.”
Serba-serbi Cuti Hamil
Cuti hamil dan melahirkan adalah hak perempuan. International Labour Organization (ILO) menetapkan standar cuti hamil selama minimal 14 minggu dan memberikan rekomendasi kepada negara-negara anggota untuk meningkatkan periodenya hingga setidaknya 18 minggu. Dalam “Maternity and Paternity at Work: Law and Practice Across The World” (PDF, 2014), ILO menyebutkan jangka waktu ini jadi penting bagi perempuan untuk memulihkan diri dari proses melahirkan dan dapat kembali bekerja dengan tetap dapat memberikan perhatian kepada anaknya.
Namun, mengambil cuti hamil kerap juga jadi pedang bermata dua. Laporan berjudul “The Economic Consequences of Family Policies: Lessons from a Century of Legislation in High-Income Countries” menemukan bahwa semakin panjang jangka waktu cuti hamil yang diambil perempuan, semakin kecil pula kesempatan untuk naik jabatan, masuk ke posisi manajemen, atau menerima kenaikan gaji. Risiko dipecat atau turun jabatan pun lebih besar.
Sementara itu, berbeda dengan perempuan, karier laki-laki yang memiliki anak hampir tidak berdampak. Bahkan, karier laki-laki cenderung menanjak setelah memiliki anak: laki-laki yang memiliki anak punya kesempatan lebih besar untuk direkrut dibandingkan yang tidak. Mereka pun punya kesempatan lebih besar untuk diupah lebih besar setelah punya anak.
Penyebab perempuan tertinggal dari laki-laki ini dapat dibagi ke dalam dua faktor. Pertama, kerja domestik seringkali masih dianggap sebagai tanggung jawab perempuan semata: mulai dari pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, merawat anak yang sedang sakit, hingga merawat anggota keluarga lain seperti orang tua yang telah lanjut usia.
Studi PBB berjudul “Men in Families and Family Policy in the Changing World” (2011) yang dilakukan di sejumlah negara berkembang menemukan fakta bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan perempuan untuk melakukan kerja-kerja tak dibayar mencapai dua kali lipat lebih banyak dibandingkan laki-laki. Di India dan negara-negara berpendapatan rendah lainnya, waktu yang dihabiskan perempuan bisa mencapai 10 kali lebih besar.
Kedua, dukungan perusahaan terhadap pekerja perempuan yang telah memiliki anak, seperti ada atau tidaknya opsi fleksibilitas waktu kerja, opsi bekerja dari rumah, waktu untuk menyusui, hingga tempat penitipan anak juga berpengaruh.
Survei FlexJobs pada 2019 terhadap 2.000 perempuan menemukan bahwa 71% perempuan memutuskan atau mempertimbangkan untuk mengundurkan diri setelah punya anak karena kurangnya fleksibilitas di tempat kerja. Sebanyak 31% perempuan yang telah mengambil jeda dari pekerjaannya untuk mengurus anak pun punya keinginan untuk kembali bekerja sekaligus melaporkan bahwa pekerjaan mereka tidak cukup fleksibel. Work-life balance (82%), opsi kerja fleksibel (78%), dan jadwal jam kerja (77%) juga menempati posisi lebih atas dibandingkan gaji (76%) sebagai pertimbangan utama perempuan memilih pekerjaan setelah memiliki anak.
Walhasil, beban yang secara timpang ditanggung oleh perempuan setelah memiliki anak ini memunculkan istilah “motherhood pay gap”: ILO menemukan bahwa ada gap atau ketimpangan upah antara perempuan yang telah memilliki anak dengan yang tidak. Ketimpangan ini pun menjadi lebih besar di negara berkembang dan bagi perempuan yang memiliki anak lebih dari satu.
ILO telah memberikan sejumlah rekomendasi untuk memastikan perempuan tetap dapat melanjutkan kariernya selepas melahirkan. Dalam “Maternity, Paternity At Work”, ILO mendorong perusahaan untuk, pertama, menawarkan cuti hamil dengan jangka waktu cukup. Kedua, memastikan agar pekerja perempuan mendapatkan perlindungan kerja selama masa kehamilan. ILO juga mendesak diberlakukannya kebijakan non-diskriminatif untuk menghindari asumsi-asumsi semacam “perempuan hamil kurang kompeten” dan “perempuan hamil menjadi lebih tidak berkomitmen.”
Ketiga, ILO merekomendasikan perusahaan untuk memberikan fasilitas kesehatan bagi perempuan hamil, seperti ruang privat bagi perempuan untuk dapat menyusui anaknya. Keempat, mengembangkan program masuk kerja kembali bagi perempuan-perempuan yang mengambil jeda di kariernya untuk mengurus anak.
Kelima, menawarkan cuti kehamilan bagi laki-laki (paternity leave) sehingga pihak suami juga dapat menumbuhkan ikatan dengan anaknya dan untuk meningkatkan partisipasi laki-laki mengerjakan tugas rumah tangga. Dampak jangka panjangnya, paternity leave membuat perempuan dapat menyeimbangkan kariern lebih baik dan memperkecil ketimpangan upah antara laki-laki dan perempuan. Keenam, dukungan terhadap opsi kerja yang fleksibel dan layanan penitipan anak.
“Dengan mengelola maternity dengan baik, perusahaan dapat mendorong perempuan untuk kembali bekerja setelah melahirkan. Dengan berkomitmen untuk mempertahankan dan mengembangkan pekerja perempuan pula, perusahaan akan dapat menarik dan mengangkat pemimpin-pemimpin perempuan.”
Editor: Windu Jusuf