tirto.id - Posko pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) di Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, pada Minggu pagi, 10 Juni 2018, masih sepi ketika saya datang. Hanya ada dua orang penjaga yang siap menerima laporan. Namun, tak terlihat ada yang mengadu.
Meski begitu, salah seorang petugas dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker dan K3) Kemenaker, Rifas, mengatakan kalau laporan yang masuk cukup banyak. Hingga pukul 10.00 sudah mencapai 100 laporan.
Katanya, para pekerja memang tak melapor langsung. "Kan bisa lewat e-mail, WhatsApp, telepon. Memang paling banyak via WhatsApp."
Posko ini berawal dari imbauan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri agar perusahaan membayar THR untuk para pekerja paling lambat tujuh hari sebelum lebaran. Kemenaker sadar bahwa ada kemungkinan banyak perusahaan yang melanggar ketentuan ini. Atas dasar itulah posko ini dibuka.
Bukan hanya dari pihak pemerintah, asosiasi pengusaha (Apindo) juga sadar banyak anggotanya yang melanggar aturan soal THR, dari mulai telat bayar, lebih rendah dari ketentuan atau malah tidak memberikannya sama sekali.
"Ini [posko THR] merupakan kegiatan yang setiap tahun dilaksanakan sebagai bentuk fasilitas dari pemerintah agar pekerja memperoleh THR yang sesuai ketentuan," ujar Hanif di kantornya, Senin 28 Mei 2018.
Posko Tidak Efektif
Menurut Koordinator Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Syarif Arifin, yang perlu diketahui Kemenaker adalah pekerja tidak bisa begitu saja bisa mengadu ke posko jika ada hak-haknya tidak dipenuhi perusahaan.
Mereka butuh keberanian lebih, yang sayangnya tidak semua punya. Sebabnya, para pekerja yang ketahuan mengadu kerap menerima intimidasi.
Sudah ada beberapa kasus yang menunjukkan demikian. Ketika pekerja mengeluhkan pelanggaran, alih-alih direspons positif, perusahaan malah membalasnya dengan tudingan pencemaran nama baik atau bahkan pemutusan kontrak.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya melakukan investigasi lapangan, tidak hanya menunggu laporan saja.
"Kalau menunggu orang melapor, sangat bergantung pada keberanian pelapor. Modus perusahaan untuk tidak bayar THR kan banyak sekali. Jadi Kemenaker perlu juga investigasi," katanya kepada Tirto.
Posko ini sebetulnya bukan gagasan baru, tahun lalu pun Kemenaker melakukan hal yang sama. Jumlah laporan mencapai 412, itu pun hanya ditingkat pusat dan hanya yang tercatat saja. Ada kemungkinan pelanggaran lain yang tidak tercatat.
Abu Mufakhir, juga dari LIPS, mengatakan bahwa banyaknya pengaduan tersebut seharusnya membuat Kemenaker "berkaca".
"Banyaknya pengaduan tersebut menunjukkan jika pelanggaran hak-hak dasar buruh adalah realitas harian, terjadi di banyak tempat, dan dialami ribuan buruh," katanya, dalam artikel di Majalah Perburuhan Sedane.
Menurutnya, baik dalam kasus THR atau kasus-kasus perburuhan lain, intervensi Kemenaker tidak kuat. Surat-surat dari mereka kepada perusahaan, misalnya, hanya sekadar nota alias catatan atau anjuran, bukan perintah.
"Bertemu dengan Kemenaker mengenai berbagai kasus perburuhan, kita akan menemui satu kalimat khas, 'kita tampung,' 'kita akomodasi.' Setelah itu, kita tidak akan mendengar kabar apa pun," tulis Abu.
Abu juga mempersoalkan klaim Kemenaker yang mengatakan kalau banyak dari pengadu tidak melampirkan data yang lengkap. Data yang tak lengkap mempersulit Kemenaker menindaklanjutinya. Tahun lalu, ada 2.802 pengaduan, tapi yang ditangani hanya 412 karena masalah ketidaklengkapan tersebut.
"Bukankah itu memperlihatkan lemahnya institusi Kemenaker?" katanya.
Selain itu, Abu makin yakin kalau laporan tidak bisa ditindak semestinya karena jumlah SDM dari Kemenaker sendiri kurang. "Saya yakin sejak awal Kemenaker tidak punya kemampuan untuk menindak pengaduan itu. Mereka sendiri suka bilang kalau SDM kurang," tambah Abu.
Dan memang faktanya demikian. Pada 2017, International Labour Organization (ILO) menyebut hingga akhir 2016, pengawas ketenagakerjaan di Indonesia jumlahnya hanya 1.923 orang, sementara jumlah perusahaan yang diawasi mencapai 21.591.508. Dengan begitu, memang ada rasio yang timpang antara subjek pengawas dan objek yang diawasi. Satu orang pengawas memantau hingga 11.228 perusahaan. (PDF)
Namun, menurut Rifas tidak demikian. Ia menyanggah keraguan tersebut. Katanya, pelaporan bakal tetap diproses dalam kurun waktu 14 hari kerja.
Keluhan yang masuk akan ditampung terlebih dulu sebelum diteruskan ke Subdirektorat Hubungan Kerja (Subdit Hubker) di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Solusi Tenaga Kerja. Selanjutnya, Subdit Hubker akan langsung menindaklanjuti keluhan yang masuk ke perusahaan-perusahaan terkait.
Ada tiga sanksi yang akan dikeluarkan Kemenaker apabila suatu perusahaan tidak memberikan THR bagi pekerjanya. Pertama pengenaan denda lima persen dari total THR setiap pekerja ditambah tetap wajib membayar THR; kedua teguran tertulis; dan ketiga pembatasan kegiatan usaha.
Pengaduan Berkurang Bukan Karena Tidak Ada Pelanggaran
Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Dian Septi Trisnanti menilai bisa jadi pengaduan THR berkurang tahun ini. Sebabnya ada dua, dan sama-sama bukan karena masalah ini memang semakin sedikit.
Pertama, penurunan ini disebabkan karena banyaknya kontrak yang diputus saat memasuki Ramadan. "Jadi, pengaduan THR berkurang karena makin sedikit buruh yang diakui berhak dapat THR," ucap Dian.
Kedua, karena banyak buruh, setidaknya yang ia amati sebagai fungsionaris serikat, yang memang tidak percaya masalah dapat selesai setelah mengadu ke Kemenaker. Buruh-buruh lebih memilih untuk menyelesaikannya langsung ke manajemen perusahaan dengan bantuan serikat.
Hal serupa dikatakan pengacara publik bidang perburuhan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Aprillia Lisa Tengker.
LBH Jakarta tahun lalu membuka posko pengaduan pelanggaran THR. Ada 63 aduan yang masuk, dan semuanya dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja setempat. Namun, katanya, "respons dari pengawas Ketenagakerjaan kurang."
Berkaca dari pengalaman tahun lalu, Aprillia berharap pengawas ketenagakerjaan dapat menindaklanjuti dengan serius laporan-laporan yang masuk.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino