Menuju konten utama

Banjir Proyek Menuai Petaka, Ada Apa dengan Waskita?

Sejak awal Presiden Jokowi menjabat, Waskita Karya kebanjiran order kegiatan konstruksi. Sayangnya, banjir order itu juga diikuti dengan peningkatan jumlah kecelakaan kerja.

Banjir Proyek Menuai Petaka, Ada Apa dengan Waskita?
Warga melintasi pintu gerbang yang rtutup di proyek pembangunan Pasar Rumput, Jakarta, Selasa (20/3/2018). tirto.id/ANdrey Gromico

tirto.id - Minggu pagi (18/3) jadi hari nahas bagi Tarminah. Besi hollow ukuran 4x4 meter jatuh dan menimpanya. Nyawa perempuan berumur 54 tahun itu tidak tertolong. Kecelakaan itu terjadi di area proyek Rumah Susun Pasar Rumput dengan Waskita sebagai kontraktornya.

Kecelakaan ini menambah daftar panjang kasus kecelakaan kerja konstruksi yang melibatkan BUMN PT Waskita Karya Tbk setidaknya sejak Agustus 2017 lalu. Tujuh kecelakaan kerja tercatat sudah terjadi di proyek Waskita Karya, dengan membawa korban meninggal atau luka-luka. Rentetan kecelakaan ini tentu bisa mencoreng reputasi positif Waskita yang pernah membangun proyek fenomenal seperti seperti BNI City, yang sempat jadi gedung tertinggi di Indonesia pada 1990.

Kecelakaan kerja fatal maupun ringan memang bisa menimpa siapa dan perusahaan siapa saja. Namun, bila dicari benang merahnya, beberapa hal yang memicu kecelakaan, antara lain kesalahan manusia, peralatan tidak tersertifikasi, efisiensi anggaran, lemahnya penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan faktor lainnya.

Banyaknya proyek yang dikerjakan dianggap menjadi dalangnya. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Erwin Aksa sepakat dengan anggapan itu. “Belum lagi jika diberikan tenggang waktu yang sangat ketat, kecelakaan konstruksi semakin beruntun,” kata Erwin Aksa kepada Tirto.

Anggapan ini tak meleset, Direktur Utama Waskita Karya Muhammad Choliq mengaku perusahaan lalai memperhatikan K3 karena mengejar jadwal deadline proyek yang tengah digarap. Kondisi ini diperparah dengan proyek konstruksi yang jadi lahan Waskita terus tumbuh pesat, tapi kurang diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja yang cukup. Minimnya jumlah SDM baru jadi catatan setelah "nasi sudah menjadi bubur".

"Jadi, hal teknik dalam K3 jadi agak terlupakan. Itulah yang perlu diingatkan. Size-nya (kapasitas produksi) makin tinggi, harusnya manajemen K3 lebih canggih," kata Choliq.

Choliq, orang nomor satu di Waskita mengaku siap dicopot dari posisinya sebagai direktur utama. Perombakan direksi Waskita rencananya akan dibahas saat RUPS Waskita pada 6 April 2018. Pada RUPS itu akan ada tambahan jabatan baru di direksi Waskita yang fokus bertanggung jawab pada quality, health, safety, and environment (QHSE).

"Garis besar tugas pejabat direksi QHSE adalah menjamin kualitas dan keamanan sesuai standar serta aturan-aturan yang sudah ditetapkan," kata Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana dan Prasarana Perhubungan Kementerian BUMN, Ahmad Bambang seperti dikutipAntara.

Waskita memang jadi contoh BUMN karya yang jadi andalan pemerintah untuk menggenjot program infrastruktur. Imbasnya proyek yang dikerjakan Waskita dalam lima tahun terakhir trennya melonjak luar biasa.

Berdasarkan laporan keuangan Waskita Karya, nilai proyek perseroan yang dikerjakan saat era Presiden Jokowi melonjak tinggi. Sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden, total nilai kontrak proyek yang dikerjakan Waskita pada 2013 hanya Rp6,67 triliun.

Pada 2014, nilai proyek Waskita tumbuh 68 persen, menjadi Rp11,23 triliun. Proyek terbesar Waskita kala itu adalah Jalan Tol Pejagan-Pemalang Seksi I senilai Rp1,12 triliun, dan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu Seksi I sebesar Rp1,16 triliun.

Tahun berikutnya, nilai proyek melonjak sangat fantastis, naik 231 persen menjadi Rp37,18 triliun. Waskita mendapatkan proyek-proyek besar di antaranya seperti pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Sumatera Selatan senilai Rp8,4 triliun.

Selain LRT, proyek besar yang dikerjakan Waskita pada 2015 yakni pembangunan Jalan Tol Solo-Ngawi senilai Rp3,7 triliun dan pengadaan transmisi listrik 500 KV Sumatera (New Aur Duri-Peranap dan Peranap-Perawang) senilai Rp6,1 triliun.

Kemudian pada 2016, beban kerja proyek-proyek Waskita agak mereda. Saat itu, total nilai kontrak hanya Rp18,40 triliun. Seluruh proyek berasal dari limpahan tahun-tahun yang lalu. Artinya, tidak ada kontrak perjanjian proyek baru yang diteken Waskita pada 2016.

Pada 2017, gerak perseroan kembali terpacu proyek-proyek konstruksi infrastruktur. Nilai kontrak sudah menjadi Rp45,76 triliun. Kontrak terbesar yang diteken Waskita saat itu di antaranya proyek Jalan Tol Cibitung-Cilincing senilai Rp5,08 triliun.

Kesibukan Waskita menggarap proyek tak hanya terlihat dari nilai-nilai kontrak yang diraup oleh perusahaan yang didirikan sejak 1 Januari 1961 ini. Indikatornya nampak dari jumlah proyek yang bertambah yang berdampak pada peningkatan pendapatan, dan tentunya lonjakan laba usaha dari tahun ke tahun.

Pada 2017, Waskita meraup pendapatan usaha sebesar Rp45,21 triliun naik 90 persen dari pendapatan 2016 senilai Rp23,78 triliun. Sedangkan, biaya beban usaha mencapai Rp35,74 triliun, naik 80 persen dari beban usaha 2016 senilai Rp19,82 triliun.

Dari kinerja pendapatan dan beban usaha tersebut, Waskita meraup laba bersih senilai Rp4,2 triliun, naik 132 persen dari laba bersih 2016 sebesar Rp1,81 triliun. Pertumbuhan laba bersih 2017 ini juga menjadi paling tinggi dalam lima tahun terakhir ini.

Infografik Waskita Karya

Banjir Proyek Menuai Petaka

Pemerintahan Presiden Jokowi memang masif membangun infrastruktur. Alokasi anggaran untuk infrastruktur pada RAPBN 2018 mencapai Rp409 triliun, terdiri dari infrastruktur ekonomi Rp395,1 triliun, sosial Rp9 triliun, dan dukungan infrastruktur Rp4,9 triliun.

Jumlah proyek yang ingin diselesaikan juga ambisius. Sebanyak 155 proyek ditargetkan rampung sebelum atau pada 2019. Dari total proyek itu, 118 proyek di antaranya wajib tuntas sebelum atau pada 2018.

Sayangnya, percepatan pembangunan infrastruktur ini agaknya tidak memperhitungkan hal-hal yang dibutuhkan untuk dapat mempercepat infrastruktur secara baik. Mulai dari SDM, regulasi, peralatan, dan lain sebagainya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah tenaga kerja konstruksi pada 2017 mencapai 8,13 juta orang, naik dua persen dari 2016 sebanyak 7,97 juta orang. Namun, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja konstruksi lima tahun terakhir mencapai 7 persen.

Melihat kondisi saat ini, pemerintah perlu mengkaji ulang target percepatan pembangunan infrastruktur. Selain meningkatkan program K3, hendaknya disesuaikan juga jadwal penyelesaian proyek dengan kapasitas kontraktor. Lebih baik terlambat daripada berjatuhan lagi korban jiwa.

Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar Rosmariani Arifuddin menilai banyak faktor yang menyebabkan kecelakaan kerja konstruksi meningkat dalam 6 bulan terakhir ini, khususnya yang menimpa Waskita atau kontraktor lainnya.

“Besar kemungkinan, Waskita juga seperti itu. Kebanjiran order, tetapi persiapannya kurang untuk dapat mengakomodir itu. Ibarat kue dengan ukuran besar, tapi piringnya kecil, jadinya belepotan,” kata Rosmariani Arifuddin kepada Tirto.

Kondisi demikian jadi sangat berbahaya untuk memaksakan kemampuan dan persiapan BUMN, yang terjadi proyek selesai dikebut tapi mengorbankan keselamatan pekerja dan publik.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN KERJA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra