Menuju konten utama

Kecelakaan Proyek Menekan Saham-saham Emiten Konstruksi

Rentetan kecelakaan kerja turut berimbas pada kinerja harga saham emiten konstruksi.

Kecelakaan Proyek Menekan Saham-saham Emiten Konstruksi
Pekerja menyelesaikan pembangunan proyek jalur kereta api double double track (DDT) untuk jalur stasiun Manggarai-Jatinegara, Jakarta, Selasa (19/09/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Dua pekerja meregang nyawa setelah tertimpa potongan balok yang runtuh pada 11 November 2017 di Bacolod City, Filipina. Pekerja nahas itu tengah mengerjakan proyek Capitol Central, sebuah pembangunan mal dan gedung perkantoran.

Dampak dari kejadian maut itu, Ayala Land Inc. perusahaan yang bertangung jawab pada proyek itu menghentikan proyek sementara waktu. Proyek Capitol Central semula ditargetkan mulai beroperasi pada kuartal I-2018.

Selain proyek dihentikan, saham Ayala Land mulai goyah. Pada perdagangan 13 November 2017, saham Ayala Land turun 2,96 persen, menjadi 42,5 Peso Filipina.

Kejadian semacam itu juga terjadi di Indonesia. Selama enam bulan terakhir ini, terjadi sejumlah kecelakaan kerja di proyek milik BUMN konstruksi, PT Waskita Karya Tbk. (WSKT). Kecelakaan kerja itu juga membawa sentimen negatif terhadap geliat harga saham perseroan.

Pada 22 September 2017, terjadi insiden pada proyek jembatan proyek pembangunan jalan Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi yang kontraktornya adalah Waskita Karya. Pada hari tersebut, harga saham Waskita langsung turun 1,05 persen menjadi Rp1.885 per saham.

Peristiwa berikutnya adalah jatuhnya girder proyek pembangunan Tol Pasuruan-Probolinggo pada akhir Oktober 2017. Sehari usai kejadian itu, harga saham Waskita ditutup Rp2.150 per saham atau melemah 2,27 persen.

Harga saham yang melorot akibat kecelakaan kerja juga terjadi pada 2 Januari 2018 pada proyek Tol Pemalang-Batang. Saham Waskita tercatat menurun 0,90 persen usai kejadian itu, menjadi Rp2.190 per saham.

Saham Waskita kembali terkoreksi 1,93 persen menjadi Rp3.050 per saham pada 20 Februari 2018, menyusul kecelakaan kerja pada proyek pembangunan Tol Becakayu. Tujuh pekerja menjadi korban dalam kecelakaan itu.

Namun, tidak selamanya kecelakaan kerja diikuti dengan harga saham yang terkoreksi. Pada 16 November 2018, terjadi kecelakaan pada pembangunan Tol Jakarta-Cikampek II (elevated). Namun, saham Waskita justru naik 0,47 persen.

Harga saham PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA) juga kena koreksi karena kecelakaan kerja. Pada 26 Oktober 2017, portable mini crane dalam proyek Tol Bogor Outer Ring Road jatuh. Untungnya tidak ada korban dalam kejadian itu.

Sehari setelah kejadian, saham WIKA ditutup Rp2.010 per saham, turun 1,95 persen. Harga saham yang terkoreksi berlanjut pada perdagangan berikutnya secara berturut-turut. Pada 2 November 2017, saham WIKA tercatat Rp1.940 per saham.

Kecelakaan kerja pada proyek WIKA kembali terjadi pada 22 Januari 2018. Saat itu, box girder pada proyek light rail transit (LRT) Velodrome-Kelapa Gading runtuh. Sebanyak lima orang terluka akibat kejadian itu.

Setelah kejadian, harga saham WIKA terperosok menjadi Rp1.935 per saham atau turun 1,77 persen. Namun, pada perdagangan esok harinya, saham WIKA kembali terkerek 1,77 persen menjadi Rp1.970 per saham.

Selain kecelakaan kerja, kebijakan pemerintah juga direspons cepat oleh pasar. Moratorium atau penghentian sementara proyek infrastruktur layang (elevated) turut membuat saham-saham emiten konstruksi terkena koreksi.

Sejak moratorium diumumkan pada 19 Februari 2018, saham emiten konstruksi BUMN antara Adhi Karya, PTPP, WIKA, dan Waskita terkoreksi.

infografik saham konstruksi pasca moratorium

Kenapa respons pasar begitu reaktif?

Persepsi setiap investor sangat beragam dalam menanggapi suatu kejadian. Ada yang berpikir rasional, ada juga yang terpengaruh sentimen tertentu. Namun, kondisi itu biasanya hanya berlaku sementara.

Kondisi serupa juga terjadi di pasar modal luar negeri. Dampak dari suatu peristiwa, yang tidak signifikan memengaruhi kinerja keuangan, tapi tetap direspons negatif oleh pasar.

“Kehadiran sentimen negatif memang cenderung membuat orang khawatir. Imbasnya, saham yang bersangkutan menjadi terdepresiasi. Trennya memang seperti itu, meski tidak selalu,” kata Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri kepada Tirto.

Kekhawatiran pasar terhadap kecelakaan kerja pada proyek emiten konstruksi memang bukan tanpa sebab. Kecelakaan kerja bisa membuat proyek dihentikan sementara atau bisa jadi berlarut-larut. Kondisi demikian berpotensi memengaruhi arus uang dari perusahaan. Namun, jumlah proyek yang dikerjakan BUMN tentu tidak hanya satu atau dua proyek saja.

Tren Emiten Konstruksi Masih Positif

Sejumlah analis menilai kecelakaan kerja dan moratorium proyek infrastruktur tidak terlalu berdampak signifikan terhadap kinerja perusahaan konstruksi, terutama BUMN pada tahun ini. Apalagi, pemerintah masih berambisi untuk menggenjot pembangunan infrastruktur.

“Masih banyak proyek existing yang masih dikerjakan, baik proyek pada 2016 maupun 2017 yang masih di-carry over pada tahun ini,” ujar Reza Priyambada, Analis Senior Binaartha Parama Sekuritas kepada Tirto.

Menurut Reza, saham-saham konstruksi khususnya BUMN masih di bawah target atau undervalue. Ia merekomendasikan "beli" bagi para investor terhadap saham-saham BUMN konstruksi.

Harga saham Waskita Karya ditargetkan mencapai Rp3.500 per saham. Saham PTPP ditarget Rp3.700 per saham. Saham Wijaya Karya dipatok sebesar Rp2.500 per saham, dan Adhi Karya sebesar Rp3.100 per saham di tahun ini.

Saat investor merespons pasar terhadap suatu kejadian buruk, sebagai sentimen yang negatif maka efek pada pergerakan harga saham cukup terasa. Namun, investor lebih baik melihat kekuatan fundamental dari emiten yang bersangkutan, sebelum mengambil keputusan terlalu terbuai dengan sentimen negatif.

Baca juga artikel terkait PASAR MODAL atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra