Menuju konten utama

Bahaya Laten Berkurangnya Pendapatan Negara karena Relaksasi Pajak

Penerimaan pajak potensial berkurang karena berbagai insentif. Dampaknya keuangan negara tertekan. Insentif perlu dievaluasi efektivitasnya.

Bahaya Laten Berkurangnya Pendapatan Negara karena Relaksasi Pajak
Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT. Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan realisasi penerimaan pajak 2020 lebih rendah ketimbang target alias mengalami shortfall. Dalam Perpres 72/2020, penerimaan pajak ditargetkan Rp1.198,8 triliun dan penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) Rp1.404,5 triliun.

“Dengan revisi pertumbuhan ekonomi 2020 yang menurun, maka kami juga memperkirakan penerimaan pajak akan mengalami revisi sedikit ke bawah,” ucap Sri Mulyani dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI, Selasa (1/9/2020).

Target itu sebenarnya juga lebih rendah dari target sebelumnya. Dalam Perpres 54/2020 yang ditetapkan pada 3 April, penerimaan pajak ditargetkan Rp1.254,1 triliun, sementara perpajakan Rp1.462,6 triliun.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan tak terlalu kaget dengan risiko shortfall. Itu adalah konsekuensi dari kebijakan relaksasi pajak yang tujuannya “membantu dan menyelamatkan dunia usaha,” kata dia kepada wartawan Tirto, Senin (21/9/2020).

Selama pandemi COVID-19 pemerintah memang memberikan beragam stimulus keringanan pajak untuk pelaku usaha. April lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan relaksasi terhadap 18 sektor usaha. Beberapa di antaranya adalah sektor pertanian, pertambangan, dan konstruksi.

“Perincian ke masing-masing sektor sudah ada, yang termasuk dalam PPh pasal 21, pasal 22, pasal 25,” kata Airlangga.

Ketika itu Airlangga sudah mengatakan bahwa keringanan memang bakal menggerus penerimaan dari PPh hingga Rp15,7 triliun. Namun, langkah tersebut tetap perlu diambil untuk “menahan PHK (pemutusan hubungan kerja).”

Kemudian, baru-baru ini Kementerian Perindustrian juga mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk memberlakukan pajak pembelian mobil nol persen.

Partner DDTC Fiskal Research B. Bawono Kristiaji juga mengatakan “strategi yang saat ini dilakukan, yaitu kebijakan fiskal ekspansif yang meningkatkan belanja dan merelaksasi pajak, merupakan jurus yang rasional untuk dilakukan. Strategi yang sama juga dilakukan berbagai negara.”

“Kita juga perlu memahami bahwa dengan paradigma pajak yang bersifat mengatur (regulerend) yang saat ini dipergunakan merupakan strategi untuk mencegah hilangnya basis pajak secara permanen, semisal dengan adanya PHK dan penutupan kegiatan usaha,” kata dia kepada wartawan Tirto, Senin.

Namun, strategi ini bukan berarti tanpa cela. Bawono bilang jika target tahun ini benar-benar meleset, maka pemerintah harus bekerja ekstra untuk mencapai target 2021. Ini tentu tak gampang karena ekonomi belum tentu membaik. Kalau membaik pun, tentu masih rentan kembali ke situasi seperti sekarang.

Masalah berikutnya adalah defisit anggaran yang bakal semakin lebar. Itu bisa terjadi karena penerimaan pajak seret terjadi di tengah tingginya kebutuhan pembiayaan untuk berbagai program bantuan sosial.

Evaluasi Bantuan

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan defisit anggaran akan mendorong pemerintah kembali menerbitkan surat utang. Masalahnya itu sulit karena volatilitas di pasar keuangan sulit diperdiksi.

“Kalau pemerintah mau menerbitkan surat utang untuk menutup kekurangan pendapatan pajak, itu tidak mudah di tahun 2020 maupun 2021,” kata dia kepada wartawan Tirto, Senin.

Karena volatilitasnya cukup besar, ada risiko imbal hasil atau bunga surat utang akan meningkat. Ini akan menjadi beban tambahan bagi negara.

Kondisi demikian bisa berefek “cukup panjang untuk memulihkan lagi rasio pajak.” Ia memprediksi rasio penerimaan pajak baru akan pulih pada 2022 mendatang.

Di sisi lain, ia meragukan efektivitas keringanan pajak terhadap kinerja industri dan perekonomian nasional. “Apakah insentif perpajakan sudah efektif menggerakkan perekonomian sektor rill dan menyerap tenaga kerja? Ini yang saya ragu,” katanya. “Sudah banyak insentifnya kok pertumbuhan ekonomi masih gini-gini aja?”

Dengan pertimbangan semua risiko tersebut, menurutnya pemerintah perlu mengevaluasi total stimulus perpajakan. “Evaluasi total wajib, kemudian segera realokasikan kepada sektor yang memang benar-benar membutuhkan,” katanya.

Baca juga artikel terkait INSENTIF PAJAK atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino