tirto.id - Wakil Menteri Keuangan II, Thomas Djiwandono, mengungkapkan insentif perpajakan perlu disiapkan untuk menjaga kesinambungan fiskal nasional di tengah tantangan perpajakan global.
Menurutnya, setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini. Pertama, persaingan tarif pajak cukup agresif yang mendorong terjadinya praktik Base Erosion and Profit Sharing (BEPS), strategi yang sering digunakan perusahaan multinasional untuk menghindari pajak.
Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi digital juga membuat perusahaan multinasional dapat beroperasi secara lintas negara. Padahal ini bisa membuat perusahaan tersebut mendapat penghasilan maksimal tanpa harus hadir secara fisik di negara pasar.
“Untuk tetap menjaga kesinambungan fiskal dalam mencapai target pembangunan nasional secara prudent, setiap negara perlu memahami potensi optimal dari ruang fiskal perpajakannya, dengan turut memperhitungkan kebutuhan dukungan kepada perekonomian dalam bentuk insentif perpajakan,” kata Thomas dalam acara The 2nd International Tax Forum (ITF), dikutip dari akun YouTube Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Selasa (24/9/2024).
Dalam hal ini, beberapa negara termasuk Indonesia mendokumentasikan pemberian insentif perpajakan dan memublikasikannya dalam bentuk laporan belanja perpajakan.
Menurutnya, selain menyiapkan insentif perpajakan, penerapan solusi 2 Pilar juga bukan lagi menjadi pilihan bagi Indonesia, melainkan sebuah keharusan untuk menghadapi tantangan perpajakan global. Solusi ini, kata Thomas, telah disepakati oleh negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework (IF) on BEPS.
“Negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework (IF) on BEPS menyepakati solusi Pilar 2, yang terdiri dari ketentuan Pajak Minimum Global dan Subject to Tax Rules (STTR),” imbuhnya.
Kebijakan Pajak Minimum Global telah diterapkan di lebih dari 40 negara di dunia, seperti Vietnam, Australia, Jepang, Korea, Uni Eropa, dan beberapa negara lainnya. Menyusul negara-negara tersebut, Indonesia juga berencana menerapkan ketentuan Pajak Minimum Global dalam ketentuan domestik.
“Terkait STTR, pada tanggal 19 September 2024, Indonesia bersama dengan beberapa negara/yurisdiksi lainnya telah melakukan penandatanganan Multilateral Instrument (MLI) STTR. Hal tersebut memberikan sinyal bahwa negara-negara di dunia menilai pentingnya solusi Pilar 2,” ungkapnya.
Ia menamahkan, jika Indonesia tidak segera menerapkan solusi 2 Pilar, potensi pajak akan diambil negara lain. Artinya, Indonesia sama saja dengan memberikan subsidi pajak kepada negara lain.
“Oleh karena itu, penyelarasan kebijakan pajak domestik dengan kerangka kerja perpajakan internasional sangat berperan dalam menciptakan iklim bisnis serta investasi yang lebih adil dan transparan dalam kerja sama ekonomi global. Iklim investasi yang baik serta fiskal yang sehat tentunya berperan penting dalam mendukung agenda pembangunan nasional yang berkelanjutan,” jelas Thomas.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi